Kaisar Chin Shi Huang mendengar berita runtuhnya tembok yang sedang dibangunnya. Dia mendatangi bagian tembok yang runtuh itu. Dia melihat seorang wanita yang cantik sekali. Kaisar langsung tertarik dan ingin menjadikan Meng chiang Nu sebagai selirnya. Meng Chiang Nu tak mampu menolak. Andai menolak dia pasti dihukum mati. Demi jasad suami mendapatkan perlakuan yang layak, Meng Chiang Nu mengajukan 3 syarat: Suaminya mendapatkan peti mati yang layak, seluruh menteri ikut berkabung, dan Kaisar harus menghadiri pemakaman suaminya. Kaisar bersedia memenuhi ketiga permintaan itu.
Setelah jenazah suaminya dimakamkan, saat dibawa menuju istana Kaisar, Ketika melewati sungai, Meng Chiang Nu melompat ke dalam sungai dan berubah menjadi seekor ikan. Kaisar kesal bukan kepalang.
Imei sangat terharu mendengar cerita itu. Papanya sedang mengajarkan arti kesetiaan padanya.
" Itulah sebabnya dalam acara kematian orang Cina mengenal acara 7 hari, 49 hari, dan 100 hari, juga patokan berkabung bagi anak cucu orang yang meninggal. " kata Akung menutup ceritanya.
Imei meresapi cerita itu sedalam-dalamnya ke lubuk hatinya. Malam itu purnama bersinar terang tanpa halangan. Menjelang tengah malam Akung menyerahkan sebatang anak kunci pada Imei.
" Naiklah ke loteng. Aku sudah terlalu lelah untuk naik lagi. Wakili aku menuangkan 3 cangkir arak dan mengajak Kinarti bersulang. Kalau kamu tak mau meminum araknya, tuangkan secara harizontal." pinta Akung. Imei mengangguk dan melaksanakan perintah Papanya. Ia naik ke loteng dan masuk ke dalam kamar. Lukisan itu sepertinya bercahaya. Imei menuangkan arak seperti arahan papanya. Sejenak ia tertegun. Wajah Kinarti yang berada di dalam lukisan itu seperti benar-benar tersenyum. Imei menatap lukisan itu dengan seksama, kemudian mengunci pintu dan kembali ke kamar Akung. Wajah Akung juga tampak sedang tersenyum.
" Sudah dilakukan, Mei ?" tanya Akung. Wajahnya tampak penuh kedamaian. Imei menganggukkan kepala.
" Kenapa hari ini Papa senantiasa tersenyum ?" tanya Imei yang juga berusaha tersenyum.
" Aku tersenyum karena sebentar lagi kami akan bersama. Aku tak ingin membebanimu lagi, Mei. Selama ini kamu telah melayaniku dengan baik. Sangat baik. Aku bangga di saat terakhirku ada anak yang melayaniku sedemikian baik."
" Ini sudah kewajibanku, Papa. Papa juga telah membesarkanku dengan baik, mendidikku dengan baik. Aku berterima kasih atas jasa-jasa Papa," airmata Imei mengalir ke pipi. Senyumnya menjadi senyum yang sumbang.
" Aku bukan Papa yang baik. Benar, Mei. Aku bukan Papa yang baik, tapi aku punya seorang anak yang sangat baik… hidupku sungguh tidak sia-sia. "
Imei menubruk Papanya dan menangis sejadi-jadinya. Keharuannya tak terperi.
" Sudahlah, Mei. Jangan menangisiku. Aku sedang bahagia menunggu saat kebersamaan yang panjang. Jangan nodai kebahagianku dengan airmata." Kata Akung pelan. Imei segera menghapus airmatanya. " Aku bisa merasakan kehadirannya. Ia ada di sini dan selalu tersenyum padaku. Ia datang menjemputku…" kata Akung dengan nada yang sangat gembira. Tampak kebahagiaan tercermin dari senyumnya.
" Bibi Kinarti ?" tanya Imei. Akung mengangguk. Sekali lagi ia tersenyum, senyum yang penuh kedamaian, senyum yang penuh cinta kasih.
" Jangan lupa membakar lukisan itu, di malam purnama seperti ini…" katanya semakin lirih. Imei menganggukkan kepala, kemudian menoleh ke arah meja. Ia melihat masih ada sisa arak di dalam gelas.
" Papa masih ingin minum ?" tanya Imei.
Wajah Akung masih tersenyum, tapi tidak menjawab pertanyaannya.
" Apakah Papa masih ingin minum ?" tanya Imei lagi. Akung diam saja. Imei menyangka Akung tidur. Ia mendekati ranjang membetulkan selimut. Sebelum berlalu ia menatap wajah Akung sejenak. Kenapa kelopak mata Akung terbuka? Ketika ia meraba nadi, denyut kehidupan itu sudah menghilang. Akung telah berpulang. Imei terpaku menghadapi kenyataan itu. Dengan perlahan ia mengambil baju 7 lapis yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sejenak ia teringat kata-kata Papanya, jangan nodai kebahagianku dengan airmata. Imei berusaha menahan tangisnya sedapat mungkin. Ia mengenakan baju kematian pada tubuh Papanya. Sepanjang hidup Akung selalu berwajah kaku dan tegas, tapi di saat kematian menjemput wajahnya selalu menampilkan senyum. Imei mengancingkan selapis demi selapis baju kematian itu. Setelah selesai, barulah ia meraupkan tangannya ke wajah Akung. Mata Akung menutup, menutup untuk selama-lamanya.
" Jangan tinggalkan Imei, Papa!! Jangan tinggalkan Imei! Imei masih butuh Papa ! Jangan tinggalkan Imei, Papa !!!!" jerit Imei histris. Ia tak mampu lagi menahan kesedihan yang dipendamnya dari tadi. Kesepian melandanya. Kekosongan menerpanya. Kini ia kehilangan seseorang yang selama ini sangat dekat dengannya.
" Ada apa, Imei ?" tanya Lan Nio yang berdiri di pintu mendengarkan tangisan Imei.
" Ma, Papa sudah pergi. Papa sudah pergi untuk selama-lamanya…" ratap Imei, airmatanya kembali meluap. Lan Nio masih tertegun di depan pintu.
" Oh !" Lan Nio bagaikan orang yang baru tersadar dari mimpi. Tanpa mengengok jenazah ia langsung berlari menuju rumah Asun. Saat itu Imei mendengar bunyi jam berdentang 12 kali. Akung memenuhi janjinya.
………
Sebahagian orang sudah menduga, sebahagian lagi kaget ketika diberitahu kematian Akung. Juru Adat yang mengurus jenazah di panggil. Jenazah Akung dipindahkan ke ruang tamu. Semua benda yang berwarna merah dibalut dengan kertas putih sebagai tanda duka. Lukman kembali dicari-cari, tapi kelihatan mustahil menemukannya dalam waktu dekat. Jenazah Akung akan disemayankan selama 3 hari di rumahnya untuk memberi kesempatan pada sanak dan keluarganya memberikan penghormatan terakhir. Selama 3 hari itu Imei bersimpuh di kaki jenazah membakar kertas akherat, dan setiap tamu yang datang ia harus menangis. Kata orang, tangisan itulah satu-satunya cara untuk memberitahukan kedatangan tamu pada orang yang barusan meninggal.
Amung mendengar berita itu dari obrolan orang-orang di pinggir jalan. Sama sekali tak ada yang mengabari tentang kematian Abangnya. Hal itu membuatnya kesal. Sejak ia memutuskan tinggal di gubuk pinggir kampung dan tidak mencampuri masalah kemasyarakatan, tak ada Kaum Keturunan yang mengunjunginya. Semua Kaum Keturunan menganggap ia pembelot terhadap agama, lari dari kehidupan normal, melupakan adat dan kebudayaan. Orang semacam ini dipanggil orang utan.
Di malam pertama ia datang ke rumah duka. Dari jauh dilihatnya kesibukan orang-orang yang sedang menyiapkan peti mati. Ada yang sedang mengoles sejenis perekat yang terbuat dari damar pada celah-celah peti mati, ada yang mengecat, dan ada yang sedang membuat lentera putih. Beberapa perempuan sedang menjahit baju belacu alias baju yang dipakai para penduka.
Imei tampak bersimpuh di kaki jenazah dan sedang membakar kertas akherat. Wajahnya merah padam oleh kobaran api dari kertas akherat yang dibakarnya. Mungkin seharian Imei membakar kertas-kertas itu. Alangkah berbaktinya anak satu ini. Bahagialah Akung mendapat seorang anak sebaik Imei. Ifen dan Ikling duduk di samping jenazah dengan wajah lesu dan sedang melipat kertas akherat sebagai persiapan yang nantinya akan dibakar di depan makam. Amung tidak melihat kesedihan yang mendalam di wajah mereka. Amung tidak bisa melihat wajah Lan Nio. Wajah Lan Nio menunduk dan terselubung kain belacu berbentuk topi segitiga.
Amung berjalan mendekati jenazah. Orang-orang yang dilewati mengacuhkannya, menganggapnya seakan-akan tak ada. Amung tak peduli, ia maju hingga ke depan pintu dan mengambil dua batang dupa yang berkaki hijau. Ketika ia menghidupkan dupa, Imei mulai menangis, diikuti oleh Lan Nio. Amung melihat tubuh Lan Nio yang kurus. Selesai berdoa, Amung menancapkan dupa dan menepuk pundak Imei.
" Sudahlah, Mei. Hentikan tangisanmu, tak penting Dia tahu aku datang atau tidak." Ucap Amung.
" Tidak, Paman ! Aku harus menangis sekeras kerasnya supaya Papa tahu kedatangan Paman !" tangisan Imei semakin keras.
" Orang-orang tidak menyukai kehadiranku, aku pergi saja." Kata Amung, matanya jelalatan ke sana-sini menatap kegiatan orang-orang yang sibuk bekerja. Imei segera menghentikan tangisan.
" Apakah Paman tak ingin melihat wajah Papa untuk terakhir kalinya, sebelum jenazah Papa di masukkan ke peti mati dan ditutup untuk selamanya ?" tanya Imei.
Wajah Amung tampak tergetar oleh pertanyaan keponakannya. Dengan cepat ia menggeleng,
" Tak usah, Mei. Tak usah. Aku tak mau mengganggu ketenangannya." Jawab Amung. Suatu jawaban yang terlalu mengada-ada menurut penilaian Imei. Mungkinkah ada suatu kesalahan yang dibuatnya sehingga menengok jenazah Abangnya pun takut ?
" Saat pemakaman, keponakan mengharapkan Paman ikut mengantar Papa ke peristirahatan terakhir," Kata Imei dengan wajah mengharap. Amung mengelak dari tatapan keponakannya.
" Aku tak janji, Mei. Jangan tunggu aku. Jalankan acara sesuai kebijaksanaan Juru adat." Kata Amung sambil melangkah pergi. Imei menatap kepergian Amung dengan perasaan tak mengerti. Semakin banyak pertanyaan bergayut di benaknya. Apakah kematian Akung tidak serta-merta menghapus perselisihan mereka?
" Paman Amung !" panggil Imei keras. Amung sudah hampir mencapai jalan. Sebagai pihak keluarga dekat yang berduka, Imei tak boleh melangkah keluar dari pintu sebelum jenazah Akung dimakamkan. Amung menghentikan langkahnya.
" Pantaskah kebencian dan pertengkaran masih disimpan di dalam hati, ketika seseorang sudah meninggal? " teriak Imei. Banyak tamu yang matanya tertuju pada mereka.
Amung terhenyak mendengar teriakan Imei, [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B