Ketika menjemput teman di bandara sore tadi, tak sengaja saya mendapat pelajaran berharga arti sebuah perkawinan. Di ruang kedatangan, seorang pria paruh baya menenteng koper dan tas kecil tergopoh menemui keluarga yang datang menjemputnya.
Sambil berjongkok ia memeluk anaknya yang kecil, perempuan usia lima tahun. Dari hangatnya pelukan erat anak-bapak ini tercermin betapa masing-masing amat rindu. "Apa kabar Mei Mei? Papa kangen nih!." Sang anak tersipu-sipu, "Mei Mei juga kangen, Papa." Kemudian ia memandang si sulung, bocah lelaki usia 10 tahun. "Wah, Koko sudah gede sekarang!" ujarnya sambil merangkulnya.
Mereka saling mengelus kepala. Adegan selanjutnya, adalah ciuman kasih si pria terhadap ibu kedua anaknya, layaknya pengantin baru.
Rasa iri terbersit di hati melihat adegan tersbeut.
"Sudah berapa tahun usia perkawinan Anda?" tanya saya kepada si pria. "Kami sudah menikah selama 17 tahun." Jawabnya tanpa melepaskan gandengan tangan istrinya.
"Omong-omong, Anda pergi berapa lama sih?"
"Dua hari," jawabnya singkat. Saya terkejut mendengar jawaban itu. Betapa tidak. Melihat kerinduan masing-masing dalam penyambutan mesra itu, saya pikir pria tadi sudah meninggalkan keluarganya selama berbulan-bulan.
"Mengapa Anda tanyakan hal itu?" tanya si pria melihat wajah saya termangu.
"Well, Semoga saya bisa seperti Anda."
"Jangan hanya berharap. Just Do It!" ujarnya berlalu.
Barangkali memang benar pernyataan Mignon McLaughlin jurnalis Amerika terkenal, sebuah perkawinan yang berhasil menuntut jatuh cinta berkali-kali tapi selalu pada orang yang sama. [Mariati Ong / Tangerang / Tionghoanews]