Namaku Sarah (buka nama sebenarnya). Saat ini aku berusia 22 tahun. Putri kedua dari empat bersaudara. Aku mempunyai seorang kakak laki-laki dan dua adik perempuan. Sejak kecil aku selalu hidup dalam pengawasan orangtua yang teramat ketat. Sampai-sampai apapun yang akan aku lakukan harus sepengetahuan mereka dan salah satu dari mereka harus ikut bersamaku, jika salah satu dari mereka tak bisa ikut maka akupun tak boleh bepergian.
Sekolahku juga diatur oleh mereka, mulai dari Pendidikan Dasar sampai sekolah menengah. Bahkan saat akan memasuki jenjang kesarjanaan, orang tuaku masih banyak mengatur ke jurusan mana aku akan masuk. Padahal saat itu aku ingin masuk ke jurusan tehnik, namun orang tuaku memaksa aku masuk ke jurusan pendidikan (guru). Karena merasa tak cocok dengan jurusan itu, aku menilak dan akhirnya selama satu tahun aku tak memiliki kegiatan apa-apa selain membantu pekerjaan rumah layaknya seorang pembantu.
Keadaan tersebut akhirnya membuat aku berontak, aku tak lagi menuruti keinginan mereka. Perasaan kesal dan jenuh itu aku lampiaskan dengan cara berpacaran. Dan buah dari berpacaran tersebut aku akhirnya hamil, saat itu umurku baru 17 tahun. Karena umurku yang masih sangat muda, kedua orang tua kami sepakat untuk sementara tidak menikahkan kami, tapi justru memisahkan kami. Aku dibawa ke Jakarta, sementara kekasihku tetap berada di Pulau Sumatra.
Singkat cerita, aku akhirnya melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Seperti juga dengan kekasihku, aku kembali dipisahkan dengan bayi mungilku. Setelah hampir enam bulan berpisah dengan anakku, akhirnya aku dipertemukan kembali, namun ibu melarang aku untuk mengakui anak tersebut adalah anakku. Dan ibu berpesan agar anak itu aku anggap sebagai seorang adik. Alasan ibu untuk menghindari pertanyaan tetangga seputar kehadiran kami ditempat yang baru.
Waktu terus berjalan, komunikasi antara aku dan kekasihku masih terus berlanjut walau hanya lewat telepon. Namun lama kelamaan perasaan cinta yang ada pada diriku hilang seiring berjalannya waktu. Dan aku mulai jatuh cinta dengan seorang tetanggaku sebut saja namanya Didi (bukan nama sebenarnya). dan akhirnya berpacaran walau dengan cara sembunyi-sembunyi karena orang tuaku melarang aku untuk berpacaran lagi dengan alasan suatu saat aku akan di nikahi dengan ayah dari anakku.
Namun itu semua tak bisa menghalangiku untuk berpacaran lagi. Setelah beberapa bulan berpacaran, orang tuaku akhirnya mengetahui tentang hubungan kami tersebut dan mereka memaksa kami untuk mengakhiri hubungan tersebut. Aku sendiri tak perduli lagi dengan kehendak orang tuaku, karena aku pikir Didi adalah lelaki yang benar-benar mencintai aku, karena walau aku mengaku telah memiliki anak, Didi tetap berniat untuk menikahi aku.
Sebagai jalan keluarnya aku memutuskan untuk pergi dari rumah dan tinggal bersama Didi. Tapi baru sehari aku tinggal dirumah Didi, ibu dan ayahku datang dan memaksa aku untuk pulang. Walau sebenarnya saat itu keluarga Didi tengah mempersiapkan lamaran kepada orang tuaku, tapi lamaran itu ditolak. Dan akupun kembali ke rumah.
Namun rasa cinta rupanya telah merasuki seluruh ruang hatiku, aku kembali kabur dari rumah dan kembali kerumah Didi. Dan seperti kejadian beberapa waktu lalu, ayah ibuku kembali datang, namun kali ini mereka tak memaksaku pulang, mereka hanya menyampaikan pesan kepada orang tua Didi, bahwa Didi boleh menikahi aku asal semua biaya hidup saat bayi sampai aku besar bisa diganti oleh keluarga Didi.
Dan tentu saja Didi tak akan pernah bisa menyanggupinya, karena mereka adalah keluarga yang serba kekurangan, dan karena hal itu pula Didi mengurungkan niatnya untuk menikahiku. Namun aku meyakinkan Didi bahwa aku tak akan pernah berpaling kepada laki-laki lain. Dan sejak itu kami akhirnya kembali berpacaran, walau dengan berbagai rintangan dari keluargaku.
Pembaca, aku tak tahu sampai kapan aku harus menjalani hidup yang seperti ini, sebenarnya aku ingin segera menikah, namun orang sikap orang tuaku tetap pada pendiriannya, bahwa Didi harus membayar dengan jumlah yang sama besarnya dengan jumlah yang telah dikeluarkan keluargaku untuk membesarkan aku, ya Tuhan, bagaimana aku harus mencari jalan keluarnya. [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews]