Aku melangkah sendirian di sore berkabut ini. Di luar sadarku, kakiku telah menjejak di sebuah kota Pecinan tua. Kutolehkan kepalaku ke kiri-kanan dengan bingung. Rumah-rumah Cina tua padat di sekelilingku.
Lusuh dan berlumut. Beberapa di antaranya hampir roboh. Seperti telah lama ditinggalkan penghuninya. Melihat ini, aku teringat pada setting rumah-rumah di masa kekaisaran Cina dalam film atau serial kungfu Mandarin. Persis sama. Hanya saja, kali ini aku benar-benar berada di tengah-tengahnya!
Kepalaku berputar, mencoba mencerna segala keanehan yang terpapar di sekelilingku. Di mana sebenarnya aku sekarang? Mengapa aku bisa berada di tempat ini? Dan, mengapa aku tak bisa mengingat apa pun?
Sepi terasa sangat menyengat. Udara beraroma khas debu tebal yang terbawa angin. Tiba-tiba, sesayup suara terdengar di keheningan yang pekat ini. Kucari-cari asal suara itu. Kudekati sebuah rumah tua yang sudah miring pintunya. Suara itu makin jelas, meski tetap sayup. Suara lirih perempuan. Suara erangan kesakitan. Ya, suara itu memang berasal dari situ.
Pintunya berkereyot saat kudorong. Tampak sarang laba-laba di atas kusen pintu yang rapuh. Sepertinya rumah ini sudah lama tak terurus. Seperti telah ditinggalkan penghuninya, sebagaimana rumah-rumah lainnya. Namun, erangan itu terdengar lagi. Di kegelapan ruang, kulihat siluet seorang perempuan tua berbaju encim lusuh, terbaring di atas dipan kayu. Kudekati perlahan. Makin jelas tubuhnya yang ringkih. Makin jelas rambut putihnya yang acak-acakan. Makin jelas keriput pada wajahnya yang kesakitan. Makin jelas rintihnya.
Air mukanya berubah cerah saat melihatku. Tangannya yang lemah menggapai-gapai menyuruhku mendekat, sementara mulutnya menggumamkan kata-kata yang sama sekali tak kumengerti.
Aku berdiri kaku di samping dipan tua itu, memandangi si nenek yang memegangi dadanya dengan tangan-kiri untuk menahan batuknya. Sementara itu, tangan-kanannya berusaha meraba-raba ke bawah bantalnya yang tipis. Tangan itu keluar lagi menggenggam sebuah foto tak berwarna yang hampir sama lusuh dengan tubuh si pemilik tangan kurus itu sendiri.
Susah payah, dia berusaha mengulurkan foto itu kepadaku. Potret seorang perempuan-muda. Aku diam saja sambil memandang bingung, bolak-balik antara wajah tuanya yang tampak kesakitan dan wajah manis dalam foto itu.
Dia seperti memaksa agar aku mengambil foto itu. Diselingi batuk, suaranya yang parau dan lemah menggumamkan sebuah kata berulang-ulang, sambil menunjuk dua karakter Hanzi1 yang tertulis di balik foto itu. Mata sipitnya yang keriput terasa menusuk mataku dengan pandangan meminta tolong.
Sikapnya seakan memberi isyarat agar foto itu tetap ada di tanganku. Tiba-tiba, setelah keluar satu batuk yang sangat keras dari mulutnya disertai segumpal darah, kepala itu tersentak jatuh dan terkulai di bantal. Tak bergerak lagi.
Aku kaget. Aku hanya bisa berdiri bingung dalam hening yang liat, sambil menatapi perempuan tua yang tak lagi tampak kesakitan itu. Wajahnya tampak damai, seakan merasa lega karena telah mempercayakan foto itu kepada seseorang.
Kupandangi wajah perempuan muda dalam foto itu. Agak buram dan lusuh, tetapi wajah itu masih terlihat jelas. Rambutnya diikat dua menjuntai ke bawah. Matanya khas mata perempuan Cina. Bibirnya tersenyum manis. Kuperhatikan lagi kedua wajah itu. Tampaknya, ada kemiripan di antara keduanya. Nenek dan cucukah? Tetapi, siapa...? Siapa mereka...?
Sayang sekali, aku tak pernah bisa menjawabnya.
"APA nama Tionghoa-mu?" tanyaku suatu ketika, pada gadis berkulit kuning di sampingku, teman kuliahku. Dosenku baru saja menerangkan sejarah masuknya imigran pertama Cina ke Indonesia dan proses pembauran mereka dengan pribumi.
"Untuk apa kau tahu? Kau pasti hanya ingin meledekku," jawabnya enggan.
"Aku ingin tahu saja. Lagi pula, untuk apa kausembunyikan? Malu?"
"Tidak. Mengapa harus malu? Cuma, apa perlunya? Aku toh tak pernah menggunakan nama itu," elaknya lagi.
"Itulah sebabnya aku bertanya. Aku ingin memanggilmu dengan nama itu. Sayang, kan, nama bagus-bagus tak pernah digunakan," rayuku lagi.
"Aku hanya tak mau orang-orang menengok dan memperhatikanku kalau kau memanggilku. Pokoknya, aku tak mau dipanggil dengan nama itu!" katanya sewot.
"Justru itu, mereka harus dibiasakan mendengar namamu yang indah itu. Sejak dulu, banyak orang seetnismu yang tinggal di sini. Lalu, mengapa orang yang berbeda etnis harus menganggapnya aneh? Nah, jadi, siapa nama Tionghoa-mu?" rajukku terus.
"Mei Hwa...," ujarnya lirih, akhirnya.
"Mei Hwa...? Hmm, indah sekali kedengarannya. Artinya apa?"
"Mei itu artinya cantik, hwa atau hua artinya bunga. Jadi, mei hwa berarti bunga yang cantik, atau bunga yang indah. Di Cina sendiri, ada legenda tentang Putri Bunga Mei Hwa, yaitu anak perempuan yang lahir dari bunga. Ada juga yang mengistilahkannya the blossom plum, kuntum-kuntum bunga pohon plum atau pohon premyang sedang mekar."
"Kata Mamaku," lanjutnya, "orang Cina itu ibarat bunga mei hwa. Dia bisa bertahan hidup di mana pun dan tersebar di mana-mana, di batu karang dan padang tandus sekalipun. Selain itu, Mei tentunya juga menandai bulan kelahiranku. Orangtuaku bilang, kelahiranku di tanggal satu bulan Mei itu merupakan pertanda baik. Begitulah asal-usulnya."
Aku terpana mendengarnya. "Wow, indah dan dalam sekali maknanya. Lalu, bagaimana tulisan Mandarin-nya? Kau bisa?"
Gerak tangannya yang lincah kemudian menuliskan dua huruf Han di atas secarik kertas. Di bawah masing-masing huruf itu, dia tuliskan dua kata dengan huruf Latin2: "Mei-Hwa". Kertas itu lalu kusimpan baik-baik di dalam agendaku.
Sejak itu, meskipun dia selalu protes, aku selalu memanggilnya dengan nama itu.
AKU tersentak bangun dengan peluh membasahi tubuhku. Segera kuambil buku agendaku, lalu kutarik kertas bertulisan "Mei Hwa" yang kuselipkan di situ.
Tiba-tiba, semuanya menjadi sangat jelas.
"Mei Hwa.... Mei... Hwa.... Mei Hwa!" ucapku berulang, sembari mengingat-ingat tulisan Hanzi di balik foto yang diberikan sang nenek tua. Tulisan di balik foto itu hadir lagi dalam benakku, bersama suara parau yang mengulang-ulang kata itu. Dan, benar, huruf-huruf itu sama dengan huruf-huruf yang tertulis dalam secarik kertas pemberian teman gadisku, yang kemudian kupanggil Mei Hwa itu!
Ya, itulah jawabannya! Itulah kata yang diucapkan berulang-ulang oleh perempuan tua yang kerap hadir dalam mimpiku sejak bertahun lalu, yang tiba-tiba mendatangiku lagi malam ini. Mimpi aneh itu selama ini membuatku sangat terobsesi, karena dia mengusikku berulang kali tanpa pernah kupahami apa maknanya. Juga, tanpa kutahu harus menelusuri artinya ke mana.
Wajah sang perempuan tua, wajah gadis dalam foto, lalu wajah gadis Tionghoa idamanku itu, ganti-berganti terpampang di kepalaku kini. Garis-garis wajah yang sama, tatapan yang sama, senyum yang sama. Juga tulisan yang sama. Berarti, foto itu....
Dia hanya tertawa saat mendengar ceritaku. "Kau ada-ada saja. Masa gadis dalam foto itu mirip aku?" katanya tak percaya.
"Iya, sungguh. Semakin kuingat mimpi itu dan semakin kukenal kau, semakin kuyakini bahwa mimpi itu bukanlah mimpi biasa. Dan, inilah kejelasannya sekarang! Gadis dalam foto itu bukan cuma mirip kau, tetapi memang kau!" seruku.
"Ah, ngaco!"
"Aku hampir tak pernah bermimpi. Tetapi, mimpi yang satu itu datang berulang-ulang secara berkala sejak bertahun-tahun yang lalu, jauh sebelum aku mengenalmu. Selalu mimpi yang sama, aku tak pernah tahu apa artinya. Aku bahkan hampir gila memikirkannya. Tetapi, sekarang aku yakin sekali, kaulah gadis dalam foto yang diserahkan perempuan tua itu! Mungkin dia adalah nenekmu, atau nenek buyutmu, atau leluhurmu. Aku yakin, dia sengaja memintaku untuk menjagamu, menolongmu. Dia minta aku menolongmu!"
"Ah, aku tak percaya. Ceritamu itu terlalu konyol dan terlalu dibuat-buat. Kaupikir, dengan itu kau bisa melegalkan keberadaanmu di sisiku?"
"Jangan salah sangka. Aku tak memerlukan itu untuk merayumu. Aku tahu, sebenarnya kau sangat mencintaiku."
"Jangan mulai lagi." Matanya menatapku sedih. Ucapannya mengiris-iris jantungku. "Kau tahu perasaanku. Tetapi, kau juga tahu bahwa itu tak mungkin. Kita ada di dunia yang berbeda. Agama kita, orangtua kita, jalan hidup kita...."
"Justru itulah. Mungkin itulah yang membuat leluhurmu mengirim pesan itu kepadaku, agar aku menjagamu, melindungimu!" tegasku lagi.
"Tidak mungkin. Itu mustahil. Lagi pula, aku tak butuh penjagaanmu. Aku tak butuh pertolonganmu. Kau cukup menjadi kau yang sekarang ini. Itu cukup," lanjutnya tegas.
Seorang modernis dan reformis. Itulah dia yang sebenarnya. Sayang sekali, dia tak pernah merasa cukup mampu merepresentasikan sikap itu dengan tegas. Bahkan, di zaman sekarang ini, orangtuanya yang tergolong pebisnis sukses itu masih mengikatnya dalam tradisi dan disiplin keluarga warisan leluhur yang feodal. Mereka juga menanamkan ajaran yang begitu dalam tentang bakti dan hormat kepada orangtua, hingga dia tak pernah berani membantah, apalagi mendobrak benteng-benteng kuno itu. Sampai-sampai, membiarkan aku mengantarnya pulang hingga ke depan rumahnya pun dia tak pernah berani. Dia selalu menyembunyikan keberadaanku dari kedua orangtuanya. Sampai kapankah dia akan membiarkan batas-batas itu begitu membelenggunya?
Sial sekali, aku tak bisa berbuat apa-apa. Nyatanya, terlalu besar justifikasi masyarakat mengenai perbedaan dunia kami: asal-usul kami, agama kami, status sosial kami, latar belakang budaya kami. Aku muak! Tak bisakah semua itu dianggap tak ada? Bukankah banyak pasangan lain seperti kami yang mampu menembus perbedaan itu dan bisa menyatu dengan bahagia? Mengapa bagi kami semua itu seakan sulit sekali terwujud, bahkan di era yang sudah semodern dan sebebas sekarang ini?
Andai saja dia berani mengubahnya....
***
Tanggal satu, bulan Mei, empat tahun lalu.
"Aku tak tahu seperti apa bentuk bunga mei hwa itu dan di mana mencarinya. Mudah-mudahan, mawar-putih ini bisa menggantikannya. Inilah bukti putihnya cintaku padamu." Itulah kado bagi ulang-tahunnya yang ke dua-puluh-satu. Dia tersenyum. Tetapi, senyumnya getir.
Rupanya, malam itu pun adalah makan-malam pertama kami sekaligus yang terakhir. Aku hanya bisa menggemeretakkan gigiku dengan geram ketika menyadari: mengapa orangtuanya yang sebelumnya selalu melarang, saat itu mengizinkan dia keluar malam bersamaku, seorang lelaki yang bukan dari etnisnya pula. Mereka sengaja membiarkannya, buat yang pertama dan terakhir kalinya.
Semestinya, tahun-tahun berikutnya aku mengenang hari jadi sang Putri Bunga ini sebagai kenangan indah, dan memberikan hadiah yang lebih indah untuknya. Semestinya.
Nyatanya, seribu semestinya tak akan membalikkan waktu dan mengembalikan aku ke hari itu. Nyatanya, seribu semestinya itu hanya membuat perasaan dan pikiranku semakin kacau setiap tanggal itu tiba kembali, dan membuatku ingin sekali tertidur pulas seharian penuh, agar ketika terbangun aku sudah tidak lagi berada di tanggal itu. Aku sungguh tak ingin perempuan tua itu mendatangiku lagi dalam mimpi dengan wajah teramat sedih dan kecewa, seperti menyalahkan ketakmampuanku melaksanakan amanatnya.
Aku memang bodoh - demikian aku terus mengutuki diriku selama empat tahun ini. Bodoh! Mengapa malam itu aku tak berhasil menembus dinding tebal yang memagari hatinya? Aku yakin, bila aku bisa mengorek penyebab kemurungannya saat itu, aku tak harus kehilangan dia dengan cara setragis ini. Entah bagaimana caranya, tetapi aku yakin akan bisa melaksanakan amanat leluhurnya itu: menjaga dan menolongnya. Paling tidak, mencarikan jalan keluar baginya. Ya, seandainya saja aku tidak terlambat...!
Esoknya, dia tidak datang ke kampus. Esoknya lagi, kuterima sebuah e-mail darinya. Lama aku terpana menatap huruf-huruf di monitor itu, berharap bahwa yang kubaca itu cuma lelucon tak lucu. Tetapi, detik berikutnya aku sadar: itu sama sekali bukan lelucon.
Dia sudah berada teramat jauh dariku, di negeri leluhurnya. Orangtuanya membawa dia ke rumah kakeknya yang sedang sakit-keras di Beijing. Bukan untuk menjenguk satu atau dua minggu saja. Dia mungkin tak akan pernah kembali lagi, karena dia akan segera dinikahkan dengan anak kerabat sang kakek! Dia tak bisa berbuat apa-apa karena itu adalah amanat kakeknya, yang mungkin saja adalah keinginannya yang terakhir. Alasan klise yang sangat menyakitkan!
***
Aku berada di sini sekarang, di negeri nenek moyangnya, tanah leluhur yang tak pernah dicintainya, juga tanah yang semenjak itu sangat kubenci, karena dia telah menelan gadisku di balik Wan Li Chang Cheng3 yang kokoh itu, dengan segala tradisi yang mengekangnya tanpa pilihan. Aku berada di sini sekarang, tepat di hari ulang-tahunnya dengan satu-satunya alasan yang juga tanpa pilihan: perusahaanku mengharuskan aku menemui beberapa klien penting di sini.
Udara cerah sekali pagi ini, seakan menjanjikan bahwa aku tak bakal menjalani hidupku seharian ini dengan perasaan tak karuan seperti satu Mei tahun-tahun lalu.
Ah, seandainya Mei Hwa-ku masih berada di suatu tempat di negeri ini...! Sayang sekali, itu hanyalah harapan hampa. Dia kini tertanam jauh di bawah permukaan tanah leluhurnya ini.
Ya, di sanalah dia berada kini. Sehari sebelum tanggal satu Mei tahun berikutnya tiga tahun lalu, dia mengirim e-mail singkat: "Besok, aku akan mengakhiri semuanya. Aku tak tahan lagi menerima perlakuan kasar suamiku...."
Aku teriris membacanya. Tetapi, aku hanya bisa membalas: "Sabarlah. Aku berjanji akan menelepon besok pagi untuk mengucapkan selamat. Kau harus bahagia."
Esoknya, pagi-pagi sekali aku meneleponnya, dengan harapan dia bisa terhibur mendengar suaraku. Tetapi, sekali lagi aku terlambat. Yang aku dengar adalah: dia telah mengakhiri hidupnya beberapa jam sebelumnya, tepat pada tengah malam...!
Mengapa kaulakukan semua itu, Mei Hwa? Untuk membuktikan bahwa jalan hidup kita memang berbeda? Mengapa kau tidak seteguh arti namamu? Ya. Bagaimana pun, itulah satu-satunya bentuk perlawanan yang mampu kaulakukan.
Semilir angin berembus dingin di tengkukku saat kuletakkan setangkai mawar putih di pusaranya. Senyumnya yang masih tertinggal di benakku mengembang bagai kuntum bunga pohon plum di balik tembok makam.
Dan, untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, hatiku tak menjerit lagi seharian ini. Dan, malam ini, perempuan tua itu tidak lagi menangis dalam mimpiku. Dia tersenyum damai bersama Mei Hwa-ku di sisinya. Mei Hwa-nya. (Disalin oleh: Mei-ing)