Justru sebaliknya: di mataku dia adalah wanita yang rapi. Hem putih lengan panjangnya terlihat apik sampai ke gulungan lengannya. Sementara celana jins membungkus pinggul dan pahanya yang berisi, yang berikut selop atau sepatu bertumit tingginya mampu menegaskan kesempurnaan anatomi perempuan dalam perspektif masa kini.
Setiap kali pergi keluar rumah, tentulah dia melintasi rumahku. Ia berjalan di gang yang tak terlalu besar ini, menuju jalan besar tempat ia, seperti kami semua penghuni lingkungan ini, akan mencari angkutan. Pagi menjelang siang saat matahari mulai memanas, melihatnya melintas seperti ada desiran angin sejuk, sesuatu yang masih kunikmati di kota ini. Demikian pula kalau dia melintas pada sore hari. Suasana yang ditimbulkan lain lagi, yakni kesegaran senja.
Ah...
Tentu saja, setiap kali berpapasan kami akan bertukar senyum, anggukan kepala, atau istilah ke-Belanda-belanda-annya groeten. Tak lebih dari itu. Entah bagaimana, bertetangga lagi di kota dengan lingkungan yang telah banyak berubah ini (termasuk perubahanku sendiri, ketika kini aku telah berkeluarga), tanpa pernah berucap kami masing-masing tiba-tiba mampu membatasi diri untuk berkomunikasi seminimal mungkin. Sebatas anggukan atau senyum tadi kalau kebetulan kami berpapasan, meski di kepalaku, dan tentulah di kepalanya pula, sebetulnya tersimpan pengalaman, yang kami berdua rupanya sama-sama tahu untuk menyimpannya bagi diri sendiri saja.
Oleh karenanya, pertama-tama aku harus meminta maaf padanya, kalau aku tak bisa menahan diri untuk menulis cerita ini, yang kuproyeksikan untuk dimuat di suatu koran. Susah sekali bagiku sebagai seorang penulis untuk menahan diri dari dorongan untuk menuliskan sesuatu yang hidup dalam diriku. Betapapun, aku berusaha membuat rambu-rambu sebegitu rupa, baik menyangkut gambaran lingkungan dalam cerita ini sampai ke nama tokoh, yang semua kusamarkan, agar tidak terlalu berasosiasi padanya dan merugikannya.
***
Aku ingin mengembalikan dia pada masa remaja dulu. Ingatanku tentang dia jauh pada masa lalu itu berpilin-pilin dengan hiruk-pikuk kehidupan remaja di kota ini, terutama untuk diriku pribadi dengan kelompok bandku: Armagedon. (Menggelikan juga kalau kucoba mengingat-ingatnya kembali. Cara bermusik kami sangat sembarangan. Meniru-niru band-band dari kota besar ataupun luar negeri yang kami dapati informasinya dari majalah, dan pokoknya bermain asal keras. Kadang gitarku pada nada dasar C, tetapi Bambang, temanku yang menjadi vokalis, berteriak pada nada G. Itu pun sudah membuat penonton bertepuk tangan...).
Tempat berkumpul dan latihan band kami, rumah Bambang, si vokalis yang kusinggung tadi, tak pernah sepi dari cewek-cewek terpopuler di kota. Menyangkut kenangan tentang wanita yang kuceritakan ini, aku masih ingat kejadian suatu malam, ketika aku datang ke tempat berkumpul anak-anak itu, sedianya untuk latihan band.
Bambang kulihat duduk sambil merokok. Begitu pula Titot dan Ris. Dua nama terakhir itu adalah pemain bas dan keyboard.
"Di mana Yongki?" tanyaku menanyakan satu teman kami lagi, penabuh drum.
"Settt..." Bambang memberi isyarat agar aku tidak ribut.
"Ada apa?" tanyaku pelan.
Ia menunjuk pintu kamar di pavilion tempat kami biasa latihan. Titot dan Ris senyum-senyum.
"Kenapa dia?" bisikku mencoba meyakinkan, meski sudah menebak apa yang tengah berlangsung.
"Kami bawa cewek..."
"Ooh...siapa?" aku penasaran.
"Kukis...," jawabnya.
"Ooh..."
Dia rupanya yang dimaksud. Kami semua menjuluki cewek itu sebagai "Kukis", karena keluarganya pembuat atau penjual kukis (kukis adalah kue yang terbuat dari gandum. Di daerah lain kue ini biasanya disebut pukis, tetapi di kota kami orang menyebutnya kukis).
"Kalau kamu mau, nanti setelah Yongki keluar," ucap Bambang mengatur giliran.
Di otakku segera terbayang apa yang tengah terjadi di dalam kamar. Termasuk bayangan Si Kukis, cewek dengan tubuh padat dan warna kulit terang. Bagaimana keadaan cewek yang suka bercelana jins dan berbaju putih itu saat ini, di balik pintu tertutup itu? Aku menelan ludah.
Dari berbagai mozaik kenangan pada masa remaja, pengalaman itu salah satu yang masih bisa kuingat dengan jelas. Aku bisa mengingat, bagaimana ketika aku masuk kamar, kudapati dia yang telah ditinggalkan Yongki, tengkurap di ranjang tanpa selembar kain pun menutupi. Dia acuh saja ada orang lain lagi masuk kamar.
Aku duduk di kursi di samping tempat tidur. Dari balik rambutnya yang acak-acakan ia melirikku. Ia tersenyum. Tangannya bergerak, diletakkan di atas pahaku.
Kuakui ceritera ini agak dekaden. Namun memang begitulah kenyataannya. Aku saat itu agak gemetaran, ragu, dan canggung. Hanya, keraguan dan kecanggungan itu perlahan-lahan menghilang oleh reaksi dia yang luar biasa berani dan menantang. Ia sangat berpengalaman. Aku dibuatnya "KO" dalam sekejap...
***
Begitulah, seperti mungkin Anda alami, banyak hal tak terduga terjadi dalam hidup kita. Babak berikut ini, yang kelihatannya aku cuma mengarang-ngarang, sungguh-sungguh terjadi. Selepas masa remaja, aku bekerja di Jakarta. Dari bujangan sampai kemudian punya istri dan dua anak, aku pindah pekerjaan beberapa kali, sampai akhirnya aku bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di usaha perkebunan. Secara tak terduga aku bertemu lagi dengannya. Sungguh di luar bayanganku, di sebuah kota kecil di Kalimantan Timur yang kurasakan sebagai daerah "antah berantah", aku bertemu dia.
Di hotel terbagus di kota itu, yang dari kondisinya sebetulnya lebih tepat disebut losmen, aku saat itu tengah di depan petugas penerimaan tamu. Sementara aku mendaftarkan diri di resepsionis itu, tiba-tiba ada wanita masuk. Dia tak bisa disebut muda lagi. Tubuhnya sintal, dengan jins dan baju putih.
Rasanya aku mengenalnya...
"Hah, diakah?" aku terhenyak.
Ia terus melangkah.
"Siapa dia?" tanyaku pada resepsionis.
Resepsionis, seorang lelaki muda, senyum-senyum.
"Namanya Linda...," ucapnya sembari menahan senyum.
"Tak salah lagi, pasti dia...," pikirku.
Aku mengejarnya.
"Shio Lin..." teriakku.
Dia berhenti.
"Siapa?" dia mendekatiku dengan tatapan penuh ingin tahu.
"Ooh maaf, maaf, saya salah. Saya kira tadi teman saya...," aku berkilah.
"Ah tidak, kamu benar-benar memanggilku...," ia menyelidikiku.
"Tidak, saya salah. Maaf. Nama Anda Linda kan ternyata..."
Dia tahu kalau aku tengah mempermainkannya.
"Ayo, kamu ini siapa?" desaknya sembari memukul lenganku.
Aku tertawa. Tak tega mempermainkannya lebih lama.
"Dwi, Armagedon," ucapku sembari tak lupa menyebut nama kota kecil kami dulu.
"Hah..." dia terpekik. Ia menubrukku. "Ya ampun, kamu jadi kayak gini..." ucapnya sambil melihatku dari atas ke bawah. "Jadi gemuk begini...."
Jelas banyak yang berubah pada diriku. Aku memang menjadi gemuk, tidak seperti masa lalu, kurus, rambut panjang melebihi bahu.
"Ada apa kamu di sini?" tanyanya.
"Kerja. Nanti kuceritakan kalau ada waktu," jawabku.
Dengan setengah mengancam dia menyatakan, kami berdua harus bertemu. Ia hendak ada "urusan" dulu, tetapi dia benar-benar pengin ketemu aku.
Mengharukan juga pertemuan tak terduga ini. Setelah itu, tiga hari di daerah perbatasan tersebut aku benar-benar bersamanya. Selain melakukan tugasku sebagai ahli bagian akuisisi bagi perusahaanku, aku ke situ untuk mengakuisisi sebuah perkebunan kelapa sawit, bersama Shio Lin, Putri Kukis, yang di situ bernama Linda, aku juga mengakuisisi masa laluku...
***
Tahun 2009. Karena pertimbangan menyangkut pekerjaan dan terutama kesehatanku, aku dan istri memutuskan untuk mengakhiri tinggal di Jakarta. Ia tak berkeberatan, atau bahkan setengahnya mendorong, agar kami kembali ke kota kelahiranku saja, hidup seadanya, yang penting tenang dan bahagia. Kenyataannya memang demikian, setelah dijalani, hidup ini menggelinding begitu saja, seperti tak ada yang kurang.
Dua anakku sudah besar-besar, keduanya kuliah di kota lain. Praktis, hanya aku dan istriku yang kini tinggal di rumah orang tuaku dulu, di kampung di tengah kota ini. Yang tidak kuduga, ternyata sekarang Putri Kukis juga tinggal di kampung ini, tidak di rumahnya yang dulu tempat keluarganya berjualan kukis di Jalan Ksatrian. Ia menikah dengan tetangga lamaku yang rumahnya agak masuk lagi ke dalam itu, yang sekarang menjadi pegawai Pemda.
Kotaku sudah tentu banyak berubah. Hanya saja, kenyataan sebetulnya adalah apa yang terekam dalam memori kita, bukannya yang tertangkap oleh mata atau indra kita lainnya. Bagiku, pasar lama itu masih sama menyenangkannya seperti dulu. Alun-alun juga kurasakan tetap seperti dulu. Setiap pagi, aku suka berjalan-jalan mengelilinginya. Satu-satunya yang paling konyol menurut anggapan istriku, aku kadang-kadang masih datang ke bioskop Rex, satu-satunya gedung bioskop di kota ini yang sudah ada sejak aku kecil. Dalam pandangan orang lain, gedung bioskop ini pasti butut luar biasa, begitu pula film yang diputarnya, film-film lawas, belakangan bahkan melulu film-film seks. Toh bagiku, bioskop ini seperti tetap menyimpan pesona seperti pada masa lalu...
Yang juga kupandang tidak berubah adalah Putri Kukis, Shio Lin, Linda... Di mataku ia tetap seperti dulu, apalagi pakaian favoritnya tampaknya juga tak berubah: jins dan kemeja putih yang rapi. Dari balik tirai rumah, kadang aku tersenyum sendiri melihat dia melintas.
Jangan salah mengerti, jelas tak terpikir sama sekali di otakku untuk mengulangi permainan masa lalu. Gila apa! Begitu pun menurutku dia. Semuanya telah menjadi sejarah, yang memperindah kehidupan kami di kota yang menyenangkan ini. ***
Disalin oleh: Mei-ing