KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 14 Maret 2011

MY HOMETOWN

CERPEN: TEMPAT ini masih seperti dua puluh tahun lalu. Saat pertama kali kita pindah ke sini. Kamarnya masih tiga, dengan dua kamar mandi terletak di antara kamar anak-anak yang tak pernah terisi. Dua kamar itu tetap kosong hingga kini. Kita berbagi kamar itu satu-satu, sebagai tempat sembunyi saat ingin sendiri. Kamu dapat kamar di sebelah kanan dan aku di kiri kamar mandi. Kamarmu menghadap ke halaman depan dan aku menghadap halaman belakang. Di kamar persembunyianmu, kamu bisa melihat jalanan lengang yang hanya dilalui pedagang roti pagi hari atau tukang sate langgananmu pada malamnya. Halaman depan yang cukup lapang terisi sebuah pohon mangga besar yang kau tanam dari biji mangga yang kita makan saat pertama kali datang ke sini. Mangga gadung yang manis sekali. Kamu menyirami dan mengajaknya berbincang layaknya kekasih.

Pohon mangga itu tumbuh subur. Batangnya memiliki dahan-dahan kuat yang mampu menopang kita duduk di situ. Meski pepohonan selalu menghirup oksigen malam hari, daun-daun manggamu yang lebat tak pelit membaginya dengan kita. Sepanjang ingatanku, tak pernah kita merasa sesak saat duduk beberapa jenak di dahan pohonnya. Kita berbincang banyak hal di situ. Biasanya aku duduk bersandar di dahan yang lebih tinggi darimu. Kamu tentu ingat tukang sate langganan yang mengira kita hantu malam itu. Celingukan mencari sumber suara bicara di kegelapan, ia terbirit-birit mendorong gerobaknya tanpa menoleh ke belakang. Suara terompetnya ia perkeras, seakan ingin mengusir setan, dan tawa kita pun berderai melihat tingkahnya. Sejak hari itu, kita punya ritual baru saat bulan purnama tiba. Duduk, berbincang di rerimbun daun.

Para tetangga pun sempat mengira pohon mangga kita ada hantunya. Ingat kan dulu kita terpingkal-pingkal setelah Pak Irsan, tetangga sebelah kanan, datang bercerita tentang suara bicara dan tawa yang kerap ia dengar pada malam purnama dari halaman rumah kita. “Sepertinya itu suara Dik Wahid dan Dik Hanum. Tapi saya longok ke teras, kok kalian berdua tidak ada,” kisahnya dengan muka tegang. Kamu juga tertawa hingga sakit perut saat mendengar bagaimana ibu-ibu kompleks dengan gemas menasihatiku saat belanja di warung sayur Mas Bejo yang kini sudah jadi juragan cabe. “Nak Hanum, benar tidak dengar apa-apa?” tanya Bu Rusli yang tinggal di dekat pos satpam penasaran. “Apa ndak takut to Dik, pohonnya ada yang ninggali? Saya kenal orang pinter yang bisa ngusir roh halus. Kalau Dik Hanum mau, saya bisa panggilkan dia datang ke rumahmu,” kata Mbakyu Pardi yang cerewet. Kita diam saja tiap kali mendengar gunjingan-gunjingan itu. Biarlah mereka menduga apa saja. Ini rahasia kita berdua, katamu waktu itu dan aku setuju. Kita punya banyak rahasia. Hantu pohon mangga itu salah satunya. Lainnya adalah kode-kode kasih yang hanya kita yang tahu artinya.

Selain pohon mangga, di halaman depan kamu juga menanam rumput gajah yang menurutmu lebih bandel ketimbang jejarum rumput jepang. Kamu lebih senang rumput gajah yang lebih tahan hidup di berbagai jenis tanah, cuaca dan tak mudah rusak meski rumput liar mengganggunya. Daunnya yang hijau segar dan lebih lebar dari jarum rumput jepang kamu bilang jauh lebih menarik dan bersahaja.

Kemuning dan melati berjajar di pagar, meruapkan wangi nyaris sepanjang musim. Reranting kamboja putih di sudut halaman seperti jemari penari yang senantiasa menaburkan bunga tatkala angin membelainya.

Di kamar yang selalu segar dengan aroma bunga, kamu menyimpan koleksi buku, gitar dan kamera. Sebuah tempat tidur dan meja tulis mengisi salah satu sisinya. Kamu akan mengeram di sana kala kita sedang bermusuhan. Biasanya kamu mengetik artikel, mengolah foto atau memetik lagu cinta di dawai gitarmu hingga aku keluar dari sarangku: kamar di seberang kamarmu. Warna dindingnya biru. Entah kenapa aku lebih senang biru ketimbang merah jambu yang katanya warna wanita. Pernah kuganti warna lain, tapi aku malah merasa tidak nyaman dan akhirnya aku memilih kembali ke biru. Kamar kita berwarna jingga. Warna hangat yang sangat bergairah. Memang kamar jadi terasa sedikit lebih sempit. Tapi aku lebih suka warna cerah untuk kamar kita dan kamu setuju saja. Katamu, aku jadi lebih menerbitkan gairah tiap kali ada di kamar itu. Aku sendiri tak pernah ambil pusing dan cuma ingin kita selalu hangat.

KAMARKU menghadap ke halaman belakang yang mungil—lebih kecil dari halaman milikmu—tapi jauh lebih berwarna. Selain rumput hijau, aku punya rumpun aster marun dan jajaran amarilis merah mencolok di pinggir tembok. Di sebelah aster, aku menanam pisang-pisangan berbunga kuning hingga ke pinggir lantai teras. Aku letakkan sebuah pot teratai putih dan merah muda—yang selalu kuanggap melambangkan kita—di pinggir pintu menuju danau di belakang rumah. Aku membuat pergola yang bawahnya kutanami pohon bunga terompet ungu dan tangkai sulurnya kurambatkan sebagai naungan amarilisku. Bunga-bunga ungunya menyembul dan menjuntai cantik seperti ayunan peri-peri bunga di dongeng yang kubaca saat anak-anak. Aku sering melamun sambil menyimak kupu-kupu dan kumbang yang hinggap di bunga-bunga itu di teras belakang, pagi-pagi saat aku habis bertengkar denganmu.

Pada banyak pagi, aku menyadari bahwa cinta kita memang jelmaan teratai putih dan merah jambu itu. Jiwa kita tumbuh di tanah yang sama, meski memiliki warna berbeda. Kamu pendiam, tenang, tapi periang. Sementara aku ceria di permukaan, tapi sebenarnya rapuh dan penyedih. Kita sama-sama suka puisi walaupun kamu tak pernah bisa menulisnya. Aku seringkali membuat puisi untukmu. Tak pernah sebagus puisi Sapardi Djoko Damono, dan cuma berisi curahan hati. Aku tak peduli apakah puisiku indah buat orang lain. Aku menulis puisi hanya untukmu dan diriku sendiri, selalu kataku bila kita tertawa membaca puisi-puisiku yang penuh gerutu.

Dari jendela kamarku yang bertirai putih dengan renda biru di tepinya, aku selalu mengenang perjumpaan kita sambil menatap teratai di pot yang kita gotong berdua. Kita membelinya di tukang kembang di pinggir Senayan, di sebuah siang yang lengang. Hari itu beberapa hari setelah lebaran, kira-kira sembilan tahun lalu. Teratai sedang digemari. Nyaman sekali melihat bunga itu ada di pinggir jalan dan aku memintamu berhenti. Kita turun dan melihat-lihat di satu-satunya kios yang buka saat itu. Aku langsung jatuh cinta pada teratai putih dan merah muda. Paduan keduanya begitu pas dan aku memutuskan membeli bibit teratai, tanah beserta pot yang berukuran agak besar.

Kamu juga membeli kemuningmu di situ. Jadi umur kemuningmu sama dengan umur terataiku. Kamboja putih belum kamu tanam ketika itu. Padahal aku sudah jatuh cinta pada kamboja sejak berusia belasan tahun. Aroma lembutnya selalu menghadirkan perasaan asing yang indah buatku. Bunganya juga cantik. Aku senang menyebut diriku sebagai kamboja dan melati. Keduanya menurutku bunga sederhana yang mudah tumbuh di mana saja. Keduanya juga wangi dan sama-sama berwarna putih. Sayang, kamu sudah memutuskan halamanmu adalah taman dwiwarna. Kamu cuma mau tanaman hijau dengan bunga putih. Maka aku tak boleh lagi menanam tanaman kesukaanku itu di halamanku. Itu sebabnya aku menanami tamanku dengan bunga aneka warna.

Kala sedang bosan dengan taman dwiwarnamu, kamu mengajakku duduk di teras belakang, berbincang banyak hal sambil memandang danau lebar di belakang pagar. Atau kita mengambil binokular, dan duduk di dangau kecil yang kamu buat di pinggir danau, mengintai orang pacaran di sebelah utara danau itu. Sabtu malam, kerap kita berkencan di dangau itu. Aku memasak bistik lidah kegemaranmu—resepnya kudapat dari Mamamu—melengkapinya dengan rebusan irisan wortel dan bayi buncis yang manis, tumis jagung muda dan kentang goreng. Tugasmu menyiapkan tempat kencan. Aku sering dapat kejutan saat membawa masakanku. Selain taplak renda buatanku, piring dan piranti makan, di meja kamu letakkan mangkuk bunga, dan lilin aroma cendana. Kita berdua makan dalam diam menekuri hidangan sambil sesekali berpandangan. Indah. Satu-satunya hal yang tidak indah, selalu saja dengung bising ribuan nyamuk danau yang merasa diundang berpesta.

BILA musim mangga, beberapa sahabat sering berkumpul untuk memanennya. Pesta rujak kita gelar di dangau. Biasanya, sahabat-sahabat kita membawa makanan dan kudapan, hingga aku hanya perlu membuat beberapa cobek bumbu rujak dan menyediakan sebaskom besar buah-buahan. Juga sirup, soda, bir, dan minuman dingin lain. Kalau sedang rajin, aku membuatkan mereka es buah yang selalu mereka tunggu.

Mereka sahabat setia yang sangat memahami aku dan kamu. Mereka tahu persis kisah kita dan tidak pernah menghakimi keputusan yang kita buat. Kisah yang dimulai dua puluh lima tahun lalu. Saat tatapan mulai mengantar pesan singkat yang lantas jadi panjang ke hati kita. Saat akhirnya kita tak lagi bisa menghindar dari berbagai kebetulan yang mempertemukan jiwa kita dengan belahannya. Aku sempat tak percaya ada belahan jiwa. Aku sempat percaya bahwa jiwa kita tak pernah terbelah. Ia hanya memiliki dirinya sendiri. Tapi nyatanya, jiwa kita terbelah dan saling menemukan di saat tak terduga. Celakanya, kita memutuskan memilih risiko terbuang demi jiwa kita. Aku memilihmu dan menerima cibiran dan hujatan bahwa aku wanita tak berperasaan.

Aku memulai kebersamaan kita dalam gamang, dan merelakan sepenggal masaku hilang dari peredaran. Kamu juga mengambil risiko itu. Menerima tudingan sebagai suami tak setia yang mudah tergoda. Menampung segala cemooh dalam palung terjauh di hatimu dan menyimpannya rapat-rapat. Lama kita berusaha membangunkan diri dari mimpi. Tapi ini memang bukan mimpi hingga yang bisa kita lakukan adalah menghadapi kenyataan. Kita berdua saling bantu melewati masa sulit itu. Masa sulit yang menurut orang lain memang kita cari. Aku pun sudah bersuami pengusaha muda, tampan dan mapan kala itu. Tak ada alasan aku perlu meninggalkannya. Hanya wanita gila yang mau meninggalkan pria seperti suamiku untuk seorang pria yang belasan tahun lebih tua darinya. Tapi aku mengambil risiko itu. Aku sadar sekali bahwa hidup adalah pilihan dan aku memutuskan untuk memilih. Mengejar belahan jiwa yang sebenarnya aku sendiri ragukan keberadaannya. Karena kamu juga memilih risiko itu, aku pikir ini cukup adil. Kita pasti bisa mengatasinya berdua.

Nyatanya, kita tak selalu berhasil. Ada banyak hari dan ratusan malam yang harus kita isi dengan pertengkaran, kesalahpahaman, juga kejemuan. Labirin waktu sering seperti tak berujung. Tapi kita sudah memilih dan tak lagi bisa undur diri. Ini pertarungan keyakinan. Kita bertaruh dengan masa lalu, bercita-cita memenangkan masa depan yang entah seperti apa wajahnya. Aku tak mau mundur, begitu pun kamu. Sama keras kepala. Maka kita terus melangkah walau banyak paku terinjak dan melukai telapak kaki kita. Orang-orang yang tersakiti keputusan kita bertepuk tangan melihat luka-luka yang kita peroleh. “Rasakan karmamu,” begitu kata mereka.

Kita terus melangkah dengan hutang karma yang entah kapan akan tunai. Hingga akhirnya kita dapat berdamai dengan segala hujatan. Pelan-pelan kita keluar dari bimbang dan gamang. Seperti tumbuhan cangkok yang sering nyaris mati, cinta kita bertunas lagi bersama rumput halaman yang makin subur hijau melapisi tanah coklat di bawahnya. Masalah dan pertengkaran seperti air dan pupuk yang membuatnya jadi lebih sehat. Kita lewati semua badai yang tak bersahabat pada kita, sepasang pendosa. Kita jalani semua dan di sinilah kita sekarang.

AKU menungguimu di kamar putih bersih. Ruang perawatan yang kau huni sejak berminggu-minggu ini. Selang-selang halus bersilangan di atas tubuhmu. Mesin pencatat detak jantung dengan cermat mendeteksi detak jantung yang telah menderamu dengan pukulan keras, memecahkan pembuluh darah otakmu, dan membuatmu terkapar habis dalam ketidaksadaran. Beberapa tahun lalu kamu pernah juga mengalami serangan semacam ini, hanya jauh lebih ringan; begitu kau pulih, aku sudah memintamu untuk tidak lagi terlalu sibuk memotret dan bepergian mengajar ke mana-mana setelah serangan itu. Kamu sempat mengikuti saranku.

Tapi itu hanya beberapa bulan. Begitu merasa sehat lagi, kamu kembali pada kegiatanmu. Memotret, memberi ceramah di mana-mana. Kamu bahkan mengajakku mewujudkan keinginan kita membuat buku perjalanan. Dua tahun lalu buku itu berhasil diterbitkan dan cukup laku di pasaran. Kita dapat royalti cukup besar dari penjualan buku itu. Tapi kita sama sekali tak berniat menggunakannya sendiri. Aku tak ingin apa-apa lagi. Rumah kecil kita sudah sangat nyaman dan honorku sebagai penulis lepas juga penghasilanmu memotret dan mengajar sudah lebih dari cukup buat kita berdua. Kita cuma perlu makan, membeli buku, CD musik dan peralatan yang bisa membantu kerjamu dan kerjaku. Selebihnya kita tak merasa perlu apa-apa. Maka kita putuskan menyumbangkan royalti buku itu untuk yayasan yang menangani anak-anak penderita kanker.

Keputusan yang ternyata jadi pertanda buatku bertahun-tahun setelahnya. Pada suatu hari aku mendapati bahwa kanker juga tengah menggerogotiku. Dia hinggap di kelenjar getah beningku, menyebar ke banyak organ dan siap membuat tubuhku berhenti berfungsi di hari yang tak jelas kapan. Dokter itu bahkan tak berani memberi garansi berapa lama lagi aku hidup. Tak tega mengatakan ini padamu, aku simpan rapat semua hasil pemeriksaan, juga surat pengantar untuk menjalani kemoterapi. Aku memilih melakukannya diam-diam, walaupun aku tak tahu berapa lama bisa menyembunyikannya darimu. Ternyata alam tahu caranya. Ia buat kamu koma tanpa aku sempat memberitahukan keadaanku. Dalam duka, aku berencana memberitahu saat kamu siuman nanti dan minta dukunganmu menjalani pengobatan yang menyakitkan. Kini aku memilih merawatmu dulu. Tapi kamu belum sadarkan diri dan aku terus saja menanti.

Kita sudah melewati banyak hal dan aku ingin menghabiskan sisa hidup bersamamu, sesingkat apa pun itu. Lintasan peristiwa yang pernah kita lewati kembali terulang di benakku seperti sebuah putaran film. Dihiasi suasana rumah berisi kamarmu, kamarku dan kamar kita. Rumah yang punya dua taman dengan warna berbeda, dengan dangau kecil di pinggir danau lebar. Dengan pohon mangga yang biasa kita panjat dan kini tengah kita duduki. Aku tersentak. Kamu pun kaget menyadari bahwa kita sedang duduk di dahan pohon mangga seperti yang kerap kita lakukan di malam-malam bulan purnama.

Seperti biasa aku duduk di dahan yang lebih tinggi darimu. Tapi kali ini kita tidak bicara. Kita sibuk memperhatikan keramaian orang di rumah. Kita lihat Bimo, putra Pak Irsan sibuk menggelar karpet. Bu Tuning istri Pak Widodo, tetangga seberang rumah sibuk menyiapkan bunga. “Eyang, Eyang, ada kunang-kunang di pohon mangga. Ada dua,” tiba-tiba Sekar, cucu Bu Tuning memekik girang. Sirine terdengar di kejauhan dan makin mendekat. Kita berpandangan dan turun dari pohon mangga. Kamu menyapa Bu Tuning, tapi dia tak menggubris. Malah menangis, bergegas menuju dua ambulans yang beriringan datang dan berhenti di depan rumah. Kamu menarikku ke arah yang Bu Tuning tuju. Ada kita di dalamnya. Terbujur dalam tandu beroda yang ramai-ramai diturunkan. Semua menangis. Kita kembali berpandangan.

“Kasihan ya Pak Wahid dan istrinya. Berdua saja sepanjang umur, sampai meninggalnya pun sama-sama,” aku dengar beberapa tamu bicara. Salah satunya Gilang, sahabat kita. “Kata suster tadi, mereka mengira Tante Hanum sedang tidur sambil memeluk Oom Wahid saat mereka dengar mesin pencatat detak jantung Oom berhenti. Suster mambangunkan Tante. Tapi ternyata….” Bimo tak melanjutkan ucapannya pada Gilang. Kamu memelukku. Aku menangis, kamu juga. Tapi kita tak lagi punya air mata yang biasanya tumpah. “Eyang, kunang-kunang yang tadi di pohon mangga masuk ke rumah,” kata Sekar pada Bu Tuning yang kali ini mendengarkan cucunya. “Kunang-kunang?” tanyanya. “ Iya, Eyang. Itu ada dua, terbang di dekat Eyang. Loh, kok tinggal satu ya? Tapi jadi lebih besar cahayanya. Masak Eyang nggak lihat sih? Bagus deh. Sekar tangkap ya?” Bu Tuning menangis. “Jangan, Cah Ayu,” katanya. Memang. Noktah cahaya itu kita, ternyata. (*v*)

Disalin oleh: Chen Mei Ing

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA