Tapi, Aini cuma menatap mata Warahum, suaminya itu. Ingin ia mengatakan, apakah aku seperti yang kau bayangkan dengan begitu buruk?
Dan, ketika menjalankan kehidupan berumah tangga, Aini memang tidak sekalipun berusaha untuk mengetahui, maksudnya merogoh isi saku baju maupun celana suaminya. Lagi pula, ia menganggap tidak penting. Namun, sesekali melintas juga pikiran curiga, tepatnya perasaan bertanya-tanya, apakah Warahum, suaminya itu, suka menyimpan sesuatu di sakunya. Misalnya pada dompet, bukan mustahil ada foto perempuan selain dirinya. Atau suaminya takut ia mendapatkan sejumlah uang, lalu mencurinya untuk keperluan yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Atau suaminya tidak ingin ia tahu jumlah uang dalam saku suaminya.
Pantangan Warahum akhirnya bisa ia pahami sebagai pantangan serius, dan tidak perlu dipermasalahkan. Untuk itu, ia berhati-hati. Ketika hendak mencuci celana atau baju suaminya, ia terlebih dulu mengatakan kepada suaminya, apakah sudah tidak ada sesuatu di dalam saku? Untuk itu, ia akan mendapatkan jawaban singkat, berulang-ulang untuk pertanyaan yang sama, “Cuci saja!”
Tapi, setiap pantangan, selalu mendatangkan godaan. Suatu kali, ketika suaminya di kamar mandi, ia tergoda untuk merogoh saku celana suaminya yang tergantung di balik pintu. Ketika hendak melakukan, jantungnya berdebar. Takut ketahuan. Akhirnya Aini sekadar meraba saku depan dan belakang dari celana suaminya. Mungkin kertas atau sejumlah uang, batinnya. Jangan-jangan surat cinta dari perempuan. Ah, tak mungkin, elak hatinya. Itu gegabah.
Maka, ketika anak mereka satu-satunya lahir, kemudian menanjak remaja, ia pun mengingatkan hampir persis apa yang pernah dikatakan suaminya dulu.
“Nak, ayahmu tidak suka anak pemeriksa saku ayah. Ibu katakan itu padamu, penting artinya!”
Tapi, anak laki-lakinya itu, Yusuf, merasa larangan tersebut seperti menyuruh untuk memeriksa saku ayahnya. Hingga suatu hari, ketika ayahnya dilihat sedang asyik sarungan memberi makan burung, dengan diam-diam Yusuf mengendak ke kamar, lalu melongok ke balik pintu. Tangannya menurunkan celana sang ayah dari gantungannya. Namun, baru saja celana itu utuh dipegangnya, ayahnya masuk mendadak. Ia gelagapan.
“Kamu memeriksa saku ayah?” bentak Warahum pada anaknya dengan suara keras dan mata menatap tajam. Yusuf gelagapan, bagai tercagut dalam air.
“Jawab!” bentak ayahnya.
“Belum sempat, Ayah!”
Plak! Sebuah tamparan ke pipi Yusuf. Yusuf lari menyimpan tangis. Ia mendadak merasa benci pada ayahnya sehingga ia menduga ayah menyimpan sesuatu dalam sakunya. Untung perasaan benci itu hanya seketika.
Kepada ibunya ia minta maaf. Ibunya hanya menjawab, “Larangan bukan untuk dilanggar, tapi untuk mempertegas kepercayaan orang lain pada kita!”
Lalu sebuah nasihat untuk Yusuf.
“Nak, apa pun alasannya, memeriksa saku atau dompet yang bukan milik kita, itu tidak baik. Tabu malahan!”
Yusuf hanya menunduk.
Suatu hari, Sofia ia lihat bermata sembab. Ia habis menangis tampaknya. Aini menilai sesuatu yang buruk telah terjadi pada Sofia. Tetapi, ia merasa tidak perlu tahu karena memaksa tahu masalah orang lain sama tabunya dengan merogoh saku suaminya.
Ketika ia sedang duduk di teras rumah, suatu pagi, kala Warahum telah berangkat kerja, Sofia datang. Wajahnya muram sekali. Sofia, tetangga yang selalu berkunjung ke rumahnya setelah pekerjaan dapur selesai. Saat itulah mereka ngobrol, kadang gunjing dan berangan-angan.
Tetapi kali ini, Sofia datang dalam maksud yang masih teka-teki bagi Aini.
“Aku sedih, Ai, sedih sekali. Sebab, pagi-pagi sekali, kami bertengkar. Suamiku nyaris menampar pipiku….” Begitu Sofia memulai pembicaraan sembari mengenyakkan pantatnya di kursi rotan teras rumah Aini.
“Ada apa Sofia?”
“Aku cuma iseng merogoh saku suamiku. Tapi, ia marah karena merasa malu. Sebab, di dalam saku celananya kudapati kupon togel, angka-angka menawarkan mimpi kaya….”
Aini ingat Warahum. Jangan-jangan alasan itulah yang membuat suaminya melarang sakunya diperiksa.
“Untuk apa kamu merogoh sakunya, Sofia?”
“Iseng. Lagi pula, suamiku tidak pernah berpesan untuk tidak memeriksa saku baju maupun celananya….”
“Sudahlah, tidak usah dipersedih. Maklumi saja, siapa tahu ia juga iseng pasang angka!”
“Soal pasang angka tidak soal bagiku. Tapi…”
Sofia tidak melanjutkan. Ia malah mendadak jadi terisak, menutup wajahnya dengan dua tangannya. Menangis.
Aini diam, bagai linglung. Tak tahu bagaimana menghibur teman yang juga tetangga dekatnya itu.
“Aku terluka. Terluka sekali,” katanya di tengah isak. Aini mengernyitkan kening sehingga lipatannya nyaris menyaingi kusut hati Sofia.
“Semestinya kamu tidak melakukannya, Sofia. Saku adalah wilayah pribadi, begitu juga dompet. Coba kamu tidak iseng merogoh saku suamimu, tentu semua akan berjalan baik-baik saja!”
“Tapi, aku bagai digerakkan tangan Tuhan untuk merogoh sakunya ketika ia sedang mencuci motornya. Kamu tahu apa yang kudapat selain kupon putih itu?”
Aini diam sesaat, lalu menggeleng.
“Kondom. Aku menemukan kondom dalam saku celananya. Apalagi semalam ia tidak pulang. Bayangkan, untuk apa benda itu baginya. Selama ini kami tidak pernah menggunakan benda itu dalam berhubungan.”
Mata Aini terbelalak. Ia gelisah. Terbayang Warahum, yang tiga hari terakhir ini suka pulang larut malam. Jangan-jangan suaminya juga menyimpan kondom dalam saku, pikir Aini. Cepat-cepat ia membuang pikiran buruk itu. Ia pun tak ingin mendengar kelanjutan cerita Sofia.
“Sebaiknya kamu tenangkan hatimu dulu di rumah. Selesaikan baik-baik, tanya dari mana dan untuk apa kondom itu untuknya….”
Sofia makin terisak.
“Menurutmu, apakah aku kurang menarik, Ai?”
Aini hanya menatap Sofia, lalu menarik napas. Diam-diam dalam hati, ia mematut diri sendiri, apakah aku masih cantik sebagaimana puji Warahum waktu hendak menikah dulu.
Peristiwa Sofia membuat perasaan Aini gelisah. Kegelisahan itu mungkin tidak akan ia alami kalau suaminya tidak pernah melarang dirinya untuk memeriksa saku celana maupun baju Warahum. Pantangan suaminya itu tentu setelah mendengarkan cerita Sofia membuat ia harus mempertanyakan dengan kecurigaan. Kenapa mesti dipesankan. Tentu, ya tentu ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya. Atau, suaminya sejak lahir suka punya bagian-bagian yang menurutnya boleh ada yang tahu dan sebaliknya.
Pengalaman buruk Sofia menimbulkan dorongan baginya untuk berusaha memeriksa saku baju, tepatnya celana, kemudian dompet suaminya. Laki-laki ternyata tidak melulu bisa dipercaya ketika ia selalu tampak baik-baik dan penyayang di hadapan istri, seperti suami Sofia misalnya. Burhan, suami Sofia, terlihat baik, murah senyum, dan suka menyapa. Tapi, ketika benda mencurigakan itu ada di dalam sakunya, alasan apa yang tepat diberikan kepada seorang istri.
Karena itu, kadang ia merasa aneh oleh pantangan-pantangan suami, yang diam-diam merahasiakan sesuatu. Misalnya, ia kadang ingin marah ketika suaminya cemberut ditanyai dari mana, jam berapa pulang, kenapa terlambat sampai di rumah. Tapi, mungkin, itulah laki-laki. Punya banyak pintu yang tertutup, dan kuncinya seperti disembunyikan jauh-jauh di sebuah tempat gelap.
Aini ingat Yusuf yang pernah ditampar Warahum ketika anak itu mencoba merogoh saku. Ingatan terhadap pengalaman buruk Yusuf mengentalkan kecurigaan. Pasti ada apa-apanya, sebab suaminya begitu sangat marah sampai-sampai harus menampar anak sendiri. Bisa jadi selalu ada persediaan kondom di saku celana Warahum.
Pikiran buruk beranak pinak dalam kepala Aini. Ia berniat, sungguh berniat, dan akan mengupayakan niatnya tercapai untuk mengetahui apa saja isi saku suaminya. Tapi, apakah mungkin bisa ia lakukan, sementara ia sadari suaminya begitu awas terhadap celananya dan juga bajunya yang selalu tergantung di balik pintu kamar.
Warahum baru pulang kerja. Aini sengaja merajut taplak meja di dalam kamar, menghadap jendela. Sore.
Suaminya membuka celana panjang, kemudian sebagaimana biasa, menggantungkan di balik pintu. Sesaat kemudian, terlihat Warahum mengenakan kain sarung kotak-kotak kecil. Setelah mengenakan oblong, ia minta dibuatkan kopi.
Aini meletakkan rajutannya di atas kasur.
“Mau minum di teras sambil baca koran, atau di kamar?” tanya Aini.
“Biasa, di teras!”
Di dapur, Aini membuatkan kopi lebih hati-hati dari biasanya. Harapannya, tepatnya ia berdoa, semoga kopi sore ini jauh lebih nikmat dari biasanya. Sebab, itu bukan tidak mungkin membuat Warahum keasyikan sembari membaca koran sore.
Kopi terhidang di meja kecil pada teras. Suaminya dengan santai mengenyak duduk, membaca koran.
Cepat-cepat Aini masuk kamar. Ia mesti melanggar pantangan.
Setelah menutup pintu rapat-rapat, sehingga pintu seakan sejajar dengan dinding, ia setengah gemetar berusaha menurunkan celana suaminya. Walau keringat dingin mengucur, keberaniannya memuncak. Namun, jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika dari teras terdengar suara suaminya berteriak, “Aini, tolong ambilkan rokok di meja dekat telepon!”
Saking gugupnya, celana panjang Warahum di tangannya jatuh ke lantai. Cepat-cepat ia ambil dan digantungkan kembali.
Setelah memberikan rokok pada suaminya, ia gugup sendiri. Sebab, pikirannya terganggu ketika mengingat ada empat paku cantelan di balik pintu. Ia lupa, pada paku baris ke berapa dari kiri celana suaminya tergantung. Biasanya, orang yang punya pantangan saku celananya diperiksa, tahu persis di paku mana celananya dicantelkan. Ia cemas suaminya masuk kamar dan mengamati celananya pada gantungan.
Buru-buru ia masuk kamar, lalu menatap celana yang tergantung pada paku baris kedua dari kiri. Ia mencoba mengingat, benarkah di situ celana suaminya tergantung semula.
Tapi keinginan untuk tahu apa saja isi celana suaminya, membuat Aini cepat-cepat menurunkan celana tersebut dari gantungannya. Tangannya cekatan merogoh saku kiri. Ia keluarkan isinya, hanya uang Rp 10.000 ditambah tiga lembar uang Rp 1.000. Kemudian ia rogoh saku kanan, ia mendapatkan benda bulat sebesar jempol kaki, berbungkus kain hitam dengan ikatan benang tujuh warna.
Ia timang benda itu, sebuah jimat. Lama ia terpaku, bertanya-tanya, berdebar-debar.
Jimat?
Jimat apakah ini.
Seketika melesat bayangan almarhum ayahnya. Waktu ayah meninggal, ibu mendapatkan benda itu di saku celana ayah, yang kata ibu juga tidak boleh diperiksa istri. Diam-diam, seminggu setelah ayah dikubur, Pak Jaya, seorang paranormal yang tinggal di depan rumah, menemui Aini yang kebetulan sedang duduk berdua dengan suami.
“Benda sebesar jempol kaki yang dibalut kain merah dengan ikatan benang tujuh warna itu, kamu tahu apa itu sesungguhnya, Ai?”
Aini menatap suaminya. Lalu menoleh kembali ke Pak Jaya yang mengenal benda ayah tersebut dari ibu, sembari melepaskan gelengan.
“Ayahmu menyimpan jimat supaya dicintai istri sampai mati, supaya ibumu penurut, walau diam-diam di luar banyak perempuan yang menyukainya!”
Aini hanya tersenyum. Kurang percaya, sulit yakin. Pak Jaya setelah berpesan, agar ia atau ibu menyimpan baik-baik sebagai kenangan dari ayah, lalu pamit. Tapi tak lama, ia balik lagi.
“Tapi kamu jangan percaya seratus persen. Kadang laki-laki punya impian dicintai habis-habisan, tidak hanya oleh istrinya. Maka itu banyak laki-laki nakal di luar! Aku tidak tahu bagaimana ayahmu mendapatkan jimat itu.”
Gila, pikir Aini.
Kini, lihatlah, benda merah berbalut benang tujuh warna itu, sedang ia pegang. Padahal, padahal, ia pernah menyimpan punya ayahnya di balik lipatan kain dalam lemari ibu. Tapi, ketika ia berpikir hendak membuang jauh-jauh, benda tersebut hilang. Kalau diceritakan pada Warahum, suaminya berkata antara serius dan gurau, “Mungkin diambil kembali oleh roh ayahmu!”
Aini mencibir, dan mendesis, “Percaya yang gituan, ya?”
Tercenung dan makin berprasangka buruk hati Aini. Jangan-jangan ini benda ayah yang hilang dari lipatan kain di lemari ibu. Tapi, kalau memang benar makna yang dipaparkan Pak Jaya soal jimat merah tersebut, misalnya untuk menjadikannya selalu mencintai dan penurut, berarti suaminya bisa mungkin nakal di luar dan agar ia tergantung habis-habisan pada Warahum dan tak berdaya. Tapi, bukankah larangan memeriksa saku itu ada sebelum ayah meninggal. Yap. bukan tak mungkin, jimat itu bisa diperoleh untuk banyak orang. Dan suaminya mungkin saja mendapatkan di tempat yang sama dengan ayah.
Tiba-tiba pintu dikuakkan dari luar kamar. Aini terkejut. Jimat merah itu terjatuh dari tangannya. Pintu ternganga, Warahum mencongok dengan mata mulai curiga. Aini diserang cemas bagai kapal hendak karam.
Aini tiba-tiba pucat. Ia menjadi sangat takut, apalagi ketika menekurkan kepala menyembunyikan kecemasannya dari sorot mata, di lantai jimat merah itu teronggok jelas.
Beberapa detik berlalu, Aini belum berani mengangkat wajahnya. Ia merasa bersalah, juga merasa marah. Sebelum ia mengangkat wajah menatap suaminya dan menyatakan maaf kemudian mempertanyakan benda itu, di benaknya telah melesat bayangan suaminya yang juga sedang terpaku menahan amarah menatap ke lantai, ke benda yang sama.
“Kau akhirnya lancang memeriksa sakuku, Aini?”
Terdengar suara Warahum berat, mengisyaratkan ia telah tahu semuanya.
“Maaf, maafkan aku. Aku takut, kamu menyimpan kondom dalam saku!” hanya jawaban gugup yang terbata keluar dari mulut Aini [Chen Mei Ing]