Pernikahan kami memang tidak mendapat restu dari orang tua Yuli, karena mereka beralasan, pertama karena Usia Yuli yang masih sangat muda, kedua Yuli adalah seorang anak keturunan bangsawan yang masih mantaati peraturan-peraturan kebangsawanannya. Sementara aku hanya anak seorang pedagang yang tak memilki kekayaan berlimpah seperti keluarga Yuli sehingga tak layak untuk menikahi putri mereka.
Saat itu aku tetap nekad, dan aku berupaya membuktikan bahwa aku bisa mensejajarkan diriku dengan keluarga bangsawannya yang kaya dan bisa memberikan nafkah lahir yang cukup untuk Yuli dan keturunanku kelak.
Namun sampai kami dikaruniai dua anak dan mulai hidup cukup mapan, kedua orang tua Yuli belum juga mau mengakui aku sebagai menantunya. Padahal, aku sudah lakukan berbagai cara, berharap bisa membuka mata hati mereka tentang siapa kami yang sekarang. Kemapanan kami saat ini sepertinya tak mampu membuat mereka goyah untuk bisa menerimaku.
Aku dan Yuli sudah memohon ampun atas apa yang sudah sudah kami lakukan selama ini. Tapi justru mereka tak mau menghargai permintaan maaf kami. Namun aku bersyukur, karena belakangan ini orang tua dan keluarga besar Yuli sudah bisa menerima Yuli kembali.
Yuli sudah bisa bebas ke rumah orang tuanya, bahkan sebagian harta warisan keluarga sudah dijatahkan sebagian untuknya. Sementara aku dan dua anakku, sama sekali tidak mendapat pengakuan. Orang tua Yuli masih tetap berkeras hati dengan menganggap kami sebagai menantu dan cucu haram.
Memang sungguh menyakitkan, hanya untuk mendapatkan pengakuan dari seorang mertua aku telah menjual harga diriku dan mengorbankan perasaanku, tapi apa yang aku dapatkan, rupanya tak seperti apa yang aku harapkan.
Pada dasarnya aku tak memperdulikan perlakuan mereka terhadapku, namun aku berharap perlakuan itu tak mereka terapkan terhadap cucu-cucunya, secuilpun anak-anakku tak memiliki dosa terhadap mereka. Aku kasihan pada anakku, mereka tak bisa mengenal nenek dan kakek mereka, padahal keduanya berhak untuk itu.
Beberapa kali kucoba membujuk Yuli agar mau membawa anak-anak ke rumah keluarganya, namun Yuli tampaknya tak ingin merespon. Jika aku sedikit memaksa, Yuli malah menganggap hal itu menjadi lain, jika sudah seperti itu, pasti terjadi pertengkaran diantara kami, yang membuatku kesal, akhir-akhir ini Yuli sudah terlalu sering menginap di rumah orang tuanya tanpa izin dariku.
Sampai kemudian orang tua Yuli memberi ultimatum kepada Yuli untuk memilih kembali ke keluarga besarnya, namun dengan syarat meninggalkan aku, atau tetap memilih aku dan anak-anak tapi tak mendapat warisan.
Yuli benar-benar silau dengan harta. Mungkin karena dasarnya ia memang berasal dari keluarga bangsawan yang kaya, atau karena aku yang tak pernah bisa memanjakannya dengan materi, ia langsung memutuskan untuk kembali ke orang tuanya.
Tega sekali pikirku, aku yang sekian tahun hidup dengannya dengan segala suka dan duka, serta dua anak yang ia lahirkan dari rahimnya, tega ia campakkan begitu saja, hanya karena kemilau harta. "Sungguh buta mata hatimu Yul," begitu kata terakhir yang kulontarkan kepadanya.
Kini, meski anak-anak merengek minta bertemu ibunya, aku tak pernah sudi mempertemukan mereka, karena segala yang berhubungan dengan Yuli, tak akan lagi kubuka. Sebagai laki-laki prinsip itu kupegang dengan teguh. Yuli telah mengambil keputusan yang dianggap baik untuk dirinya, dan sebagai lelaki aku tak mau mengubah keputusanku. Biarlah itu dijalaninya sendiri, dan aku tetap pada pendirianku. [Erlina Goh / Jakarta] Sumber: Facebook
PESAN KHUSUS
Silahkan kirim berita/artikel anda ke ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
MENU LINKS
http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com