KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 20 Maret 2011

MEREKA MEMPERKOSA KEKASIHKU (7-9)

Meski agak gugup, Lili berusaha menyembunyikannya. Tetap saja Baskara bisa merasakannya, hingga dia malah makin tegang. Meski begitu, lelaki bertinggi 175 centimeter dengan berat 70 kg ini akhirnya memberanikan diri duduk di kursi yang kosong. Mereka pun saling berhadap-hadapan.

"Mau berangkat kuliah jam berapa?” tanya Baskara mulai berani. "Kuliahnya sih mulai jam 09.00. Tapi saya sudah janji mau mampir ke sini dulu. Menuruti permintaan Zaliany. Apa salahnya mampir ke rumah teman dekat. Kami sudah lama kenal, tapi baru tiga bulan ini akrab dan bersahabat erat karena sering sama-sama terlibat diskusi dan demonstrasi,” jawab Lili. "Kamu juga aktivis seperti Zaliany, ya? Wah, ketularan dia, ya?” "Nggak, kami terjun sebagai aktivis karena sama-sama merasa terpanggil. Kedengarannya klise, tapi itu yang terjadi. Kita tak bisa membohongi keresahan hati. Kalau bisa berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan yang kita resahkan, kenapa tidak? Rasanya sayang kalau semasa mahasiswa kita tak berbuat apa-apa, mumpung punya kekuatan dan kesempatan untuk melakukan sesuatu. Saya kira Mas Baskara dulu ketika jadi aktivis juga begitu.” "Salut, deh. Memang harus begitu,” Baskara semakin mengagumi gadis Cina itu, “Eh, kok tahu aku pernah jadi aktivis mahasiswa? Zaliany cerita, ya?” "Kadang-kadang.”

Lili memang cantik, seperti namanya Mei Li yang dalam bahasa Cina artinya cantik. Anatomi tubuhnya tampak seimbang dan serasi. Baskara makin merasa berterima kasih kepada adiknya. Pemaksaan kepada Lili untuk mampir tentu karena ingin mengenalkan Lili dengannya, meskipun Lili tak pernah diberi tahu motivasinya.

"Kok mau sih berkawan dengan Zaliany? Orangnya centil, juga cerewet ha…ha…ha…” Baskara mencoba membuka pembicaraan lebih encer dan akrab, sambil ngeles adiknya agar suasana lebih cair. Kegugupannya pun mulai berkurang.

"Enak saja ngomongnya. Gini-gini aku orangnya pengertian. Iya, nggak Lili?” balas Zaliany.

Lili yang ditanya hanya senyum. Lagi-lagi, senyum itu membuat Baskara bergetar dan tergoda. Bibirnya begitu manis. Apalagi jika giginya kelihatan, tampak rata seperti mutiara yang dirangkai menjadi kalung.

Kali ini Zaliany tak tega memperlakukan abangnya lebih sadis di depan tamunya. Empatinya muncul, kemudian dia pamit membuatkan minuman buat Lili, sekalian memberi kesempatan mereka hanya berdua saja. Berbakat juga dia sebagai Mak Comblang. “Sebentar, aku masuk dulu, ya. Lili mau minum apa?”

"Ah, jangan repot-repot. Air putih juga cukup.”

Diam-diam, Lili makin simpati kepada Baskara. Meski penampilannya biasa saja tapi mencerminkan kejujuran. Wajahnya juga ganteng dan penuh wibawa. Baskara juga memancarkan tanda kegagahan dan kearifan. Sosok yang sangat didambakan Lili. Apalagi dari Zaliany, dia tahu Baskara dulu aktivis kampus yang rajin mengritik keadaan dengan berbagai demo dan tulisan di koran. Lili sebenarnya menyimpan penasaran kepadanya karena beberapa teman aktivisnya sering menyebut namanya.

"Kita mestinya malu sama kakak Zaliany. Di zamannya, aparat lebih represif. Kalau dulu Mas Baskara dan kawan-kawan berani lantang, harusnya kita lebih lantang,” kata seorang teman aktivis suatu kali.

***
Kata mereka, Baskara adalah aktivis yang cerdas. Dia tajam membaca perkembangan situasi, kemudian melontarkan aksi demo dengan isu yang tepat dan menohok. Padahal jumlah mereka sangat sedikit, karena gerakan mahasiswa sedang tidak populer, selain karena represi pemerintah dan kampus.

Baskara juga pintar mengritik penguasa di mimbar demonstrasi dengan bahasa-bahasa sederhana, menggelitik, tapi mengena. Pidatonya terkadang sangat tabu dan menyerempet bahaya dalam situasi represif. Karena ulahnya itu, dia sempat menjadi target para intelijen. Jika dia belum pernah ditangkap, itu lebih karena dia pintar berstrategi dan membawa diri. Juga karena bapaknya dosen terhormat di beberapa perguruan tinggi elite di Jakarta, selain juga punya banyak kenalan dekat yang duduk di kabinet Soeharto.

Beruntung Pak Sungkono termasuk orang yang demokratis. Dia tak pernah melarang anak-anaknya menjadi aktivis. Baginya itu malah membanggakan, karena anak-anaknya tidak tumbuh seperti bebek yang terkungkung dalam comberan kebudayaan seragam. Kebudayaan yang didikte. Itu berarti anak-anaknya tumbuh sebagai manusia dewasa, mandiri, dan punya sikap terhadap kehidupan.

Hanya, dia selalu berpesan agar anak-anaknya tidak sekadar ikut-ikutan, tetap berpikir cerdas, tidak anarkis atau emosional, dan tahu apa yang dikerjakan. Mereka dianjurkan tetap harus bertanggung jawab atas setiap tindakan dan sikapnya. Jikapun terjadi sesuatu kepada anak-anaknya karena aktivitasnya, dia juga siap. Malah dia menilai anak-anaknya menjadi pemuda yang sebenarnya, meski soal ini sering bersilang pendapat dengan istrinya. Menurutnya, apa pun yang terjadi kalau akibat dari melakukan kebenaran akan melahirkan kehormatan. "Nama Mas Baskara sering disebut-sebut teman-teman aktivis, lho," kata Lili memecah kebisuan. "Ah, mosok, sih? Aku 'kan meninggalkan kampus sudah tiga tahun lalu." "Iya, adik kelas Mas Baskara banyak yang masih kuliah. Beberapa malah menjadi pentolan aktivis. Kita sering terlibat dalam diskusi, seminar, atau demo. Mas Baskara rupanya legendaris juga," puji Lili.

"Pasti mereka membicarakan kejelekanku. Soalnya banyak jeleknya ha…ha…ha…" tukas Baskara merendah dan menambahkan, "Kapan kalian turun ke jalan lagi? Sepertinya demo sudah saatnya terus ditingkatkan. Di kota-kota lain mahasiswa mulai bergerak. Apalagi kini mulai merebak bibit-bibit protes menuntut reformasi dan pergantian kepemimpinan nasional. Soeharto sudah terlalu lama memimpin, harus ada penyegaran. Long power tends to corrupt absolutely. Tapi tampaknya dia akan tetap dilantik Maret nanti dan butuh tekanan dari bawah agar menyerahkan jabatannya dengan ikhlas demi perubahan dan perbaikan."

"Negeri ini sudah sangat butuh perubahan, bukan stagnasi. Ditambah hantaman krisis moneter dan berbagai penyelewengan, Indonesia seperti kakek-kakek renta yang membawa beban berat. Ironisnya justru banyak orang dan pihak malah asyik menjadi penunggang sang kakek dan mengisap kekayaannya, darah, dan ubun-ubunnya, kemudian antiperubahan demi kenyamanan mereka. Harus ada yang mendobrak untuk menyelamatkan sang kakek agar reinkarnasi menjadi muda, gagah, dan berwibawa."

Kemungkinan itu paling besar datang dari pemuda dan mahasiswa sebagai pemilik masa depan. Kita tak bisa berharap kepada DPR yang sangat takluk terhadap eksekutif. Aku kira ini saatnya mahasiswa melakukan perjudian. Mendobrak demi perubahan dengan berbagai risiko, atau akan hidup dalam kemunduran," khotbah Baskara berapi-api, merasa menemukan tema yang lancar dia ucapkan. "Wah maaf, kok jadi mengompori dan menguliahi kamu."

"Nggak apa-apa. Saya kira pendapat Mas Baskara benar dan sebagian mahasiswa sekarang juga rindu perubahan dan berpikiran seperti itu. Lagi pula Mas Baskara lebih berpengalaman soal itu. Kami yang muda-muda memang butuh pengarahan dan masukan dari para senior. Saya pribadi juga ingin terlibat dalam perjudian itu," jawab Lili.

"Bagus. Semakin banyak pemuda yang punya sikap seperti itu akan semakin baik. Kamu nggak takut risikonya?" "Itu pernah saya pikirkan, tapi sekarang sudah saya kesampingkan. Meski saya keturunan Cina, negeri ini juga negeri saya. Saya lahir dan besar di sini. Saya ingin apa yang menjadi milikku sangat menyenangkan dan ideal. Begitu juga dengan negeri ini. Setelah belajar dan banyak diskusi dengan teman-teman, saya juga jadi mengerti negeri ini termasuk sakit. Negeri yang tak sehat akan membuat warganya menderita. Butuh kepedulian semua unsur untuk menyembuhkannya, termasuk mahasiswa."

"Apa salahnya saya ikut terlibat gerakan mahasiswa yang berusaha menyembuhkan negeri ini. Apalagi, saya kira mahasiswa akan memiliki peran penting dalam mendesakkan perubahan menuju perbaikan. Hidup ini memang tak lepas dari risiko."

***
Begitu sang koorddinator liputan itu yang hanya bisa dijawab iya oleh Baskara. "Wah, aku nggak bisa lama-lama menemani, harus cepat-cepat ke kantor,” kata Baskara seusai menerima telepon.

Dalam hati dia mengumpat. Sedang asyik-asyiknya dan pembicaraan mulai berkembang, dipotong oleh tugas.

"Tapi kalau mau bareng, kalian bisa aku antar dulu. Jalurku juga melewati UI,” Baskara menawarkan diri. Rumah keluarga Sungkono memang tak jauh dari UI, di Kampung Sawah kawasan Lenteng Agung. Biasanya Baskara berangkat kerja ke arah Depok dulu, melewati Bundaran UI yang sering disebut Bundaran UI Holywood, kemudian menuju jurusan Pasar Minggu atau Cilandak untuk ke kantornya di daerah Pal Merah.

"Terima kasih. Saya masih ingin di sini dulu, ada yang mau dibicarakan dengan Zaliany,” jawab Lili. "Kok buru-buru, katanya mau masuk agak siang? Nggak menyesal, nih?” goda Zaliany lagi.

Baskara hanya bisa tersenyum kecut. Dia pun langsung pamit kepada Lili dan Zaliany. Bukannya ke luar rumah, tapi balik ke dalam. Berpamitan kepada orangtuanya, langsung menuju garasi. Jalur yang langsung membuat anggapan Lili sejak awal semakin mendapat pembenaran. Baskara tadi sengaja lewat ruang tamu agar bisa melihatnya, bukan kebetulan lewat untuk bekerja. Itu membuat Lili jadi sedikit tersanjung.

DUA

KEMACETAN Jakarta semakin menyesakkan. Tapi dalam perjalanan ke kantor, Baskara lebih sibuk memikirkan Lili. Gadis itu seperti terus menari-nari di kepalanya. Beberapa kali dia nyaris menyenggol mobil lain karena kurang konsentrasi.

Tiga kali dia pernah berpacaran, tapi tak pernah memiliki getaran sehebat ini. Lili baru dia kenal beberapa saat lalu. Pertemuannya pun hanya sekitar 15 menit. Tapi dia begitu mengganggunya. Baskara mulai mabuk-kepayang.

“Mungkinkah dia belahan hatiku hingga terasa begitu menggoncang jiwaku,” desah Baskara yang makin sentimentil.

Bisa jadi itu penilaian yang terlalu cepat. Jangankan berpacaran, bertemu saja baru sekali. Tapi Baskara melihat ada sinyal aneh. Getaran dalam jiwanya yang luar biasa dan tidak pernah dia alami sebelumnya, membuatnya semakin menduga bahwa Lili adalah wanita yang selama ini dia impikan. Dugaan itu terus mengganggunya. Segala kemungkinan dia analisis. Maka dia mulai sangat berkeinginan untuk bertemu Lili kembali, kemudian berusaha agar hubungan mereka semakin dekat.

Muncul prasangka yang menimbulkan rasa waswas. Jarang ada orang Cina yang mau berpacaran dengan pribumi, apalagi menikah. Kisah yang sangat langka, meski kedua ras ini sudah lama hidup berdampingan di negeri ini. Tapi muncul pula harapan, karena Lili tampak sosok mahasiswa nasionalis yang juga tak mempersoalkan perbedaan ras seperti dirinya. “Semoga  dia seperti itu,” harapnya. [sebelumnya | selanjutnya]

Disalin oleh: Chen Mei Ing

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA