Aku mencoba-coba mengingat siapa dia, tersebab ada gelenyar di dada, bahwa dia seperti pernah bersua denganku sewaktu kuliah di UISU, universitas swasta tertua di Medan. Hmm, siapa dia? Kenapa dia sangat dingin, meski berulang- ulang sejak dari Terminal Sambu aku mencoba menarik perhatiannya? Ketika kutarik rokok jambu bol yang kubawa dari Palembang, lalu mengisapnya setelah nyalanya bergemeretek, dia acuh. Termasuk saat aku mencoba membuarkan asap ke wajahnya yang menyisakan kecantikan di lima belas atau dua puluhan tahun lalu. Hmm, perempuan yang dingin!
Sebaliknya aku memaki-maki diri sendiri. Apa pula setua ini ingin berganjen dengan perempuan! Dia pasti sudah bersuami, dan paling tidak lebih mencintai suaminya ketimbang diriku yang berbadan kurus-berwajah tirus. Cuma, tak ada salahnya mencoba berbincang sejenak dengannya karena aku yakin kami pernah akrab bertahun silam. Sekalian kalau bisa, kami menautkan rasa. Siapa tahu dia sudah melajang seperti diriku yang telah ditinggal mati istri dua setengah tahun lewat.
Dia akhirnya menghentikan laju sudako persis di depan kampus UISU. Entah pengaruh apa, aku tiba-tiba ikut turun. Tujuan utamaku adalah rumah kakak di Amplas. Tetapi, peduli setan, aku tak ingin kehilangannya. Ketertarikanku kepadanya sejak sekian menit lalu semakin memerangkap. Baru kali ini aku merasakan awal puber yang kedua. Ha-ha- ha, dasar laki-laki penggatal!
”Kenapa Anda mengikuti saya terus!” Dia menusukkan ujung majalah ke ulu hatiku. Aku tersedak. Terkejut sangat karena dia merespons balik sedemikian cepat. Terpaksalah aku mengubah sikap lebih santai sambil bersiul-siul.
”Maaf, Anda merasa terganggu?” tanyaku.
”Jelas! Apalagi oleh orang setua Anda!” Dia menggeram. Dia melangkah cepat meninggalkanku. Kususuri juga sisa jejaknya. Sementara angin sepoi seketika mengentak. Daun-daun akasia tua dan coklat beterbangan di sepanjang jalan. Rambut perempuan itu berkibar sehingga rambut putihnya yang tergerai sepunggung terbelah dua. Sepintas kulihat tahi lalat besar di tengkuknya. O, tidak salah lagi. Dia memang mantan teman kampusku. Tidak salah lagi! Andaikan dia masih bersuami, tak masalah bagiku. Aku hanya merindukan berbincang dengan seseorang demi mengenang masa lalu, setelah semua orang terdekatku seperti berusaha mengindariku. Dari anak-mantu sampai cucu-cucu. Siapa pula yang mau bercakap dengan orang menjelang pikun begini?
”Saleha!” Memoriku kiranya belum majal nian. Aku ingat nama perempuan itu. Aku ingat wajahnya yang manis. Sikap manjanya dulu ketika berkumpul dengan teman-teman. Sayang, aku hanya bisa menyentuh wajahnya dengan khayalku dari jauh. Aku memendam cinta kepadanya sampai empat tahun. Selebihnya aku dongkol sendiri. Dia lebih dulu menjadi sarjana Sastra Inggris, sementara aku hampir-hampir bergelar mahasiswa abadi setelah susah payah mampu menamatkan kuliah di tahun kedelapan.
Sontak dia berhenti. Menatapku nanap. ”Anda siapa?” Dia menghentikan langkah. Tujuannya naik becak urung sudah. Tukang becak yang distopnya mendelik dan mengumpat.
”Hariman! Hariman Sipahutar! Masih ingat?” Aku sangat ragu dia mengingatku. Karena semasa kuliah dulu, aku hanyalah anak bawang bila dikaitkan dengan masalah perempuan.
”Hariman Sipahutar? Kau, kau penulis novel hebat itu, kan?” Dia mendekat, langsung menjabat tanganku erat-erat. Mata dinginnya mencair serupa segelas es teh manis yang menggoda.
Aku berharap dia tak mengenaliku dari kehebatan seorang novelis, tetapi dari kenangan saat kami sama-sama kuliah. Sekarang, ternyata dia lebih menghargai karya bertuliskan namaku ketimbang sosok seorang Hariman Sipahutar. Hiks!
”Tidak sehebat-hebat itulah!”
”Tetapi benar Anda, kan?”
”Hmm!”
Perubahan yang drastis. Dia langsung menelepon seseorang dari HP-nya, setengah berteriak kegirangan tentang keberadaanku. Dia meminta dijemput naik mobil. Kemudian tersenyum sambil memperbincangkan tentang dunia tulis-menulis, tentang novel trilogi-ku berjudul Ziarah Hati jilid kedua kapan terbit, tersebab dia sudah ingin membaca kelanjutan ceritanya yang mengharu biru itu.
Kini aku yang menjadi salah tingkah. Aku yang akhirnya menyesal kenapa satu sudako dengannya. Kenapa harus mengikuti langkahnya sehingga pertemanan yang tak mengenakkan ini terwujud.
Perasaan tak nyaman berlanjut di rumahnya yang megah. Hampir seluruh sanak keluarganya berkerumun. Mereka memiliki nyaris semua novel bertuliskan namaku. Mereka meminta tanda tanganku. Menggenggam jemariku. Memerkosaku dengan makanan minuman. Sementara cara berbicara Saleha semakin berapi. Dia hafal seluruh jalan cerita novel-novel yang aku sendiri alpa. Aku gelagapan ketika ditusuknya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang tokoh novel ini-tokoh novel itu.
Saleha juga tanpa malu-malu mengatakan sudah menjanda. Dia tersipu saat kukatakan bahwa kami sama-sama lajang tua. Anak-cucunya menggoda, menjodoh-jodohkanku dengannya. Siapa pula yang tak bangga, penulis novel ternama bisa memasuki rumah dan kemungkinan besar menjadi salah seorang anggota keluarga mereka!
Cukup sudah! Aku harus buru-buru permisi. Aku tak ingin rasa yang mengganjal dada bisa meledak dan membuatku merasa amat bersalah.
”Kapan bisa bertemu lagi?” Saleha memastikan. Kutatap dia di cahaya remang senja. Hampir malam.
”Kapan, ya?”
”Sibuk?” kejarnya.
”Saya menunggu telepon Anda saja.”
Dia sangat berterima kasih. Digenggamnya tanganku erat- erat seolah tak ingin dilepas. Namun, semua ini harus dihentikan. Aku tak mau dipuja-puji hanya oleh novel-novel itu.
Saleha akhirnya tak sabar bersua aku. Pada malam yang sedikit berkabut, kami berjanji bertemu di sebuah kafe di kawasan Kesawan. Aku harus menjelaskan semuanya sebelum terlambat. Aku tak ingin dirundung kesalahan bertimpa-timpa saat orang yang pernah kucintai itu merindukan pelukan bayang-bayang semu. Saleha harus memahami kondisi ini. Termasuk mungkin orang- orang yang selalu memuja novel-novel itu. Aku tak ingin hidupku berujung kebohongan-kebohongan, yang menyebabkanku kembali kepada Pencipta tanpa bekal apa-apa, kecuali cap wajah sebagai penipu kelas berat.
Tetapi, jangan pernah menghakimiku. Semua kulakukan bukan tanpa sebab. Kau tak perlu tahu sekarang sebelum aku berterus terang kepada Saleha. Tentang semuanya sehingga terang- benderang serupa pagi.
Mien, keponakanku, sengaja mengantarkanku dengan VW kodoknya. Bukan apa-apa, perempuan yang sebelumnya amat susah dimintai tolong ini ternyata senang sekali saat aku meminta diantarkan ke kawasan Kesawan. Tanpa diperintah untuk yang kedua kali dia langsung mengambil kunci mobil.
Brrm! Mobil melaju pelan.
”Benar Kakek mau bertemu seorang perempuan?” Mien senang memanggilku dengan sebutan kakek, sama seperti keponakan-keponakanku yang lainnya. Mungkin penampilanku yang kian renta ini penyebabnya. ”Calon kekasih, ya?” Dia tertawa ketika kupelototi. ”Ini jadi rahasia kita lho, Kek!”
Shit!
Aku menyuruh Mien berhenti ketika melihat Saleha memasuki sebuah kafe. Ban mobil mendecit. ”Boleh ikut, Kek?”
”Pulanglah!” usirku.
”Yang pacaran! Ha-ha-ha!” Dia mengedipkan mata sambil berlalu meninggalkan debu.
Malam sudah sangat merapat. Aku menghela langkah ragu-ragu serupa seorang kekanak yang terlambat pulang sekolah dan sedang ditunggu sang bunda. Saleha langsung melihatku. Dia melambai. Dia duduk di sudut kafe bersama seorang perempuan yang nyaris setua dia. Pengganggu!
Beruntunglah setelah bersalaman dengan perempuan itu, sekalian berbincang apa adanya, si perempuan permisi setelah dijemput seorang pemuda. Mungkin anaknya.
Masih seperti seminggu lalu, Saleha tetap antusias membicarakan novel-novel itu. Bahkan dia berniat berguru kepadaku. Namun kutanggapi dingin, sama dinginnya dengan jus wortel yang terhidang di depanku.
”Saya memesan teh hangat saja. Tak biasa meminum air es.” Kupanggil seorang pelayan. Saat teh hangat itu terhidang di meja menggantikan jus wortel itu. Saleha seperti merasa bersalah. Dia tak tahu kalau aku anti yang dingin-dingin. Tak apa menurutnya, jus wortelku biarlah dibungkus plastik saja.
”Saleha, apakah kau pemuja kejujuran?” tanyaku akhirnya.
”Kejujuran? Kejujuran apa itu?” Pipinya bersemu merah. Dia barangkali mengira aku ingin mengatakan ingin memacarinya.
”Meski kejujuran itu akhirnya membuat orang kecewa?” lanjutku.
”Kejujuran itu memang pahit, Hariman!”
Aku mendesah satu kali. Kuhirup teh hangat. Kucicipi sepotong kecil kue khas Medan, bika ambon. Kemudian aku memulai berbicara sangat berat karena mengungkapkan kejujuran adalah lebih sukar ketimbang berbohong. Begitulah!
”Kalau saat ini aku mengatakan bahwa novel trilogi Ziarah Hati dan juga yang lainnya itu bukan karyaku, tanggapanmu bagaimana?”
”Mustahil!” Dia menikmati martabak mesir di hadapannya.
”Ini benar, Saleha!”
Dia menghentikan suapannya. Sendok mengapung di atas piring bulat putih itu. Segera diturunkannya lagi pelan, manakala dia merasakan keseriusan dari mulutku.
Kukatakan bahwa sebenarnya semua novel yang bertuliskan namaku adalah karya Sulaiman, seorang sahabatku di Palembang. Dia sengaja meminjam namaku karena tak ingin cerita di novel- novel yang merupakan realitas hidupnya menjadi bumerang.
”Aku tak ingin keluargaku, keluarga istriku tahu bahwa akulah penulisnya. Bila mereka tahu, aku menjadi yang tersalah. Mereka pasti membenci aku sehingga anggapan bahwa aku si babi yang brengsek memang betul. Bisa-bisa aku tersingkir dari dua keluarga besarku, lalu aku menjadi sebatang kara.” Begitu awalnya Sulaiman mengajuk meminta namaku terpacak di novelnya.
”Berarti dia ghostwriter, dong!” sela Saleha.
”Jangan menuduh kawanku terlalu naif begitu, Ha. Kalau aku memang memberi imbalan atas penulisan namaku di novel-novel itu demi sebuah ketenaran, tak masalah kau menyebutnya ghostwriter. Tetapi, ini persoalannya berbeda.”
”Maaf kalau kau tersinggung!” katanya. Kudapati wajahnya sedemikian terkejut. Sikapnya menjadi tak utuh lagi kepadaku. Tatapnya seperti menjaga jarak. Ya, inilah sebuah jawaban kejujuran. Kejujuran itu tetap pahit. Bagaimana kelak kalau seluruh orang Indonesia yang pernah membaca novel-novel bertuliskan namaku mengetahui rahasia ini? Jangankan tomat busuk, telur busuk pun mungkin akan dijejalkan mereka ke setiap hela langkahku.
Kuteruskan bercerita kepada Saleha. Bahwa setelah berbilang tahun novel Sulaiman menjadi best seller, aku sama sekali tak pernah mencicipi royaltinya. Memang yang berurusan dengan penerbit serta kegiatan lain pascacetak, aku yang mengambil alih. Begitupun, aku hanya menikmati biaya perjalanan dan makan-makan enak bila harus berjumpa fans. Mengenai uang saku, sama seperti royalti, kuserahkan bulat- bulat kepada Sulaiman. Dia memang memberiku pembagian cukup besar. Namun, semuanya diam-diam kusumbangkan ke masjid.
Hingga suatu kali orang-orang di sebelahku terbelalak ketika segepok uang kutaruh ke tempat infak yang terbuat dari baskom plastik. Kejadiannya sebelum shalat Jumat. Orang-orang itu langsung kagum. Bahkan usai shalat, mereka mencoba mengejarku. Tetapi, aku cepat menghindar, dan berhenti shalat di masjid itu. Selanjutnya uang pemberian Sulaiman kusumbangkan ke mana-mana dengan cara lain yang lebih tersembunyi.
Aku tak ingat berapa tahun setelah novel pertama Sulaiman terbit, dia meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Sebelum meninggal, dia memintaku menerbitkan seluruh karyanya yang tersimpan di rumah kontrakannya. Meskipun berduit banyak, dia tetap senang tinggal di rumah kontrakan ketimbang di rumah mertua bersama istri atau kembali ke rumah orangtuanya.
”Kau tahu, disketnya sangat banyak, menyimpan karya-karya yang begitu bagus. Itulah yang kuterbitkan sampai sekarang. Masalah royalti kukirim pakai wesel ke istrinya tanpa nama pengirim. Aku bekerja sama dengan orang di kantor pos.” Kuembuskan napas panjang demi membuang sesak di dada. ”Itulah ceritanya. Inilah kejujuranku!”
Tatap mata Saleha semakin meredup. Tak ada nyala sumringah di situ. Namun, dia masih ragu-ragu memercayai ceritaku. Seperti dongeng anak-anak, katanya.
Merasa susah hati, akhirnya aku pamit duluan. Tetapi, dia buru-buru menahan langkahku. ”Ngomong-ngomong, pertama kali kita bertemu, Anda tahu nama saya dari mana?” Dia kembali ber-saya dan Anda denganku.
Blesss! Seolah ada tikaman menghunjam hati ini. Ternyata sampai sekarang dia tak tahu bahwa aku adalah seorang mantan teman kuliah yang diam-diam mengaguminya sekian tahun lalu. Oh, pecundangnya kau Hariman!
”Oya, aku membaca di sampul majalah yang kau baca di sudako,” dustaku.
Dia mengernyit. ”Sepertinya saya tak menuliskan nama saya di situ. Apa saya lupa, ya? Maklumlah mulai pikun.” Tawanya pecah, tetapi cenderung tak lepas. Nyaris sengau!
Dan kami akhirnya berpisah.
Disalin oleh: Chen Mei Ing