KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Kamis, 21 April 2011

KISAH SEPASANG PENGANTIN (1)

Pesta pernikahan ini selesai. Dengan malas aku menghapus sisa- sisa make up dan melepas gaun biru mudaku. Kutatap bayanganku di cermin, terpantul sesosok perempuan putus asa.

Aku menarik napas dalam-dalam, sandiwaraku tadi cukup baik. Senyumku mengembang sepanjang acara. Tak ada gurat kekecewaan, apalagi ketidaksetujuan akan pernikahan itu. Aku berdiri sempurna di tengah–tengah kerumunan undangan. Sesekali tertawa kecil, sesekali menyapa para undangan dengan hangat. Bahkan, saat pengantin pria menghampiriku, aku dengan santai bicara dengannya. Tak ada luka itu, entah bersembunyi di mana.

Malam ini, semua selesai. Aku bersedia ’berpesta’ dengannya, dengan imbalan beberapa juta rupiah. Menangis menyesali segalanya, tak ada gunanya. Kepalaku telah mengangguk setuju kala ia ajukan tawaran itu. Cinta adalah anugerah bagiku, namun anugerah itu kali ini pada akhirnya menyakitiku.

“Terima kasih untuk penampilanmu yang sangat mengagumkan dan cantik. Kau berlakon sempurna tadi,” suara baritonnya membuyarkan renunganku.

Aku tersenyum tipis. “Bukankah kita sudah menyetujui akan menyelesaikan ’pesta’ ini dengan sempurna, hingga kita berdua tidak akan melupakan malam ini?” jawabku, sedikit sinis.
Dia mencoba membantu merapikan sisa peralatan riasku. Kutampik lembut tangannya, tapi dia malah menarikku dalam pelukannya. Dia cium lembut keningku. Selembut saat pertama ia minta izin menciumku.

“Terima kasih atas semuanya. Kalau hari ini semuanya akhirnya harus terjadi, bukan karena Bli Gus mau, tapi Bli Gus harus,” dia mengulang kalimat itu lagi. Kalimat yang terlalu sering kudengar belakangan ini.

Perutku mual. Bukan saja karena kecupannya, yang pasti akan membuatku makin sulit melupakan malam ini, tapi karena kalimat itu. Yah, semuanya memang seharusnya begini. Dia sudah mengatur semuanya, dan seperti inilah baginya yang terbaik. 

“Uangnya kapan Bli Gus mau transfer?” tanyaku, sambil melepaskan diri darinya. Sedikit takut–takut aku melihat ke arah pintu, cemas kalau-kalau seseorang melihat apa yang kami lakukan barusan.

“Besok. Kamu cek besok, ya. Semoga uang itu cukup,” harapnya, terlihat tulus

Aku tersenyum sinis, tiba–tiba luka itu muncul. Sadarkah lelaki ini bahwa tak akan pernah ada nilai yang cukup untuk membayar semua yang sudah dia lakukan? Tidak akan pernah ada jumlah nominal sempurna untuk penampilanku malam ini. Senyumku, suara ceriaku atau tawaku tak akan bisa ia bayar lunas. Jika saja kuikuti kata sahabat–sahabatku untuk tak melanjutkan tawarannya, tak akan ada malam ini. Malam ini pasti aku telah terlelap, meski sebelumnya ritual menangis tetap kulakukan.

Tapi, aku tetaplah aku, Ni Made Sekar Andini. Perempuan dari kasta sudra yang terlalu mencintai Ida Bagus Gede Mataram Diwangkara. Aku berusaha tidak mendengar saran dua sahabatku agar menolak pekerjaan malam ini. Tapi, aku mau bersamanya sekali ini di upacaranya. Melihatnya sepuasnya, sambil bersiap melupakannya kemudian.

Berhari-hari sebelum pesta malam itu.
Aku seorang mahasiswa magang pada sebuah koran ibu kota yang membuka kantor cabang di Bali. Tapi, aku juga melakoni pekerjaan sampingan sebagai MC. Berkat pekerjaan sampingan itu, kini tabunganku tak pernah kosong. Bahkan, beberapa perusahaan akhirnya mengontrakku untuk jadi MC tetap di setiap acara mereka. Aku juga telah berhasil membeli sebuah mobil mungil yang kini terparkir di garasi rumahku. Sedangkan pekerjaan sebagai karyawan magang ini, hanya untuk merampungkan tugas akhirku di kampus.

Hari itu, mobil yang kugunakan untuk liputan lapangan mogok. Padahal, janji wawancara tinggal sejam lagi, dan lokasinya masih jauh. Aku harus menunggu sepekan demi membuat janji dengan narasumber ini. Jika hari ini gagal, terbayang wajah sangar redaktur pelaksanaku. “Owww, tidak boleh,” kataku, membatin. Kutinggalkan sopir kantor untuk mengecek kondisi mobil. Aku berusaha mencari taksi, sampai tiba–tiba suara itu menyapaku.

“Hei, ngapain bengong di pinggir jalan?” tanyanya. Dia melambai–lambaikan tangannya di depannya. “Kamu Sekar Andini, ’kan?” tanyanya lagi.

“Ni Made Sekar Andini,” jelasku.

“Oh, kamu gadis Bali, toh. Maaf, habis biasanya kalau kamu ngemsi   cuma dengan nama Sekar Andini saja, ’kan?”

“Heh? Apa kita pernah bertemu sebelum ini?”

Dia tertawa sesaat. “Kamu MC saat opening showroom saya bulan lalu. Kita tidak sempat bertemu saat itu. Tapi, saya mengikuti acara dari awal hingga akhir. Saya puas dengan kerja kamu, dan sudah saya katakan pada Pak Kadek untuk pakai kamu saja di event kami lainnya.”

Dia menggeser sedikit berdirinya mendekatiku. Ia berusaha agar aku melihat wajahnya, mungkin berharap aku sedikit membuka ingatanku tentangnya. Tapi sia–sia, tak sedikit pun aku menemukan sisa ingatan tentang pertemuan kami sebelum hari ini.

Lalu, refleks aku melihat ke arah sepuluh jari tangannya, bersih. Tidak ada benda bundar melingkar pada salah satu jarinya. Diam–diam hatiku bersorak. Secepat itu ketertarikan padanya datang.

“Heiii, bengong lagi. Kamu mau ke mana? Sopirmu sepertinya butuh waktu lama memperbaiki mobil kalian. Bagaimana kalau kamu ikut saya. Hari ini saya punya waktu untuk mengantar kamu.” Matanya berbinar, seperti anak kecil meminta ibunya untuk membelikan mainan baru.

“Ayolah, jangan pikir macam–macam, anggaplah sebagai salam perkenalan dari partner bisnis,” dia mengulang lagi tawarannya, meyakinkanku.

“Ehh, iya, anu, maksud saya, saya akan wawancara hari ini. Di daerah Kuta. Ya, ini wawancara penting, narasumbernya sulit saya temui.” Aku mengutuk diriku mengapa begitu gelagapan menjawabnya.

Dia tersenyum lagi. “Kalau begitu, ayolah, saya antar. Asalkan setelah wawancara, kamu traktir saya kopi,  ya,” selorohnya.

Dan dia benar–benar menemaniku. Setelah aku merampungkan sesi wawancara, kami berjalan menyusuri pantai. Sesekali ia menarikku menjauh dari ombak. Ada desir yang tak biasa memenuhi dadaku. Bersamaan dengan itu, aku merasa ada ribuan kunang-kunang seolah menggelitiki perutku.

Ah, aku teringat lagi saat perkenalan tadi. Aku menyebut namaku dengan Ni Made di depannya, sedangkan dia ada embel–embel Ida Bagus menyertainya. Bentangan kasta itu. Bukankah aku pernah berjanji tidak akan bercinta dengan lelaki berkasta brahmana?

Hari–hari setelahnya aku  makin tak bisa menghindari karismanya. Terlebih saat tanpa sengaja, ketika kami berjalan bersama, aku berjumpa dengan kakakku. Mereka berangkulan erat sekali. Mereka sahabat semasa SMA.

Setahun setelahnya, aku dikontrak eksklusif olehnya. Dia membuka showroom mobil baru, meski tidak sebesar yang sebelumnya. Kebersamaan kami terus bergulir, sampai aku menyelesaikan magangku di koran itu.

Saat aku sibuk menyusun skripsi, dia juga yang sibuk–sibuk mengantarku ke sana kemari. Membantu mengumpulkan bahan pelengkap skripsiku dan sebagainya. Ketika nilai A kudapat, dia tersenyum bangga. Saat aku melangkah di ballroom hotel dengan jubah dan toga wisudaku, dia menatapku tak berkedip, tentu tak lupa menjepret beberapa kali dengan kamera antiknya. Kami juga berfoto bersama setelahnya.

Bli Gus Taram, aku memanggilnya. Rasa yang kunamakan cinta itu datang tanpa bisa kucegah. Meski aku tahu, cinta kami akan sulit. Tapi, aku tak berdaya, meski aku sadar, aku hanya Ni Made Sekar Andini, seorang gadis Bali biasa, walau dari keluarga yang berkecukupan dan cukup terpandang di masyarakat. Sedangkan dia, lelaki berkasta, anak lelaki satu–satunya. Aku sangat menyadarinya. Maka, dengan susah payah aku coba ingkari rasa itu. Sejak itu, aku mengklaim cinta ini bukan lagi anugerah, tapi awal petaka.

“Masa iya zaman sekarang, perbedaan macam begituan masih masalah. Kalian kan seagama, cukup, tho?” cecar Nina, seorang sahabat yang berbeda suku dan agama denganku.

Aku tersenyum maklum. “Aku juga berharap semuanya sesederhana itu. Tapi, sayangnya tidak. Bagaimanapun, kami tetap dipandang berbeda, setidaknya bagi keluarganya,” aku coba menjelaskan.

“Kamu kan bisa belajar, semuanya proses,” bujuknya.

Entahlah, yang aku tahu, tidak pernah ada komitmen pada hubungan kami. Setidaknya, sampai setahun berjalan, tidak pernah Bli Gus mengakuiku sebagai pacar, saat kami bertemu seseorang yang ia kenal. Teman, hanya begitu ia memperkenalkanku. Dia juga tak sekali pun membawaku ke tengah–tengah keluarganya. Tapi, Bli Gus Taram selalu ada buatku. Kami melakukan banyak hal bersama. Kami mendatangi semua tempat yang aku atau dia sukai bersama-sama.

Hingga suatu malam. ”Apa yang kamu rasakan pada Bli Gus?” Saat itu kami sedang duduk bersisian. Melepas lelah di hamparan pasir Kuta. Matahari baru saja terbenam. Siluetnya masih sedikit tersisa.

Aku menoleh padanya, dia menatap lurus ke pantai. “Nggak tahu. Saya nyaman kalau ada Bli Gus. That’s it,” jawabku.

Kami menarik napas bersamaan. “Apa kamu mau jadi istri Bli Gus?”

Deg! Refleks aku memperbaiki duduk, kuamati lelaki itu dalam-dalam. Ya, aku mencintainya, meski masih terus kuingkari hingga detik saat kami bersama ini. Dan, apa yang dia bilang barusan, lamaran yang seriuskah itu?

Bukankah dia selalu menyebutku hanya teman pada semua orang yang kami kenal. Lalu, mana pernah tebersit dia akan melamarku saat usiaku baru menginjak 22 tahun, di saat aku tidak pernah membayangkan bagaimana jika suatu hari akan menjadi bagian dalam keluarganya.

“Woiii, bercandanya nggak lucu, ah. Bli Gus tadi salah makan apa?” tanyaku, berusaha melucu. Tapi, wajahnya justru menegang.

“Jadi?” dia meyakinkanku lagi, juga mungkin tengah meyakinkan hatinya tentang apa yang barusan ia tanyakan padaku.

Lagi–lagi aku memperbaiki posisi dudukku. Pasir pantai jadi terasa tak nyaman di tubuhku.

“Hmm, bukan begitu. Umur saya baru 22 tahun, Bli Gus. Selama ini saya nggak pernah berpikir apa yang Bli Gus katakan barusan akan saya dengar sore ini. Tapi kan, Bli Gus juga yang selalu menyebut hubungan antara kita hanya teman…,” aku menggantung kalimatku.

“Apakah status di depan orang–orang sangat penting untuk kamu? Umurku 29 tahun, Sekar,” ia mencoba memperingatkanku, meski ia pasti sadar aku tahu itu. Aku bersamanya saat ia merayakan ulang tahunnya. Bahkan, aku yang membelikan kue bertatahkan angka itu. Jadi, mana bisa aku tak ingat usianya sudah 29 pada tahun ini.

Aku tahu dia akan bicara begitu. Beda usia kami cukup jauh, 7 tahun. Namun, bentangan kasta yang lebih memberatkanku. Aku terlampau naïf, jika terus–menerus mengingkari kasta bukan persoalan. Karena nyatanya, dalam masyarakat kami hal itu sangat penting. Terutama bagi keluarganya.

Aku merasa terlalu muda menjadi istrinya. Terlebih kultur keluargaku dengannya sangat berbeda jauh. Aku besar dalam lingkungan moderat. Bahkan, aku tak fasih berbahasa Bali, meski aku paham jika seseorang bercakap denganku menggunakan bahasa itu. Aku juga tak terlalu hobi mengunjungi pura. Aku sangat tidak Hindu. Aku sering bilang, aku terperangkap pada tubuh ini tanpa bisa memilih mau jadi manusia macam apa.

Sedangkan dia, seorang Hindu yang taat. Dia hampir hafal hari–hari piodalan di semua pura Bali. Bahkan, dia bisa berhitung jatuhnya piodalan berikutnya. Berbahasa Bali, dia jagonya. Dia seorang lelaki berkasta yang patuh pada ajaran tradisinya. Aku sering menduga, jangan–jangan ia peninggalan purbakala. Hmm....

Aku tepekur menatapnya. Tak ingin kehilangan dia sebagai ‘teman’, tapi aku juga yakin tak mungkin akan bisa mendampinginya. Bisa kubayangkan bagaimana komunitasnya akan mencemooh Bli Gus, jika dia meminangku. Aku hanyalah kaum sudra yang sama sekali tak paham soal agama dan tradisi. Lalu, bagaimana mungkin aku tiba–tiba menjadi seorang istri dari Ida Bagus Gede Mataram Diwangkara ini.

Dia meraihku dalam pelukannya. Ada semburat aneh dari air mukanya. Aku merasakan lagi kunang–kunang menggelinjang di perutku. Kali ini membuatku sangat  mual dan gelisah. Pelukannya kurasakan tak lagi nyaman.

Sejak malam itu, seperti yang kuduga, hubungan kami menjauh. Dia lebih sering menjadi lelaki yang tak aku kenal. Dia jadi mempersoalkan ketidakbiasaanku mengucapkan salam saat mengangkat teleponnya. Dia meributkan hal–hal yang sejak dulu memang tak kusukai. Inikah wajah aslinya, yang tak ia perlihatkan selama kami bersama. Atau, ia sedang mencari–cari kegusaranku, sampai aku sendiri yang memutuskan menghindarinya.

Sampai ia tiba–tiba menghilang, setelah malam sebelumnya kami nonton film Ungu Violet di rumahnya. Tidak ada salam perpisahan, apalagi pesan terakhir. Dia hilang bukan hanya dari hidupku. Ia juga meninggalkan perusahaannya. Karyawannya sibuk menghubungiku. Aku  makin panik. Aku nyaris sakit jiwa.  Tiap pagi kuteliti berita penemuan mayat di koran. Aku terjaga, kalau–kalau mayat itu berwajah yang aku kenali, dia. Aku menangis putus asa dalam doa–doa malamku. Entah berapa kali aku mengucapkan nama itu. Jika saja Tuhan bisa kudengar suaranya, mungkin telah lama ia berteriak bosan akan doaku yang selalu sama setiap malam.

Sebulan, dua bulan, hingga enam bulan. Dia tidak juga datang. Aku membersihkan rumahnya setiap akhir minggu. Aku pastikan rumah itu harus bersih, kalau–kalau ia pulang. Selalu setelahnya, aku menunggu di pintu menatap penuh asa, berharap ia muncul dari gerbang itu. Nyatanya tak pernah ada yang mendatangi rumah ini, selain aku.

“Aku tidak mencintainya, aku hanya telanjur terbiasa akan kehadirannya,” begitu ulangku, membatin.
Pengingkaran itu tidak membuatku membaik. Hanya  makin membuatku sadar, cinta itu telah tumbuh di tempatnya dengan sangat baik. Suatu petak dalam hatiku telah penuh dan subur  atasnya. Dan, tak bisa lagi aku sembunyi lari atas rasa untuknya. Tapi, ke manakah dia, seburuk itukah cintaku hingga ia harus menghilang tanpa sebuah perpisahan. Setidaknya, ia tidak meninggalkanku dalam kecemasan.

“Aku harus cari dia ke mana lagi, Tuhan.” Malam itu pertahananku bobol lagi. Kumaki–maki Tuhan karena menjauhkan kami.

“Tuhan, tidakkah kau tahu kami akan saling mencintai seperti ini sampai– sampai kau harus melahirkan kami dengan status yang berbeda?” Tak ada jawaban. Tidak malam itu, atau malam–malam setelahnya.

Pada suatu siang di bulan Desember yang hujan.
Suaraku nyaris hilang, padahal aku harus menjadi MC besok malam. Pemilik acara wanti–wanti agar jangan sampai MC perempuan digantikan. Dia mau aku yang berdiri di sana.

“Oke, ke rumah sakit, ya. Saya suntik vitamin C, lalu kamu istirahat 2–3 jam. Semoga setelahnya suara kamu membaik.” Jawaban Dokter Ari sungguh menenangkanku.

Dan, di sinilah aku siang itu. Pada sebuah bilik yang tidak terlalu luas. Penuh cat putih, dengan bau obat–obatan yang menyengat. Dokter Ari memberi isyarat agar aku menunggunya. Diam–diam kuamati dokter yang menanganiku sejak aku kecil itu, penampilannya sungguh berwibawa. Namun, entah bagaimana hingga ia belum juga beristri kala usianya kini 45 tahun.

“Bagaimana, apa kabar orang tuamu?” tanyanya, sambil membasuh tangannya dengan cairan yang berbau sedikit menyengat.

“Baik. Maaf saya mengganggu Dokter?” jawabku, dengan susah payah.

Dokter Ari mengernyitkan dahi, “Saya tidak sangka suara kamu separah itu. Jangan terlalu memforsir tenaga. Suara kamu habis begitu bukan hanya karena keseringan dipakai cuap-cuap. Kamu kurang istirahat dan terlalu banyak pikiran,” ulasnya, sambil mempersiapkan jarum suntik.

“Tiga bulan terakhir ini kamu sudah enam kali minta resep obat tidur. Tidak baik terlalu tergantung pada obat-obat seperti itu. Baiknya kamu konsultasi dengan psikolog. Saya ada kenalan,” ia menyodorkan secarik kartu nama. Kubaca sekilas, lalu kusimpan sembarang ke dalam tasku.
Dokter Ari menyelesaikan tugasnya. Rasa sakit di tenggorokanku sedikit membaik. Hujan belum juga  reda. Aku duduk di sofa di lobby rumah sakit. Kuamati satu per satu pengunjung rumah sakit. Sebuah keranda melintas di hadapanku, diiringi ratapan tangis keluarganya.

Ahhh... apakah aku akan ditangisi macam itu, jika kematian itu datang suatu saat nanti. Apakah di antara mereka yang menangis itu kudapati ’brahmana’-ku yang kini menghilang. Fiuhhh, lagi–lagi aku ingat dia. Hujan memang cenderung membuat aku dilanda rasa melankolis.

Tiba–tiba bayangan itu berjalan menuju arah tempatku duduk. Sepasang manusia, aku yakin, lelaki itu kukenal. Tapi, bagaimana boleh ia menggandeng wanita lain. Ia melintasiku, menoleh dengan raut muka yang datar, meski sedikit terkejut. Aku tergagap, tak bisa menyapa sepatah kata pun. Sampai pasangan itu memasuki sebuah sedan, menjauh dan hilang di ujung tikungan.

Aku membetulkan napas. Ingin aku mengejar sisa bayangan sedan itu, namun hujan bertambah deras. Bergegas aku menuju meja informasi. “Pasangan yang barusan itu, mau apa mereka di sini?” Gadis muda penjaga meja informasi sampai setengah terkejut mendapati pertanyaanku, lebih–lebih melihat pucatnya wajahku.

“Siapa maksud Anda? Apakah Anda baik–baik saja?” tanyanya. Aku mengangguk lemah, kusebutkan nama lelakiku dengan fasih. Hatiku berdegup tak keruan menunggu gadis penjaga meja informasi itu memeriksa satu per satu file nama pasien di layar komputernya.

“Ohhh, iya ini saya temukan, Ida Bagus Gede Mataram Diwangkara. Mereka berkonsultasi ke dokter kandungan. Mereka membuat janji untuk tes pranikah.”

Seketika aku rasakan ribuan kunang–kunang tidak lagi di perutku, tapi juga di kepalaku bahkan di sekujur tubuhku. Seolah ada hantaman keras, kupegang sisi meja.

Air mata tidak tumpah lagi. Tapi, kurasakan hatiku berdarah. Setelah sejauh ini, mana bisa lagi aku mengingkari bahwa aku mencintainya. Benar–benar mencintainya. Mana bisa kuingkari semua yang baru aku dapati. Dia menghilang berbulan–bulan, tanpa sepatah pesan pun. Lalu kini tiba–tiba melintas menggandeng wanita lain, merencanakan tes pranikah pula. Ia tengah mempersiapkan hari bahagianya tanpa peduli bagaimana aku mengkhawatirkan kepergiannya.

Dia akan menikah, bukan denganku.

“Mbak, bisa tolong panggilkan saya taksi, saya tidak cukup kuat berjalan sampai di pangkalan taksi di depan,“ mohonku, pada gadis penjaga meja informasi itu.

Sepanjang jalan pikiranku kosong. Bapak tua pengemudi taksi berkali-kali menatapku iba lewat kaca spionnya. Aku biarkan jendela taksi terbuka, rintik hujan bermain–main menampar wajahku. Aku tak lagi mampu menebak, rasa macam apa yang kini terombang–ambing dalam hatiku. Buah dari penantian, doa–doa malam penuh tangisan, dan harap–harap cemasku. Aku meratap di sini, sedang dia asyik bercinta dengan wanita lain. Bersiap merayakan kebersatuan mereka.

Aku masih mencintainya, sekaligus mati–matian mengingatkan hatiku agar mulai belajar membencinya. Tidak ada kata maaf untuk sebuah pengkhianatan.  Apakah ini buah atas pengingkaran yang selama ini kulakukan? Atau, ini dia lakukan karena baginya kami hanya sebatas teman. Lalu, apa artinya percakapan suatu senja yang lalu, saat ia berusaha melamarku.

Kuempaskan begitu saja tubuhku. Aku mendapati fotonya, lelaki pengkhianat itu, dan aku di sisi meja belajarku. Foto itu menghadapku. Tatapan matanya kurasakan  makin menikam jantungku. Aku mulai menangis. Sekencang yang aku sanggup. Aku lempar foto kami yang diambil sesudah acara wisudaku.

“Karena aku tak terlahir dengan Ida Ayu di depan namaku, dia berpaling. Karena aku sudra, dia punya alasan untuk berkhianat….” Berkali–kali kalimat itu terulang di bawah sadarku.

Drrrttttt… drrrttttt… drrrttt... ponselku bergetar. Tertera sebuah nomor asing di ujung sana.

“Ya, siapa, nih?” tanyaku, dengan suara serak. Hening.

Hanya terdengar helaan napas berkali–kali. Aku tentu tak perlu memutar otak menebak siapa yang sedang kuajak bicara.  “Apa? Bli Gus mau bicara apa? Begini cara seorang brahmana, kasta yang selalu Bli Gus banggakan bersikap? Hilang begitu saja, lalu tiba–tiba muncul dengan…,” bibirku tercekat. Napasku memburu, kurasakan emosiku memuncak di ubun–ubun.

“Maaf...,” desahnya, mengiba.

Aku terisak lagi. Aku tak peduli kalau dia pernah bilang tak menyukai wanita yang terisak bagaikan anak kecil. Aku ingin ia dengarkan nyanyian kesakitanku.

“Bli Gus sadar yang Bli Gus lakukan? Saya ikhlas kalau Bli Gus akhirnya memilih wanita lain untuk jadi istrimu. Tapi, bisakah Bli Gus bicara baik–baik. Jangan tiba–tiba menghilang, membiarkan saya terus berharap Bli Gus akan datang suatu hari dan semua kembali baik–baik saja....” Aku berusaha menata napasku.

“Bli Gus mau kamu tahu, kalau ini jadinya begini bukan karena Bli Gus mau, tapi karena Bli Gus harus. Bli Gus memilih dia, karena dia begitu mirip dengan kamu.”

Aku tertawa, seandainya dia di depanku, sudah kutampar dia. “Jangan buat alasan konyol untuk membenarkan pengkhianatan. Ayo, jujur, Bli Gus pilih dia karena dia Ida Ayu, ’kan? Iya, kan Bli Gus…!” teriakku meradang. Hilang sudah segala sopan–santun yang selalu aku berlakukan, jika bicara dengannya. Aku marah, aku sakit. Kututup sambungan telepon. Percuma bicara dengannya, kalau dia hanya akan bicara untuk membela apa yang sudah dia lakukan.

Aku telan pil–pil kecil berwarna kuning yang setahun belakangan menemani malam–malamku. Lalu kepalaku terasa memberat, aku terlelap. Aku terjaga di tengah malam, melanjutkan menangis. Pertama kalinya, aku menyesal tak terlahir dengan nama Ida Ayu di depan namaku. Jika saja Ibu menjaga kastanya, tidak menikah dengan ayahku yang seorang sudra, maka hari ini aku akan memiliki embel–embel itu di depan namaku. Bli Gus akan tetap bersamaku, melanjutkan kebersamaan yang sudah kami mainkan bersama di malam–malam yang lalu.

Ting... tong... ting... tong.... Pukul 2 dini hari. Aku merasa rindu kehidupan lamaku. Dulu aku sering kali menghabiskan malam keluar-masuk bar dengan teman–temanku. Aku bisa tertawa sepuasnya, melakukan hal–hal yang kumau tanpa berusaha menjadi wanita anggun seperti yang selalu aku coba lakukan jika Bli Gus ada bersamaku.

Kepalsuan itu akhirnya membuatku terbiasa menjadi Ni Made Sekar Andini yang berbeda. Aku meninggalkan semuanya. Tidak ada rokok. Tidak ada clubbing hingga pagi tiba. Juga tak ada lagi pekerjaan sebagai MC yang menjadikanku sebagai pusat perhatian dan berlimpah uang hanya dengan sejam atau dua jam berdiri di panggung. Aku tidak hanya kehilangan pekerjaanku, tapi juga komunitasku. Tak ada teman, apalagi sahabat. Hidupku hanya dia dan dunianya. Setahun ini, saat dia menghilang, pantaslah aku limbung. Mencoba memulai lagi semuanya dari awal, aku tak yakin sanggup.

Menjelang pukul 4 dini hari hujan turun. Sengaja aku buka lebar–lebar jendela kamar. Hujan  makin deras. Aku terlelap, dia datang di mimpiku. Kurasakan sakit hatiku  makin menjadi, kucoba terbangun, tapi ia menahanku tetap bersamanya. Dia tak hanya merajaiku di alam nyata, namun juga khayalku. Tuhan, tolong buat aku terbangun.

Keesokan harinya….

Kepalaku masih terasa sedikit pening dan mengantuk. Seperti biasa, efek obat tidur baru aku rasakan utuh sehari setelahnya. Pukul 11 siang, aku belum juga mandi. Bahkan belum beranjak dari ranjang. Aktivitasku hanya mengamati lalu-lalang orang–orang melalui jendela kamar yang terbuka sejak semalam. Bau basah sehabis hujan masih tercium, cuaca pun masih tetap mendung.

Titttt…titttt….drtttt…

Gea! Lagi di mana? Aku & Nina mau makan siang, gabung, yuk.

Pesan singkat dari sahabatku. Cukup lama kami tidak berkumpul. Meski dengan semangat yang belum terkumpul sempurna, kurapikan sekenanya tempat tidur sambil menjawab SMS Gea, memintanya menungguku.

Mandi.

Berdandan… Aku pilih jeans dan kaus hitam. Aku masih berkabung karena kehilangan ’brahmana-ku’ pada akhirnya.

Aku mencium pipi mereka satu per satu. Mereka tampak dewasa dengan seragamnya. Ah, seandainya kuturuti ajakan   untuk bergabung bekerja bersama mereka, tentu seragam itu juga akan  membalut tubuhku kini. Tapi, kata Bli Gus, wanita itu terlahir menjaga keluarga, bukan sebagai pekerja. Kali itu aku tak setuju. Aku sangat fasih bicara tentang kesetaraan gender pada tulisan– tulisanku. Tapi, saat ia mengatakan itu, aku hanya bisa menelan kata–katanya. Ahhhh....

Tidak terlalu banyak senda gurau siang itu. Kami sibuk dengan makan siang masing–masing.    
“Ada apa, sih, Sekar. Kamu kenapa, kok, kelihatan nggak lepas. Apa lagi ada masalah? Ceritalah kepada kita,” bujuk Nina.

Gea beranjak dari kursinya. Tanpa meminta persetujuan kami, ia pesan tiga gelas teh lemon lengkap beserta tiga piring kecil makaroni pedas. Sambil diikuti gerak mata mereka, mengalir semua kisah yang terjadi padaku di lobby rumah sakit tempo hari. Kususut perlahan air mataku. Nyatanya ketangguhanku bobol lagi. Aku yang selalu tampil sempurna, kuat, dan mandiri di hadapan mereka, kini datang menjelma menjadi Ni Made Sekar Andini yang hancur.

Nina kehilangan kata–katanya. Ia hanya merangkulku sambil berusaha membetulkan deru napasku. “Ssstttt... sabar, ya,” hanya itu yang mampu ia ucapkan.

Gea menyeruput habis tehnya. Wajahnya tampak bingung. Tak tahu harus bagaimana berlaku padaku. Tak tahu juga mesti bicara apa. Selama ini yang ia tahu, aku yang selalu menguatkan pada tiap hal yang ia dan Nina hadapi. Aku suporter setia mereka. Aku akan datang dengan semangat dan keceriaanku, juga sedikit kebawelanku. Tapi kali itu, Gea dan Nina mendapatiku tak berdaya. Bahkan tak sanggup melanjutkan ceritaku.

“Terus apa rencanamu sekarang?” tanya Nina, saat dilihatnya aku mulai tenang. Kujawab dengan gelengan.

“Nggak bisa begini. Gus Taram kawin, ya, sudah, tapi kamu nggak boleh hancur begini. Bukannya kamu yang selalu bilang, nggak boleh kita ditindas sama laki–laki. Katamu, kita boleh cinta mampus sama mereka, tapi tidak boleh mampus gara–gara mereka. Ingat?” tutur Gea perlahan, seolah ia takut salah menasihatiku. 

“Kamu cari kerja saja, ya. Biar ada kesibukan, jangan habiskan waktu di rumah melulu. Kamu cari kerja di dekat vila tempat kita kerja, ya. Jadi, jam makan siang kita bisa jalan sama–sama, pulang kantor juga bisa hang out. Mau, ya, kita bantu cari…,” kata Nina, menatapku dengan semangat.  Aku mencoba mentransformasikan semangat mereka berdua, tapi hanya anggukan tak pasti yang aku berikan. Bekerja di dekat vila mereka, berarti bekerja di bidang pariwisata. Mana punya aku keahlian di situ. 

“Jangan khawatir, kamu pasti bisa melewati semuanya. Pasti...,” bujuk Gea, sambil menyodorkan sepiring makaroni, seolah ia tahu kekhawatiran yang melintas di kepalaku.

“Thanks, ya. Seandainya aku mendengarkan kata–kata kalian sejak awal untuk tidak pacaran sama manusia itu, pasti aku nggak akan seperti hari ini. Aku lupa, kalau dia akan tetap menjadi Ida Bagus, sedangkan aku tidak akan berubah menjadi seorang Ida Ayu,” lidahku terasa kelu mengucapkan kalimat barusan.

“Sssstt jangan gitu, yang sudah, ya, sudah. Kan kamu yang selalu ingatkan kami, jangan menyesali rasa sakit karena suatu hari nanti kita akan berterima kasih pada rasa sakit yang telah membuat kita  makin kuat,” bujuk Nina, sembari mengecek jam di layar ponselnya.

Kami lalu berpisah di halaman restoran dan  berjanji akan makan siang lagi lain kali. Nina dan Gea juga mengingatkanku untuk  menyiapkan surat lamaran kerja dan CV. Jadi, kalau mereka menghubungiku, aku sudah siap. Semangat mereka sama sekali tak memengaruhiku. Aku tetap saja merasakan hampa yang teramat sangat. 

Tiga kesalahanku, terlahir dengan usia 10 tahun lebih muda darinya. Kesalahan keduaku, tak ada gelar Ida Ayu di depan namaku. Kesalahan ketiga, yang masih kuingkari hingga hari ini, adalah kebodohanku jatuh cinta padanya, meski menyadari akan kesalahan nomor satu dan dua. Artinya, harusnya aku sudah menyiapkan diri akan rasa sakit dan kecewa ini sejak awal, bukan?!

Aku mengemudikan mobil dengan gamang. Untunglah siang menjelang sore itu Denpasar tidak sepadat biasanya. Nyaliku  makin ciut manakala setan melankolis membayangiku. Bayangan Bli Gus selalu setia hadir manakala aku melewati tempat–tempat yang pernah kami datangi bersama.

Mengapa semua seakan tak bersahabat dengan lukaku. Bahkan rasa– rasanya aroma mobil ini pun kuciumi wangi parfumnya. Bli Gus, wanita tanpa kastamu ini akan sulit membuangmu dalam hidupnya, meski jelas–jelas panah tajammu telah mencabik cinta dan harga dirinya.
Cinta itu apa…?

Sama sekali tak pantas disebut anugerah, apalagi mukjizat.

Cinta itu sakit. Cinta itu perih. Cinta itu pengkhianatan. Cinta itu kamu, malaikat berwajah tampan rupawan, namun pembunuh. Dan cinta ternyata tak cukup ampuh menawarkan luka.

Jadi berhenti bilang cinta adalah keajaiban. Berhenti mengagungkan cinta di depanku, jika tak mau kuludahi. Pikirkan dulu sebelum bilang cinta tak mengenal batasan. Karena cintamu akhirnya berhenti. Aku bukanlah perempuan kastamu yang pantas kau perjuangkan cintanya.

Kutulis kalimat bodoh itu pada selembar kertas, lalu membuangnya di depan rumah Bli Gus. Masa bodoh jika ia menganggapku gila atau terobsesi padanya. Aku menginginkan ia mengetahui luka ini. Aku tidak mau semuanya hanya selesai dengan kata maaf. Tidak segampang itu membuangku.

Aku  menunggu, lima menit….sepuluh menit…dua puluh menit…hingga hampir empat puluh lima menit, tak seorang pun keluar dari rumah yang sempat kuimpikan akan kutempati kelak ini. Padahal, sedannya terparkir rapi di halaman. Aku menstarter mobil, beranjak menjauh dari bangunan yang pernah menjadi saksi kebersamaan kami dan menyimpan sejuta harapanku di masa lalu. [bersambung]

Disalin oleh: Chen Mei Ing

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA