KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Kamis, 21 April 2011

KISAH SEPASANG PENGANTIN (2)

Pukul 11 malam…
Angin malam Pantai Kuta mulai mengusik lamunanku. Untunglah Circle K malam itu tak seramai biasanya. Hanya ada aku dan beberapa turis asing yang sedang pemanasan untuk melanjutkan malam mereka di klub-klub di seputaran Legian. Malam ini grup band Kerispatih manggung di Kamasutra. Gea dan Nina menungguku di sana, lengkap dengan tiket masuk gratis.

Terharu jika menyadari betapa dua sahabatku itu berjuang keras mengeluarkanku dari ratapan kehilanganku. Bahkan, mereka rela menonton konser Kerispatih tanpa pacar masing–masing demi tak membuatku mati gaya. Lima menit lalu mereka memastikan lewat SMS agar aku datang.
Kutenggak habis sisa kopiku. Pahit itu…aroma itu…entah berapa lama tak aku nikmati. Kali ini kutandaskan minuman itu tanpa omelan dari Bli Gus. Ampuun, aku ingat dia lagi. Selalu ada sesuatu yang mengingatkanku padanya. Ahhh, baru kusadari, betapa banyak bagian hidupku telah terisi akan segala hal tentangnya.

Aku di tengah histeria lantunan lagu–lagu mellow Kerispatih....

Sesekali kupejamkan mata. Aku benci mengakuinya lagi dan lagi, ingat Bli Gus. Ingat dulu saat ia mengejekku doyan mendengarkan lagu–lagu patah hati. “Awas nanti kamu terpengaruh sama cerita lagunya. Salah–salah jadi terobsesi dan kejadian di kehidupan nyata.”

“Biarin, Bli Gus nggak romantis,” belaku, sengit.

Lalu semua akan berakhir dengan aku larut dalam dekapannya. Pelukannya... ciumannya… belaiannya. Mengapa semuanya menjadi nyata lagi bersamaan dengan lagu–lagu yang dilantunkan oleh salah satu grup band favoritku ini. Arghhh, aku frustrasi lagi. Pun ketika aku berada di tengah keramaian ini. Aku merasa asing. Kesepian. Percuma semua usaha Gea dan Nina. Tidak semudah itu mengeluarkanku dari semuanya.

Bipppp.... Bipppp... Bippp grrttttttt....

Wicak. Besok bisa tolong jemput aku di airport? Ntar aku SMS lagi schedule flight-ku. Akhirnya aku boleh cuti panjang, Bali I’m coming… Ada banyak oleh-oleh buat kamu.

Aduuh…apa kata Wicak kalau tahu aku keluyuran malam–malam. Kugamit lengan Nina dan Gea menuju pintu keluar Kamasutra, padahal Kerispatih baru selesai dengan lagu keempatnya.

”Apaan, sih, Sekar, masih panjang, tuh, konsernya!” protes Gea, sambil bersiap masuk lagi.

”Aku pulang duluan. Kakakku datang besok. Aku harus jemput dia pagi-pagi,“ jelasku, setengah panik. Kutinggalkan mereka, kami berpisah di parkiran Kamasutra.

Aku tidak memutuskan pulang. Sudah pukul 3 dini hari, pesawat Wicak akan tiba pukul 8 pagi.  Aku beli beberapa bungkus permen mint. Mengunyah banyak–banyak, sambil menatap pantai. Masih setia bermain dengan bayangannya. Sungguh, aku tak pernah bisa melupakannya.

Di perjalanan menuju Bandara Ngurah Rai....

Apa yang harus aku jawab, jika Wicak tanyakan Bli Gus. Bukankah saat dua tahun lalu mengantar Wicak ke bandara untuk bertolak ke Batam, ada Bli Gus menemaniku. Bahkan, Wicak wanti–wanti pada lelakiku itu agar menjagaku baik–baik. Ia memercayakanku pada seorang sahabat yang ia yakini tepat buatku.

Bli Gus nggak bisa ikutan Wi, dia ada urusan kantor....

Ohhh aku nggak sempat bilang, Wicak balik hari ini.......

Atau, sudahlah Wi, nggak usah bahas dia lagi. Sebentar lagi dia akan jadi suami orang. Dia sudah membuang adikmu ini dari hidupnya....

Fiuhhh...  susahnya memilih jawaban yang menenteramkan hati. Mobilku hampir memasuki parkiran bandara. Dag-dig-dug... hatiku kian tak menentu.

”Sekaaarrr...!” Kami berangkulan erat. Sungguh damai hati berada dalam dada kokohnya. Hanya lelaki ini dan Bli Gus yang senang memanggilku Sekar dengan nada panjang. Dia mengusap–usap kepalaku lembut.  Seolah mendapatkan secercah embuh ketenangan, aku langsung merebahkan kepala ke dadanya.

”Kamu kurusan, Sekar?” seperti biasanya, dia selalu memanggil namaku utuh, matanya memicing mengamati ubun–ubun sampai kakiku.

Aku mengambil beberapa tas bawaannya. ”Pulang dulu, katanya Wicak cuti panjang. Kita punya banyak waktu buat ngobrol,” saranku.

Kami mampir di sebuah warung tenda nasi pedas di Jalan Raya Tuban. Untunglah ada dua kursi kosong. Kami sama–sama diam menandaskan makanan.

Lagi–lagi aku menarik napas dalam. Entahlah, sepertinya ada sebongkah batu yang ingin sekali kutanggalkan, namun sia–sia. Jalan di depanku  makin padat, hari  makin siang. Geliat Kuta tampaknya memang baru dimulai pada malam hari.

”Ada apa, Sekar? Wicak baru tinggalkan kamu 2 tahun, berapa banyak ceritamu yang terlewati oleh kakakmu ini?” Ia menyeruput habis teh panasnya. Lalu menggeser duduknya, menyampingiku.

”Hmmm... oke, Wicak tahu tempat yang bisa membuat kamu ceritakan semuanya,” katanya, lalu membayar makanan.  Aku dilarangnya mengemudikan mobil. Dia mengarahkan mobil ke arah Pantai Kuta.

Ahhhh... Wicak, tempat ini memang tempat favoritku, tapi juga tempat yang akan menyakitiku karena akan mengingatkanku pada lelakiku lagi.

”Apa ?” tanyanya lagi. Kami kini sudah duduk bersisian, tidak begitu jauh dari bibir pantai. Udara tidak begitu dingin.

Hening....aku tak menemukan kalimat yang pas untuk memulai menceritakan apa yang sedang aku alami. Bagaimana mungkin aku menceritakan bahwa sahabat yang ia percaya untuk menjagaku dan ia restui berpacaran denganku, pada akhirnya mencampakkanku.

Hening....

Lalu aku mendesah pelan, ”Gus Taram sebentar lagi akan menikah.” Hanya itu kalimat pembuka yang bisa kuucapkan. Takut–takut aku berusaha melihatnya, ia diam. Aku menebak–nebak, sakitkah ia mendengar kalimat dengan nada getirku itu atau justru ia pikir Gus Taram akan menikahiku.
Lama sekali Wicak terdiam. Pandangannya masih lurus. Dan dia meraihku dalam pelukannya. Ooh, aku mendengar ada isakan.

Aku mencari–cari jawaban, bagaimana mungkin kakakku yang tangguh ini menangisi nasibku.

”Kenapa Wicak yang nangis?” Aku berusaha tertawa, seolah aku tak terpengaruh oleh  perlakuan Gus Taram.

”Sebulan lalu Gus Taram datang pada Wicak. Dia minta izin untuk menikah dengan perempuan lain. Saat itu Wicak marah sekali. Wicak nggak terima waktu dia bilang, bagaimanapun dia harus menikah dengan perempuan dari kastanya. Apa yang salah dengan kita yang terlahir tanpa kasta?” katanya.

Napasnya memburu. Sedangkan aku hanya bisa diam. Setengah hatiku terkaget–kaget, Wicak nyatanya sudah tahu semuanya, bahkan sebelum aku mengetahuinya. Tapi, ia rapi menyembunyikan dariku.

Aku sadar saat bulir bening itu berhamburan loncat dari bola mataku. Sesaat aku terisak. Wicak membiarkanku menangis.

”Jelas aku salah. Bagaimana bisa aku membiarkan cinta tumbuh, padahal aku tahu yang namanya percintaan antarkasta pasti akan ada banyak halangan.”

”Aku yang tidak realistis, Wi....” Aku meyakinkan hati bahwa yang baru saja kukatakan sama sekali bukan niat membelanya. Apalagi membersihkan namanya di mata Wicak.

Wicak lagi–lagi menghela napas. ”Terus, sekarang bagaimana kamu?”

”Bagaimana apanya? Aku, ya, aku. Aku akan jadi pemandu liburanmu.” Aku mengembangkan senyumku selebarnya, meski sakit masih merajaiku.

Kembali pada malam sesudah pestanya
”Sekar...? Kamu kenapa?” Ia mengguncangkan badanku lembut.

Huhhh...  aku melihat selintas bayanganku di cermin. Dia masih dengan baju pengantinnya. Berapa lama aku terombang–ambing pada ingatan masa lalu itu. Apakah ia menyadari reuni masa lalu yang baru kulakukan.

”Kamu apa bawa mobil, atau aku bisa minta izin istriku untuk antar kamu, ya?” tawarnya yang dengan segera kutolak. Tampaknya ia telah fasih memanggil perempuan itu dengan sebutan istri. Ooh, sakit sekali mendengarnya.

Niatku sudah bulat. Ini malam terakhir kisahku dengannya. Cukup sudah ketololan demi ketololan yang aku lakukan deminya. Menjadi MC untuk resepsi pernikahannya dengan perempuan Ida Ayu-nya adalah hal terakhir yang menjadi alasan kami untuk bertemu.

”Saya pulang dengan taksi saja.” Aku bergegas merapikan perlengkapanku. Memasukkan semuanya sekenanya, lalu berpamitan padanya.

Di luar kamar ganti aku berpapasan dengan pengantin perempuannya. Aku tahu, sungguh perempuan ini tak pantas aku benci. Namun, sama kuatnya dengan ketidakinginanku marah padanya, sekuat itu juga rasa benci itu aku perlihatkan.

”Terima kasih,” ucapnya, sungguh–sungguh.

”Untuk apa? Untuk ’brahmana-ku’ yang akhirnya berhasil kamu rebut atau untuk pestamu yang berakhir indah dengan kehadiranku di atas panggung?” kataku, sinis.  Aku lalu tertawa dengan wajah licikku, berlalu meninggalkan Ida Ayu.

Setahun setelah malam itu....
Aku mengabulkan janjiku, itu adalah malam terakhir kami bersama. Aku sama sekali tak mau tahu atau tak mau berusaha mencari tahu tentang kehidupannya.

Aku hari itu ada di Pura Besakih. Hari itu hari kedua perayaan Panca Wali Krama. Besakih sangat ramai. Bahkan, aku harus memarkir mobil sangat jauh di bawah sana. Untungnya ada jasa ojek dari masyarakat sekitar, jadi aku tak mesti susah payah berjalan. Aku datang seorang diri. Aku ingin memperlihatkan pada Hyang Widhi bahwa aku masih kuat bertahan. Meski telah ia ambil seseorang yang sangat berharga sekalipun.

Aku duduk termenung, bersimpuh sangat lama. Tak terasa kesemutan yang biasanya menggerogoti sekujur kakiku. Lama–kelamaan mataku terasa memanas.

Tuhan... semua betara–betari yang beristana di Pura Agung ini... aku datang pada kalian, berserah dengan segala daya yang masih kupunya. Telah kau ambil seseorang yang aku pikir dialah yang aku cari selama ini. Jika ini tandamu dia bukan jodohku, terima kasih Tuhan. Ambil saja dia, dan biarkan aku tetap berusaha kuat di tempat ini....

Aku terus bersimpuh, meski telah habis semua yang ingin kusampaikan pada-Nya. Hari makin larut, tapi masih kudengar hiruk pikuk para umat sesamaku berlomba–lomba mendatangi pura ini. Dan hujan pun turun.

”Gek kenapa bengong di sini, hujan akan turun deras. Berteduh saja dulu di sana,” seorang bapak tua menyadarkanku. Tangannya masih menunjuk pada sebuah balai–balai di sisi pura.

”Nggih, Pak,” jawabku, sambil menyembunyikan mataku yang sembap.

Aku larut di antara campuran rintik hujan, gamelan, dan kidung. Kali ini aku menikmatinya. Entah karena aku sedang tak sungguh–sungguh  ada dalam alam nyataku, atau memang aku mulai belajar mencintai kesenian leluhurku. Entah.

Pukul 11 malam aku baru bisa berjalan menuju tempat kuparkirkan mobilku. Jalanan sungguh licin. Tapi untungnya, lampu penerang cukup banyak. Lagi–lagi aku menangis dalam mobil.

”Kamu diterima, 12 Mei kamu mulai bekerja, ya.” Perempuan muda yang tampak anggun dengan jilbabnya tersenyum puas dengan hasil interview-nya padaku.

Tak bisa kusembunyikan senyum senangku.  ”Ohh, baiklah, tapi boleh tahu apa posisi yang saya tempati?”

”Sekretaris direktur, Mbak,” jawabnya, singkat.

Hahhh?? Aku menggigit ujung bibirku. Memastikan apa yang baru saja kudengar  bukan sekadar imajinasiku. Bagaimana bisa, Ni Made Sekar Andini, gadis lulusan diploma II yang masih 22 tahun dan belum pernah bekerja sebelumnya ini mendapatkan posisi sepenting itu. Dan aku mendapatkannya karena usahaku. Bukan atas pemberian atau bantuan koneksi orang. Aku kini punya pekerjaan tetap.

”Mbak? Anda siap, ’kan. Tidak usah khawatir. Bapak, bos yang baik, kok. Teman–teman di sini juga pasti siap membantu Anda,” kata perempuan itu, memberi semangat.

”Ohh, iya, saya siap. Saya akan datang kembali Senin nanti, 12 Mei,” janjiku

Senang tak terkira. Sepanjang jalan pulang dari perusahaan ini seperti kurasakan lagi ribuan kunang–kunang menggelitik perutku.

Hai...aku Sekar, si sekretaris direktur....

Tak hentinya aku mengulang–ulang kalimat itu sambil tak lupa dengan senyum sempurnaku. Tak sabar ingin kusampaikan ini pada Wicak, Nina, dan Gea. Mereka, orang–orang yang bersaksi penuh atas hidupku belakangan ini. Bahkan pekerjaan ini juga atas andil dorongan terus–menerus semangat dari mereka. Meski saat itu Wicak jauh di Batam.

Pulang kerja, kalian aku tunggu di pantai biasa, ya....

Aku kirim SMS itu sekaligus pada Nina dan Gea. Setelahnya kutelepon Wicak.

”Sekarang kamu paham kan, kamu adalah perempuan cerdas. Pekerjaan ini layak kamu dapatkan. Konsentrasilah pada karier barumu. Nikmati dan pelajari sebanyak–banyaknya. Selamat merayakan hidup barumu, nona sekretaris direktur yang manis. Wi harus jadi orang pertama yang kamu traktir dengan gaji pertamamu, ya.” Suara kakakku satu–satunya itu terdengar sungguh antusias.

Lagi–lagi kurasakan ribuan kunang–kunang itu bermain di perut dan dadaku. Ada bahagia yang membuncah. Tapi, belum lengkap sebelum Nina dan Gea tahu. Tak sabar kutunggu mereka. Pantai begitu tenang, dan matahari perlahan bersiap tertidur.

Mereka berlari–lari kecil menghampiriku. Tak kukatakan apa–apa, hanya kurangkul mereka bergantian. ”Thanks, ya. Aku dapatkan pekerjaan itu, sekretaris direktur,” uraiku, senang.

”Wahhh...  selamat, ya, Non. Asyik, traktir, ya, gaji pertama,” Nina menatapku antusias.

”Akhirnya kita bertiga sekarang sudah punya karier masing–masing, ya, meskipun kantormu jauh. Tapi, tak masalah Sekar, yang terpenting sekarang saatnya kamu memulai hidup yang baru,” nasihat Gea, diikuti tatapan setuju Nina.

Kami menghabiskan waktu cukup lama di pantai itu. Diam–diam aku masih merasa ada seseorang yang kurang dalam kebahagiaanku. Tidak ada ucapan selamat dari Bli Gus. Sial. Bukankah aku baru saja akan memulai sesuatu yang baru, namun selalu saja embel–embel masa lalu datang memberondongku.

Di rumah....

Hanya ada aku dan tik–tok bunyi hujan di luar sana. Harum tanah mulai tercium. Kuambil sebuah dupa wangi lotus kegemaranku. Di depan Padmasana aku bersimpuh. Aku bercerita pada-Nya, berterima kasih atas hadiah yang ia kirimkan hari ini padaku.

12 Mei....

Pukul 9 pagi. Aku sudah memarkir mobil kesayanganku di parkiran kantor baruku yang luas. Aku disambut seorang staf bagian personalia. Aku diperkenalkan pada seisi kantor. Dan berakhir di ruangan pribadiku. Di lantai 2 dekat dengan ruangan direktur. Aku nyaris tak yakin ruangan ini adalah bilik pribadiku. Semua fasilitas lengkap ada di sana. Ini dia duniaku yang baru. Ada harapan segar melintas di hari pertamaku. Perusahaan jasa kontraktor ini cukup punya nama di Bali, dan kini aku menjadi bagian di dalamnya. Pencapaian yang bagus.

”Ini semua pasti akan membantuku melupakanmu, Sayang...,” kataku, membatin.

Setahun pertama kulewati. Aku tak butuh terlalu lama ’menguasai’ arena kerjaku. Meskipun tak terlahir sebagai gadis jelita, aku lihai menarik perhatian orang, terutama kaum pria. Tapi, aku berusaha keras untuk selalu berhati-hati.

Aku mulai banyak menjalin relasi. Proyek–proyek besar yang dikerjakan langsung oleh bosku mulai diserahkan padaku. Alhasil, aku seolah bermetamorfosis menjadi binatang pekerja. Berangkat ke kantor pukul 9 pagi, lalu baru beranjak pulang pukul 9 malam. Itu pun masih sesekali kuhabiskan malam dengan beberapa relasi kerja yang agak dekat denganku.

Namun, siluetnya dalam hatiku belum mampu aku alihkan. ’Dia’ masih di sana, duduk tenang menempati bilik hatiku. Terkadang aku merindukannya. Mengharapkan ada pertemuan tak terduga dengannya.

Setiap kali ada pria yang mendekatiku, dengan cepat aku menjauh. Aku tak begitu paham apakah ini karena traumaku yang terlampau berat, ataukah isyarat bawah sadarku bahwa aku tak ingin ada sosok lain yang menggantikannya. Entah.

”Sekar... ke ruangan saya, dong,” suara bosku terdengar di ujung telepon.

Gelagapan kuambil buku agendaku. Gontai aku melangkah. Hawa dingin AC menyambutku.

”Ya, Pak?” Aku bersiap mencatat instruksi bos. Kulihat ia menulis sambil membuka lembar demi lembar sebuah proposal.

”Saya mau kamu ambil alih proyek ini,” dia menyerahiku setumpuk proposal yang tadi ia baca.

“Dan tolong urus tiket saya buat ke Singapura minggu depan. Saya mau liburan dengan istri. Saya titip kantor, ya.” Bosku beralih dari kursi kebesarannya. Dia mengambil minuman ringan kaleng dari kulkas pribadinya.

Aku pamit. Di ruanganku, kubaca proposal itu. Kutekan nomor telepon yang tertera di sana. Aku membuat janji dengan suara di seberang sana untuk bertemu saat makan siang besok. Suaranya menarik. Tapi, sepertinya suara itu tidak asing lagi. Suara khas lelaki yang akrab di telinga, sekilas seperti mantan lelakiku. Aku berdoa, semoga bukan  ‘dia‘.

Aku kembali lagi pada layar komputerku. Terbenam lagi pada tumpukan file–file dan histeria telepon–telepon yang tak ada putusnya. Sampai malam lagi– lagi datang. Aku rindu dua sahabatku. Sejak aku bekerja, jarang sekali kami bisa jalan bertiga lagi. Kami hanya masih menjaga komunikasi dengan berkirim SMS atau e-mail.

Pekerjaan ini sungguh menyita semua perhatianku. Menyenangkan, karena ini membuatku mempersedikit waktu ingat akan ‘dia‘. Menyedihkan, karena aku jauh dari dua sahabatku, dari Wicak yang  makin jarang kutelepon, juga dari kehidupan ingar–bingar bagi seorang wanita berumur 22 tahun yang sesungguhnya.

Pada sebuah coffee shop di seputar Pantai Kuta....
Untunglah tidak macet. Sopir kantor yang mengantarku, aku persilakan jalan–jalan sejenak sembari menunggu aku selesai meeting. Aku masih punya waktu 10 menit sebelum rekan bisnisku datang.

“Hai... Sekar?” suara bariton itu mengagetkanku.

Kutengadahkan kepala mencari si sumber suara. Jika ada yang tak kuharapkan untuk kutemui lagi di sisa akhir hidupku selain Bli Gus, dialah orangnya. Mantan seniorku semasa SMA yang pernah mempermalukanku dengan mencium seenaknya keningku saat perayaan ulang tahun sekolah, hingga mengundang riuh tak hanya teman seangkatanku, tapi juga para kakak kelas dan guru–guruku. Ya, ampuun, orang itu kini berdiri beberapa sentimeter di depanku. Tidak terlalu berbeda dengan gayanya saat SMA dulu. Masih tetap tampan dan gagah.

”He... ehhh ngapain di sini, kamu bukannya di Jakarta?” Aku sama sekali merasa tak perlu berbasa-basi untuk mempersilakannya duduk. Rasa malu semasa SMA gara–gara ulahnya yang norak,  tiba–tiba kurasakan begitu dekat.

”Sekar... Sekar.... kamu masih saja seperti dulu. Judes. Tapi, itu yang membuatmu cantik dan menarik. Boleh aku duduk di sini menemanimu?” pintanya, tanpa peduli pada sikap tak bersahabatku.

”Maaf, lagi nggak butuh teman duduk, Mas. Saya sudah ada janji dengan orang yang lebih penting dari kamu, dan kursi itu buat dia,” jawabku, masih dengan wajah judes. Sama sekali tidak ada senyum.

Dia tertawa sejenak, memamerkan deretan giginya yang bersih. Juga lesung di kedua pipinya. “Sial, ini laki-laki... kalau saja dia nggak beraksi norak  waktu SMA dulu, pasti sampai tamat SMA aku akan terus memujanya,”  kataku, membatin.

“Akulah yang kamu tunggu, Sekar. Perkenalkan, namaku Gede Arya Putra Nugraha.”

Aku ingat sesuatu. Kubuka cepat–cepat proposal yang kemarin bosku berikan. Proyek yang akan kutangani, nama direkturnya sama dengan nama yang baru saja aku dengar  dari mulut si mantan kakak kelas norak ini. Dialah VIP person titipan bosku yang akan bekerja sama dalam pembuatan vila dengan bosku. Oh, Tuhan, tamatlah riwayatmu, Sekar. Dia yang kini harus kau temani dan layani sebagai partner bisnis pentingmu.

“Orang ini VIP person, ya, Sekar,” begitu bosku mengingatkan saat tadi aku berpamitan untuk datang  makan siang plus meeting ini.

Aku memperbaiki dudukku. Menepis jauh–jauh rasa terkejut yang baru saja menderaku. Tuhan menjawab doaku, suara yang kudengar di telepon kemarin memang bukan mantan lelakiku. Mantan kakak kelasku ini Ia kirimkan sebagai gantinya.

 ”He, ehh pantas kemarin kayak kenal suaranya. Kamu, toh?” Aku menyeruput iced cappuccino, sambil berusaha menenteramkan hati.

”Yes, I am. Lama nggak jumpa, ya, apa kabar kamu? Kita bisa ngobrol santai dulu kan sebelum bahas soal rencana investasiku di vila bosmu?”

Dia memanggil waitress, memesan minuman yang sama denganku.

”Baik, Pak.” Sejujurnya, agak canggung bibirku memanggilnya demikian. Tapi, bagaimana lagi, aku tak boleh memandangnya sebagai mantan kakak kelasku lagi. Dia seorang investor penting,
dan aku harus profesional.

Dia tertawa lagi, kali ini sambil menggeser duduknya mendekatiku. Kami tak lagi berhadap–hadapan, tapi bersisian, hanya 15 senti kini jaraknya dariku. Sampai–sampai wangi parfumnya tercium jelas olehku.

”Jangan panggil Pak, tua sekali kedengarannya. Kita cuma beda usia 2 - 3 tahunan kan, Sekar? Just call me Arya, please,” pintanya.

”Kamu sudah menikah, Sekar?”

Kugelengkan kepala dengan tak semangat. Haruskah setiap partner bisnis lelaki yang kutemui menanyakan itu? Apa bedanya buat mereka statusku. Kulihat sekilas dia tersenyum, aku tak peduli untuk apa ia pertontonkan senyum indahnya itu.

”Kamu sadar nggak Sekar, kamu itu  makin menarik sekarang. Makin dewasa dan anggun,” gombalnya dengan tampang sok serius.

Aku memperlihatkan tampang tak acuh. Dia pikir aku apa, dia pikir mungkin aku akan terbuai oleh kata-kata gombalnya. Dia tentu tak tahu, bagaimana bertahun–tahun lalu pernah ada lelaki yang memujiku lebih darinya, namun lihatlah, toh, akhirnya lelaki itu bertekuk lutut pada wanita lain. Kalau saja bukan karena alasan pekerjaan, sudah kutinggalkan meja ini. Seketika rasa muak dan jengkel menderaku.

”Kita mulai saja meeting-nya, ya, Pak.” Aku menghidupkan laptop-ku, dan mulai menjabarkan semua hal yang kupikir patut ia ketahui sebelum berinvestasi penuh pada proyek vila kami.

”Oke, apakah segala urusan proyek vila ini nantinya kamu yang akan tangani?”

Lagi–lagi aku dibuatnya naik pitam. Kutarik napas sedikit. Panjang lebar aku presentasi, dia malah tanyakan hal yang tidak prinsip itu.

”Ya, Pak. Bos saya akan ke Singapura beberapa minggu ini. Jadi, sementara beliau tidak ada, semua urusan kantor menjadi tanggung jawab saya, termasuk proyek ini,” jelasku.

”Baiklah, kamu kembali ke kantor. Sampaikan pada bosmu, saya 100% jamin akan jadi investor proyeknya. Kalian siapkan saja draft kerja samanya. Masalah lebih lanjut, saya akan telepon langsung bosmu secepatnya.” Tegukan terakhir cappuccino-nya ia selesaikan dengan sedikit senyuman yang tak kumengerti.

Aku hampir melonjak kegirangan. Bonus di akhir bulan sudah terbayang berkat keberhasilanku meloloskan proyek ini. ”Baik, terima kasih Pak Arya. Sampai ketemu lagi. Saya akan siapkan surat-suratnya dulu.” Kali ini kuberikan ia sedikit senyumanku. Kami berjabatan tangan, lalu berpisah saat mobil kantorku tiba di pelataran coffee shop.

”Sempurna, Sekar. Kerja yang sangat bagus,” puji bosku, sesaat setelah aku selesai menyampaikan hasil meeting-ku dengan Arya. Senyum bapak dengan 5 anak itu sumringah.

”Terima kasih, Pak. Saya tunggu instruksi Bapak selanjutnya untuk proyek ini.”

Sejak meeting siang itu, aku dan Arya  makin sering bersama. Bahkan, hingga larut malam. Aku mulai salut dengan semangat kerjanya. Dia sungguh serius dan fokus saat kami melakukan meeting demi meeting.

Bosku sangat jarang ikut dalam pertemuan kami, dia nyaris mendelegasikan seluruhnya padaku. Hanya sesekali ia menelepon dari Singapura untuk memantau perkembangan proyeknya. ’Dendam’-ku semasa SMA kepadanya perlahan mulai terkikis. Aku mengubah status dendam itu menjadi kenakalan semasa remaja.

”Saya pikir, bulan depan pembangunan bisa dimulai, ya. Semua syarat hukum sudah kita lengkapi,” katanya, pada meeting yang kami lakukan sambil menikmati makan malam di sebuah restoran seafood di tepi Pantai Kedonganan.

”Ya, biar besok saya bicara dulu dengan bos. Kalau beliau setuju, kita mulai saja, biar tahun depan sudah mulai operasional,” ungkapku, menyetujui usulnya.

Dia tersenyum dengan lesung pipi yang membuat dia  makin tampan. ”Nggak salah memang aku kerja sama dengan kamu Sekar. Setelah pembangunan dimulai, aku bersiap dengan ’proyek’ keduaku,” katanya, sembari menekankan kata ’proyek’ dengan intonasi aneh.

Aku menatapnya tak mengerti, lalu melanjutkan menghabiskan kerang dengan bumbu pedas manis favoritku. Kami buru–buru beranjak menuju pantai saat matahari beranjak turun. Arya meminta seorang pelayan restoran untuk memotret kami dengan latar belakang sunset. Sesudahnya, Arya langsung mengatur agar foto itu menjadi wallpaper di ponselnya.

”Apa kamu mau jadi istriku, Sekar?” Arya menatap lurus mataku. Ada pengharapan besar yang ia coba perlihatkan.  Kurasakan dadaku berdesir. Refleks aku mengingat kejadian bertahun– tahun lalu, ketika ’dia’ juga melamarku di pantai, meski bukan pantai ini. Wajah ’dia’ dan Arya sama berharapnya ketika mengajukan lamaran itu. Bedanya, bertahun–tahun lalu ada cinta yang membara bergejolak dalam diriku pada ’dia’, tapi sore ini yang aku rasakan untuk Arya tak lebih hanya kasih bagi sahabat.

”Hmm, aku salah bicara, ya?” tanya Arya, ketika aku tak juga mampu mengucapkan sepatah kata.

”Kita tak punya alasan untuk akhirnya menikah, Arya. Kita bukan pasangan kekasih. Selama ini kita hanya teman bekerja, dan kuanggap kamu sebagai teman.” Ada gejolak perlawanan yang kurasakan.

Luka itu terbuka lagi.

Tidak cukup setahun, dua tahun, atau berapa lama pun membuatku beranjak dari trauma itu.
Apakah terlalu berlebihan, jika aku menjaga baik–baik hatiku, setelah seseorang yang pernah sangat aku harapkan meninggalkanku menuju pelaminan, namun tanpa aku sebagai mempelai wanitanya? Arya atau lelaki mana pun mungkin akan melakukan itu lagi.

Aku tak ingin terluka lagi. Bukankah beberapa tahun ini telah baik kulakukan tanpa pasangan. Sudah aku atasi semuanya tanpa ada laki-laki dalam hatiku, lalu buat apa kini aku bersuami.

”Sekar, apa yang sudah terjadi padamu sampai–sampai kamu sedingin ini? Aku rindu Sekar-ku yang kukenal semasa SMA dulu. Tidakkah kamu sadar sangat banyak kakak kelasmu yang diam–diam selalu mengamati dan mengagumi segala tingkah lakumu dulu. Termasuk aku,” tanya Arya sambil memandangku dengan mata penuh tanda tanya.

Aku hanya mampu terdiam. Aku tak punya keberanian untuk  menatap mata Arya. Aku takut jika nantinya mataku hanya akan memperlihatkan kebencian yang seharusnya tak tertuju padanya, lalu akan melukai Arya pada akhirnya.

”Arya, hidupku sudah baik begini. Aku sudah bahagia dengan pekerjaanku dan teman–temanku. Aku tidak mau merusaknya, jika kuputuskan untuk berkeluarga,” kilahku.

Arya tertawa. Ia mengajakku berjalan menyusuri pantai yang  makin gelap. “Apakah kamu akan melajang selamanya ? Apa nggak ingin punya suami dan anak–anak ?” tanyanya, seolah menitipkan pertanyaan untuk teman tidurku, bukan untuk kujawabkan padanya kala itu.

Aku diam. Bahkan terus diam sampai mobilnya berhenti di depan pagar rumahku. Dia hanya membukakanku pintu, tanpa menyampaikan apa–apa lagi. Ia usap lembut kepalaku. Dan mobilnya menghilang di ujung jalan. Aku memikirkan lamaran Arya. Apakah yang kurang darinya. Dia lelaki Hindu seagama denganku. Sama–sama berasal dari Denpasar. Akan memudahkan aku untuk masuk dalam lingkungan keluarganya. Dia pengusaha sukses. Dan baik.

Apa yang kucari? Bukankah tidak mungkin menunggu ’dia’ datang kembali dalam hidupku? Jika hari itu datang, pasti tak akan ada yang sama lagi, termasuk hatiku padanya. Luka yang ’dia’ tinggalkan terlampau dalam dan menyakitkan, membuat hatiku selalu ngilu, jika mengingatnya.

Berbulan-bulan setelahnya....
Seisi rumahku bersukacita. Setiap sudut sibuk dengan persiapan masing –masing. Aku hanya mengamati segala yang terjadi lewat jendela yang sengaja kubuka lebar–lebar. Wicak terlihat semangat memasang klangsah. Dia tersenyum saat mata kami beradu.

”Deg–degan, ya.” Nina tiba–tiba sudah duduk di sisi ranjangku.

Aku hanya tersenyum simpul. ”Gea mana?” tanyaku.

”Masih cari parkir. Kamu sudah coba kebayamu? Pasti kamu cantik besok,” katanya.

”Apakah yang aku lakukan sudah benar?” Aku menatap sahabatku itu dengan pandangan tak menentu.

”Hei, apa maksudmu? Jangan pikir yang aneh–aneh. Dia pilihan yang tepat, dia sangat mencintai kamu, Sekar,” Nina meyakinkanku, sembari mengamati lekat–lekat wajahku.

”Apakah salah jika aku melakukan semua ini tanpa cinta sedikit pun? Hatiku justru sama sekali tak merasakan apa-apa.”

”Sekar, ini sudah berjalan berapa tahun, sih. Kenapa kamu masih saja mengingat masa lalu itu? Nggak adil buatmu terus mengingat ’dia’. Ingat kan, betapa ’dia’ dengan mudah meninggalkanmu menikah dengan perempuan lain, bahkan dengan teganya memintamu menjadi MC resepsinya. Meskipun, itu juga andil dari ketololanmu, masih saja mau mengikuti apa yang ia katakan.” Nina memandangku serius. Gea datang, ia hanya duduk diam di antara kami. Mengamati aku dengan pandangan iba.

”Teruskan acara ini, Sekar. Tidak akan sulit mencintai Arya, he’s a perfect man.”

Lalu, sehari setelahnya aku keluar dengan balutan kebaya dan kemben berwarna emas. Dadaku terasa sesak bukan karena lilitan stagen yang terlalu kencang, tapi karena kulihat wajah Arya yang sangat sumringah menyambutku. Rasa bersalah menyerangku.

”Tuhan, maafkan lakonku hari ini, aku hanya ingin memberikan menantu yang baik untuk keluargaku...,” desisku, dalam diam.

Semua ritual siang itu sama sekali tak mendapat konsentrasiku. Aku terus berusaha sekuatnya menahan turunnya air mataku. Sejak hari ini akan menjadi tak benar lagi jika aku mengingat ’dia’. Pasti akan susah sekali mengganti lamunanku dengan Arya sebagai tokoh utamanya.

Arya menggenggam tanganku lembut, tapi sangat erat. Kudengar kul–kul bertalu–talu, tanda kami sah sebagai suami-istri. Selesai sudah semuanya.

Aku sama sekali tak mengundang ’dia’. Tapi, Gea dan Nina menemaniku terus, juga Wicak. Hanya dua sahabatku yang tahu bagaimana gejolak perasaanku saat menjalani dan menyelesaikan ritual demi ritual pernikahan ini. Wicak tak boleh tahu bahwa tak ada cinta dalam pernikahan ini.

”Terima kasih, Sekar,” bisik Arya padaku. Dia tersenyum lagi, dengan lesung pipinya yang selalu membuatnya tampak tampan dan memesona sejak pertama kali aku mengenalnya.
Kupaksakan sebuah senyum untuknya. ”Terima kasih juga, Arya,” jawabku, lemah.

Selesai. Tak akan pernah ada ’dia’ lagi dalam otakku kini. Meski akan selalu ada dalam hatiku. [Tamat]

Disalin oleh: Chen Mei Ing

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA