KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Kamis, 21 April 2011

MEREKA MEMPERKOSA KEKASIHKU (33-36)

"Saya kira tidak semua saudara atau kerabat kita memiliki pemikiran dan keyakinan yang sama dengan Papah. Mohon maaf, saya juga tak sependapat. Lagi pula ini masalah cinta.

Mei Li punya hak untuk mencintai siapa saja yang menurut hati saya dan logika saya memang tepat. Papah, kalau saudara dan kerabat kita mengucilkan saya hanya karena saya berpacaran dan akhirnya menikah dengan orang Jawa, saya kira itu sudah merupakan bentuk sinisme, primordialisme sempit.

Leluhur kita pasti tak menyukainya. Setahu saya, sejak berabad-abad para leluhur telah mengajarkan bagaimana kemanusiaan, kasih sesama dan perdamaian harus diusahakan dan diwujudkan.

Mereka telah memberi contoh bagaimana menjalin persahabatan dan kemesraan dengan bangsa lain. Buktinya ratusan tahun lalu mereka datang ke sini dan hidup berdampingan dengan pribumi sampai sekarang. Bahkan banyak tokoh Tionghoa di Indonesia yang menikah dengan pribumi sebagai salah satu wujud kasih sesama, kemanusiaan dan perdamaian.

Salah satu pelajaran yang saya tangkap dari budi leluhur, adalah tidak membeda-bedakan sesama manusia dalam segala hal. Tentang bisnis, itu soal rezeki. Saya tak terlalu takut dikucilkan komunitas bisnis tertentu, sebab saya orang yang percaya bahwa rezeki seseorang ditentukan Tuhan dan bagaimana kita mengusahakannya. Bukan komunitas, kerabat, atau keturunan. Lagi pula saya belum tentu akan berbisnis seperti Papah. Saya bisa menjadi dosen, wartawan, atau pekerjaan apa saja yang terhormat.”

"Lili, kamu hanya pandai berteori, tapi tidak mengerti bagaimana sebenarnya hidup dan kehidupan ini harus dijalani. Papah bisa begini karena mengikuti para leluhur yang sudah meletakkan prinsip-prinsip dan pondasi yang terbukti bisa kita nikmati. Dan dari dulu di keluarga kita anak perempuan selalu dijodohkan. Faktanya tak ada masalah sampai sekarang. Maka, jaga pula tradisi itu, demi kebaikanmu juga.”

"Papah, Mamah, Koh Seng An, izinkan saya bertanya. Sekali lagi maaf, apakah ketika kita keluar dari rahim ada seseorang yang meniupkan ruh dan menentukan jiwa dan warna kulitnya? Apakah kelak jika kita mati, juga ditentukan oleh seseorang? Apakah surga dan neraka akan memilih-milih warna kulit sebagai penghuninya?

Saya kira tidak! Begitu juga dengan cinta. Bagi saya, cinta adalah perwujudan dari kehendak jiwa yang tak seorang pun bisa menentukan, kecuali jiwa itu sendiri. Cinta juga tak pernah memilih-milih keturunan dan warna kulit sebagai penghuninya.

Maka, tolonglah, hormati pilihan saya, pilihan jiwa saya. Saya mohon dengan sangat. Saya tak bisa membohongi dan melukai jiwa saya. Jika Papah, Mamah, dan Koh Seng An melakukan intervensi sampai ke jiwa saya, maka jiwa ini akan terluka dan sakit,” jelas Lili. Dia mulai menangis terisak-isak, dan kemudian bersimpuh di pangkuan mamahnya.

"Mei Li, itu juga teori cinta yang tidak selalu selaras dengan kenyataan. Rasa cinta bisa muncul dengan sendirinya. Buktinya Mamah dan Papah dulu dijodohkan. Dari tidak kenal, akhirnya saling mencintai. Jiwa kami akhirnya juga saling bertaut,” bujuk mamahnya, walaupun dulu sebenarnya dia juga ingin berontak saat dijodohkan.

"Mamahmu benar,” sambut papahnya. "Tidak! Saya tidak bisa melakukannya. Saya tidak bisa membohongi diri saya!” Lili mendongkakkan kepala, tangisnya meledak makin keras. Sementara kemarahan mulai menyala di hati papahnya. Dia merasa didurhakai oleh anaknya. Tak menyangka, Lili yang mereka sayangi berani membantahnya.

"Kamu ternyata keras kepala. Pengaruh apa yang telah dimasukkan pemuda bernama Baskara itu kepadamu. Kalau kamu keras kepala, Papah juga bisa begitu. Tak ada gunanya memberi penjelasan kepadamu. Pokoknya Papah tak setuju kamu berhubungan dengan Baskara. Titik! Segera putuskan hubunganmu, atau kamu akan menjadi daun yang rontok dari pohonya,” bentak Thio Hok Kie, papah Lili, mulai melayangkan ancamannya.

Part.34

Lili tak kuasa menahan goncangan itu. Sepanjang hidupnya, baru kali ini dia dimarahi orangtuanya. Apalagi, kalimat terakhir itu dia maknai sebagai ancaman yang mengerikan. Dia seolah diultimatum, memutuskan hubungan dengan Baskara atau tidak diakui sebagai anak. Kali ini Lili sudah tak mampu bicara lagi. Seluruh tubuhnya seolah hancur. Dia langsung berlari ke kamarnya, menangis sejadi-jadinya.

"Mau ke mana, kamu? Papah belum selesai bicara!”

Mamah Lili langsung bangkit, mencoba menenangkan suaminya. “Sudah, Pah. Nanti biar Mamah yang bicara. Biar dia merenung. Kalau sudah tak emosi, dia pasti akan mengerti juga. Dia masih terlalu muda, belum tahu apa yang dia katakan dan lakukan,” bujuk Mamah Lili.

***
Sudah sukup lama Lili menelepon Baskara, tapi dia masih merasa belum puas mencurahkan hatinya. Maka, dia minta Baskara menjemputnya di depan Stadiun Gambir keesokan harinya, pukul 09.00. Lili akan mengajak ke tempat sepi dan segera menumpahkan segalanya.

Minggu pagi dia bangun dengan wajah tampak lesu dan mata membengkak. Lili segera mempersiapkan diri untuk segera beranjak ke Gambir demi menemui kekasihnya seusai sarapan. Tapi alangkah kagetnya ketika papahnya melarangnya pergi.

“Papah, Lili ada acara. Kalau mau membicarakan masalah semalam, lain waktu saja,” ujar Lili.
“Sepenting apa acarammu? Mau menemui Baskara? Sebentar lagi di rumah ini juga ada acara dan lebih penting.”

Lili tak bisa beralasan tentang tugas kuliah, karena ini hari Minggu. Akhirnya dia menuruti juga demi menghindari konflik. Kemudian kembali menelpon  Baskara di kamar, untuk menyatakan pembatalan dan permintaan maaf.

Lili masih menduga, papahnya akan melanjutkan pembicaraan soal hubungannya dengan Baskara. Siap tak siap, dia akan menghadapinya. Tapi rupanya dugaannya keliru, ketika tiba-tiba ada seorang tamu. Pemuda Cina yang tampak perlente. Lili belum pernah mengenal bahkan melihatnya, tapi papahnya memaksanya untuk ikut menemuinya. Rupanya, dia sudah dipersiapkan orangtuanya begitu mereka merasa khawatir tentang hubungan Lili dan Baskara.

“Terima kasih kamu datang juga, Beng. Kenalkan, ini putriku, Mei Li. Seng An semalam ada juga, tapi sudah kembali ke rumahnya. Mei Li, ini Beng San. Dia dan orangtuanya rekan bisnis papah. Beng San menjadi andalan bisnis papahnya. Dia juga teman Koh Seng An,” papahnya tampak bersemangat.

Lili agak malas menyalami pemuda yang umurnya kira-kira sudah berkepala tiga itu. Dia tak bisa menolak untuk ikut duduk di ruang tamu. Tapi dia tak mendengarkan pembicaraan Beng San dan papahnya yang tampak akrab. Lili juga tak memedulikan bahwa Beng San sering meliriknya dengan tatapan nakal.

“Mei Li katanya masih kuliah, di jurusan apa?” tiba-tiba Beng San bertanya.
“Ekonomi,” jawab Lili, tampak malas mengeluarkan kata-kata.
“Oh ya, silakan bicara. Saya mau masuk sebentar, ada urusan sama mamahnya Mei Li,” kata papah Lili

Part.35

Ah, apa maksudnya ini semua. Lili langsung menduga, papahnya punya rencana sesuatu dengan kehadiran Beng San.

Ternyata pembicaraan semalam baru salah satu rencana, dan kehadiran Beng San adalah rencana berikutnya. Lili langsung tahu, Beng San diharapkan menarik hatinya. Benar juga dugaannya, kalau dilihat dari cara bicara Beng San.

“Ternyata kamu lebih cantik dari cerita papahmu,” kata Beng San. Lili tak menanggapi. Justru dia mulai merasa sebal dengan Beng San yang tampak begitu agresif dan kurang sopan.

“Kamu rupanya pendiam, ya?” lanjut Beng San. “Tergantung. Saya lagi malas bicara.” “Aku kemari karena undangan papahmu. Terus terang, dia juga ingin mengenalkanku kepadamu. Ini sebuah kehormatan. Apalagi kamu ternyata cantik dan anggun.” “Ah, bisa saja. Sebaiknya bicara yang lain saja, atau saya akan masuk!” Lili tiba-tiba begitu benci kepada Beng San.

“Oke, kamu orang ekonomi, aku ingin minta pendapatmu di banyak hal soal ekonomi. Maklum, aku lagi mau mencoba melakukan pengembangan bisnis properti. Dalam keadaan ekonomi seperti sekarang, rasanya serbaterbatas. Bagaimana kira-kira prospek bisnis properti ke depan?” “Ah, soal teori mungkin saya bisa. Tapi saya kira Koh Beng San lebih paham di lapangan. Pendapat saya tak akan banyak berguna.” “Belum tentu. Aku justru ingin tahu pandangan para akademisi.” “Kalau pandangan saya ya suram. Karena daya beli masyarakat menurun oleh krisis moneter. Itu saja,” jawab Lili ketus.

“Sebenarnya aku butuh tenaga muda yang cerdas, punya landasan teori yang baik, juga kreatif. Rasanya orang sepertimu cocok juga. Aku ingin menawarimu untuk bekerja sama. Papahmu juga setuju. Sekarang terserah kamu.”

“Maaf, saya masih kuliah. Belum tentu juga saya senang terjun di dunia bisnis.”

“Ah, orang seperti kita tak akan jauh-jauh dari bisnis dan perdagangan. Kita mau terjun di dunia apa lagi agar sukses secara materi? Kalau sudah terjun, lama-lama kamu juga suka,” jawab Beng San yang tampak tak peduli dengan ketidaknyamanan Lili.

“Itu salah kita sendiri yang memandang materi adalah segalanya.” “Ha…ha…ha… menarik juga pendapatmu.”

Tiba-tiba Mbok Minah masuk mengantar minuman. Tak lama kemudian, papah dan mamah Lili ikut bergabung. Kesempatan bagi Lili untuk mohon pamit. “Maaf Koh Beng San, saya harus masuk. Lagi nggak enak badan,” ujarnya.

Papah dan mamah Lili tampak kurang suka, tapi tak bisa mencegahnya. Apalagi Beng San kemudian menjawab, “Silakan. Kapan-kapan kita bicara lagi.”

Lili langsung buru-buru pergi ke kamarnya. Papah dan mamahnya pun sibuk dengan tamunya. Lili sendiri segera menelepon Baskara.

Part.36

tampak lesu dan muram. Suasana kantornya yang hiruk-pikuk membuatnya makin resah. Maka, dia segera putuskan keluar dari kantornya untuk segera hunting foto. Tapi baru beberapa langkah, Lukito menyapanya.

“Hai, Lorenzo. Tumben wajahmu kucel begitu. Mau ke mana?” “Biasa, memotret. Kamu sendiri ada liputan apa?” “Biasa juga, politik. Aku ingin mengembangkan isu-isu yang sedang panas. Demonstrasi makin marak di berbagai daerah, setelah Soeharto dilantik jadi presiden lagi. Bagaimana kekasihmu yang demonstran itu? Pasti sibuk merancang aksi juga, ya?”

“Iya, tapi dia sedang sakit. Aku sudah seminggu tak bisa bertemu dengannya.” “Jenguk saja dia!” “Itu masalahnya. Dia minta aku tidak datang ke rumahnya dulu. Keluarganya melarang hubungan kami. Akhirnya, apa yang aku takutkan terjadi juga.” “Ah, mosok seorang Lorenzo Lamas menyerah?”

“Bukan menyerah. Aku tak ingin keadaan jadi tambah buruk. Lili sempat disidang keluarganya. Biarkan dia tenang dulu, toh kami masih bisa berhubungan lewat ponsel.” “Zaliany bagaimana? Suruh saja dia menjenguknya. Kalau perlu aku bersedia menemaninya.”

“Itu yang direncanakan Zaliany hari ini. Orangtua Lili tahunya Zaliany teman kuliah, bukan adikku. Tapi dia sudah punya teman, namanya Awan. Maaf, ada kabar buruk bagimu. Awan dan Zaliany berpacaran.”

Lukito tampak sedikit terpukul. Tapi dasar Lukito, dia segera menepis kekagetan dan kekecewaannya. “Ah, baru pacaran, berarti masih ada kesempatan.” “Ngacau, jangan ganggu mereka.” “Tidak, aku tidak akan mengganggu. Cuma menanti takdir akan pergi ke mana. Ha…ha…ha…”

Kedua sahabat ini pun berpisah. Tapi sebelumnya, Lukito sempat bertanya, “Minggu besok kamu di rumah apa pacaran? Kalau di rumah, aku mau main.”

“Boleh. Tampaknya Lili belum bisa keluar rumah. Tapi kalau tiba-tiba Lili ingin ketemu, kamu terpaksa akan aku tinggalkan.” “Tak masalah, asal Zaliany juga ada di rumah.” “Gombal kamu. Mau mengunjungiku apa Zaliany?” “Mau silaturahmi dengan kaluargamu. Memang dilarang?” “Terserah kamu.”

Baskara segera meninggalkan rekannya untuk memburu foto. Tapi pikirannya tak jua tenang. Keluh-kesah Lili terus terngiang di kepalanga. Dia tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya kekasihnya itu. Dia sakit mungkin juga memikirkan ultimatum keluarganya. [sebelumnya | selanjutnya]

Disalin oleh Chen Mei Ing

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA