KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 23 Oktober 2011

AKU ANAK ADOPSI (1)

Story: Nama aku Lylies, asal Medan. Saat ini aku berusia 25 tahun. Aku adalah anak adopsi. Bukan tujuan aku untuk berkeluh kesah dengan menulis kisahku ini. Tapi  aku sungguh berharap kisahku ini dapat dibaca oleh mereka yang berniat untuk mengadopsi anak dan akhirnya mengetahui bagaimana pemikiran yang ada pada diri anak mengenai hidupnya sebagai anak adopsi, yang selama ini tidak mungkin mereka mau membicarakan hal ini dengan orang lain, terutama kepada orang tua angkatnya sendiri.

Aku ingat waktu aku masih kelas 5 SD, aku main ke rumah temanku, kemudian bertemu dengan ibunya. Tiba-tiba ibunya menatap mataku lekat-lekat dan bicara, "Kamu kan anak pungut." Setelah itu dia diam dan memperhatikan ku, seolah-olah menunggu dan sangat penasaran dengan reaksiku. Aku sangat benci kalau mengingat kembali saat itu, bukan karena aku baru tahu bahwa aku anak adopsi, tapi karena aku bingung harus bagaimana bersikap dengan pernyataan itu. Dalam benakku aku bertanya-tanya, apakah salah kalau aku anak adopsi. Sejak itulah aku mulai tidak suka dengan statusku sebagai anak adopsi dan merasa kurang percaya diri. Dan sejak itulah pula aku selalu merasa tidak nyaman kalau beradu pandang dengan mata orang lain.

Pada umur sekitar 9 tahun aku sudah tahu kalau aku bukan anak kandung dalam keluargaku, dan aku mengetahuinya untuk pertama kali bukan dari orang tua adopsiku, tapi justru dari saudara kandungku. Sepengetahuanku sebelum mereka menikah, ibu adopsiku adalah orang yang lumayan kaya, sedangkan ayah adopsiku adalah orang yang memang berasal dari keluarga yang kurang. Mereka dicomblangin saat mereka masing-masing hampir berusia 40 tahun. Karena itu mereka tidak punya anak kandung dan akhirnya aku sejak bayi dipisahkan dari adik perempuan ibu adopsiku,... ya, ibu adopsiku sebenarnya adalah bibiku, kakak dari ibu kandungku. Akhirnya, aku menjadi anak satu-satunya dalam keluarga ini.

Aku memiliki 8 saudara kandung, aku nomor 7. Ayah kandungku adalah orang yang menafkahi kelurganya dengan sebuah toko seni. Aku menyapanya paman, bukan ayah, karena sudah "dibiasakan" oleh ibu adopsiku sejak kecil. Sebenarnya sudah sejak dari awal ibu adopsiku ingin merahasiakan perihal aku yang diadopsi, tapi salah satu kakak kandungku memberituhuku waktu aku berkunjung ke rumah ortu kandungku. Aku tidak ingat  bagaimana reaksiku saat itu, karena aku masih kecil. Yang jelas aku terus mengingatnya dalam pikiranku dan aku tidak berani menanyakannya kepada mereka, baik ortu kandung maupun ortu adopsi, karena aku takut ketahuan mengetahui rahasia mereka (sebuah pemikiran yang polos sebagai anak kecil). Baru  setelah agak besar (masih di SD) aku bertanya pada ibu adopsiku, "Ma, kata teman-temanku aku adalah anak yang diadopsi, benar nggak sih Ma?" Ibu adopsiku hanya menjawab, "Siapa yang bilang begitu? Mereka membohongimu." Mendengar jawaban yang tidak jujur begitu, akhirnya aku tidak pernah mau menanyakan hal ini lagi. Kini aku tau dia memang bermaksud untuk membohongi aku, entah sampai kapan. Hal ini kurasakan sangat tidak adil bagiku.

Tidak berapa lama setelah itu, di sekolah aku diteriakin "anak pungut....anak pungut" oleh murid-murid laki-laki yang jahil, aku menangis tapi teman-teman yang lain melaporkan kepada guru, akhirnya murid-murid itu "diamankan". Kemudian seorang ibu guru memelukku dan membiarkan aku menangis membasahi bajunya, kemudian dia berkata, "Tidak apa-apa jadi anak pungut, itu berarti banyak yang menginginkanmu." Sekembalinya ke rumah, aku tidak dapat mengatakan kejadian hari itu kepada orang tua adopsiku, aku menyimpan peristiwa ini di dalam hatiku sendiri karena ini menyangkut sikap mereka yang tidak mau terus terang kepada aku mengenai jati diriku yang sebenarnya. Aku kembali menangis sendirian di kamar. Inilah kesepian yang harus dihadapi oleh seorang anak adopsi.

Aku masih ingat waktu kecil aku sangat senang apabila berkunjung ke rumah orang tua kandungku, karena disana aku bisa berkumpul dan bermain dengan saudara/i kandungku yang banyak, dan akan sangat sedih bila harus pulang ke rumah ortu adopsiku, karena aku harus berpisah dengan mereka. Satu-satunya hal yang pernah membuat aku meneteskan air mata di sana adalah ketika aku melihat foto-foto mereka sekeluarga. Kebanyakan foto-foto itu adalah foto bersama seluruh anggota keluarga dan Setiap keping foto yang aku lihat itu adalah sebuah potret kebersamaan yang bahagia, tanpa aku di dalamnya.

Kerinduan akan kebersamaan itu terus ada sampai aku dewasa, bahkan berulang kali aku memikirkan untuk menyapa kembali ayah kandung aku sebagai "Ayah", bukan "Paman". Tapi pikiran lain juga bermunculan, bukankah sejak bayi aku sudah diserahkan ke keluarga lain, jadi kalau dia masih menghendaki aku, harusnya dia yang minta agar aku yang kembali memanggilnya ayah. Sedangkan ibu kandungku sudah meninggal sejak aku kelas 6 SD.

Hal yang paling aku ingat jelas tentang ibu kandungku adalah saat aku berada di rumahnya pada umur sekitar 8 tahun, waktu itu dia sedang menghanduki aku selepas aku mandi kemudian dia sambil setengah jongkok menyisir rambutku, saat itulah aku menatap wajahnya lama dan seolah-olah aku merekam  pandanganku ke dalam memori di otakku. Jadi setiap aku mengingat kembali akan dirinya, wajahnya yang sedang menyisir rambutku dengan lembut itulah yang pasti muncul dalam pikiranku.

à à à

Sebenarnya pada saat seseorang mengadopsi seorang anak, dia bukan saja memisahkan secara fisik seorang anak dengan orang tuanya, tapi dia juga menghancurkan ikatan emosional yang seharusnya terbentuk secara alami apabila ada interaksi yang terus menerus antara si anak dengan orangtuanya, atau antara si anak dengan saudara/i-nya. Karena itu, aku bisa maklum, walaupun sebenarnya sedih ketika suatu kesempatan kakak kandung aku mengenalkan aku kepada temannya dengan menyebut aku sebagai sepupu, anak dari bibinya, bukan sebagai adik kandungnya. Aku tetap berusaha tersenyum walaupun patah hati.

Aku punya seorang teman yang juga adalah seorang anak adopsi. Dia bahkan tidak tahu asal usul dirinya sendiri. Dia mengetahui bahwa dirinya adalah anak adopsi juga dari orang di luar keluarganya, karena orang tuanya juga bermaksud untuk merahasiakannya. Karena merasa tidak jelas dengan jati dirinya, dia pernah mencoba mencari informasi mengenai asal usul keluarga kandungnya, namun tidak berhasil. Tapi tidak lama waktu berselang, rupanya takdir memang hendak mempertemukan dia dengan orang tua kandungnya. Tidak disangka-sangka rupanya kakak perempuan dari teman saya  itu juga meminta kepada suaminya untuk mencari adik kandungnya yang sejak kecil telah diserahkan ke keluarga lain. Akhirnya iparnya berhasil menemukan dia dan akan  mempertemukan dia dengan ibunya. Dari cerita kakak iparnya rupanya setelah ibunya melahirkan dia, ibunya langsung bercerai dengan ayahnya,  sehingga ia terpaksa diserahkan kepada keluarga lain.

Pertanyaannya adalah kira-kira bagaimana suasana saat-saat perjumpaan kembali antara si anak dengan ibu kandungnya itu setelah sekian tahun berpisah? Jangan bayangkan bahwa pertemuan itu akan diselingi air mata, penuh keharuan, atau suasana yang sangat dramatis dan penuh keakraban juga kebahagiaan. Realitanya adalah sangat jauh dari itu semua. Suasananya bahkan sangat kaku, teman aku ragu untuk memanggilnya ibu, dan sang ibu pun terlihat sopan seperti sedang menghadapi orang asing. Kemana hilangnya ikatan emosi antara ibu dan anak? Jawabannya sudah hancur sejak mereka berpisah. Sekembalinya teman aku dari pertemuan itu, tampangnya lebih menyiratkan kebingungan daripada kelegaan karena telah tercapai tujuan yang selama ini dirindukannya.

***
Kembali ke kisah aku sendiri, Di dalam keluarga, ibu adopsiku adalah seorang petani yang cukup sukses bahkan ketika dia masih lajang. Sedangkan ayah adopsiku adalah orang yang sangat pasif (dan pesimis). Bahkan setelah mereka menikah, ayah adopsiku tidak mau campur tangan dalam mengelola pertanian ibu adopsiku. Aku masih ingat dia suka menyewa  dan menonton video film-film serial silat dan juga film-film porno sampai larut malam dan bangun bangun setelah jam 11 siang. Sungguh seseorang yang tidak pantas untuk disebut sebagai kepala keluarga. Dalam keseharian , dia lebih pasif lagi terhadap aku, jadi aku lebih dekat dengan ibu adopsiku ketimbang dia. Hal ini selalu menjadi pertanyaan besar dalam pikiranku kenapa dia sama sekali acuh tak acuh sama aku. Pernah suatu saat waktu aku masih kecil, karena aku berbuat salah, dia menunjuk jarinya ke aku tapi membentak ke ibu adopsiku sambil mengeluarkan kata-kata : "Membesarkan anak orang lain, setelah besar entah berguna atau tidak?" Aku menangis dan rasanya ingin kabur saja dari rumah itu.

Sedangkan, ibu adopsiku adalah pribadi yang suka menolong orang. Dia bahkan pernah kasih uang sebagai modal untuk usaha kepada adik-adik ayah adopsiku sehingga sampai mereka berhasil. Selain itu,  ibu angkatku mempunyai satu ruko yang dipinjami untuk salah satu adiknya buka usaha. Adiknya yang satu ini tidak pernah menyukai aku sejak aku kecil. Dia bahkan pernah ngomong langsung ke aku kalau aku bukanlah orang yang satu marga dengan dia (maksudnya menyindir aku sebagi anak adopsi dari luar kekerabatannya). Tapi aku tidak pernah peduli dengan omongannya karena aku sudah lama belajar untuk tidak menuntut penerimaan dari siapapun mengenai jati diriku, lagipula semua saudara ayah angkatku memang punya tabiat suka merendahkan orang, jadi aku memakluminya  saja.

Waktu berlalu, dan usaha dari adik-adik ayah adopsiku semakin berkembang, dan sekarang justru ekonomi dalam keluargaku yang merosot, karena semua tanaman di kebun ibu adopsiku mati terkena wabah. Setelah tamat dari SMU, aku berkeinginan untuk menunjang kembali keuangan keluarga dengan buka usaha dan ingin menggunakan kembali toko milik ibu adopsiku yang selama ini dipakai oleh adik dari ayah adopsiku, tapi  malah ayah adopsiku bersikukuh agar adiknyalah yang harus tetap memanfaatkan toko itu. Dia malah mengejek aku sebagai anak yang tidak berguna dan tidak bisa apa-apa. Mengingat tabiat mereka bersaudara yang memang suka merendahkan orang, aku tidak banyak ambil pusing dengan perkataannya. Akhirnya aku terpaksa ke jakarta untuk bersusah payah kerja dengan orang.

Sampai titik ini aku masih menjalani hari-hari hidupku dengan kesibukanku sendiri sebagai karyawati. Persoalan mengenai ruko masih terus menjadi ganjalan dalam hatiku, karena sepertinya ayah adopsiku lebih memilih untuk mendukung adiknya sendiri ketimbang aku. Mengingat adalah tidak baik kalau sebagai anak terus mempertanyakan milik orang tua tatkala mereka masih sehat, maka ganjalan dalam hatiku itu hanya dapat aku diamkan saja.

Tapi pada suatu saat sebuah kejadian yang diawali oleh kematian nenek (ibu dari ayah adopsiku) benar-benar membuka mataku dan mengungkapkan apa niat tersembunyi yang ada dalam hati ayah adopsiku.

Pada saat pembuatan makam nenekku, terjadi ketidaksepakatan ide antara ayah angkatku dengan adiknya yang selama ini mendiami toko ibu adopsiku. Ayah adopsiku ingin membuat sebuah altar thu thi pak kung (dewa bumi) pada makan nenekku, sebagai tradisi yang sudah umum pada kalangan kong hu cu.  Tetapi adiknya tidak menyetujui karena walaupun nenek tadinya beragama kong hu cu, tapi sebelum meninggal sudah pindah agama menjadi katholik.

Percecokan memanas, ayah adopsiku mengatakan bahwa dialah anak yang sulung, jadi seharusnya keputusannyalah yang berlaku, adiknya tidak dapat menerima dan membentak ayah adopsiku di depan saudara/i  dan para kerabat yang lain dengan kata "Jadi anak sulung apa gunanya, kalau kamu memang berguna,  kenapa hidupmu harus sampai ada hari ini?"  Dalam pengertian kalangan kami, kata "kenapa hidupmu harus sampai ada hari ini" adalah sebuah hinaan yang bermaksud untuk menunjukkan keadaan hidup yang hina/rendah karena ketidakmampuannya sendiri. Dan memang pada saat itu keluarga kami sedang mengalami kesulitan keuangan. Gajiku yang kusisihkan untuk dikirim ke rumah juga tidak bisa disebut mencukupi. [Lylies / Bersambung / Tionghoanews]

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA