Komunikasi yang terjalin, membuat penggalangan dana tidak sulit dilakukan. Jiwa sosial teman-temannya semasa duduk di bangku SMA, diakui Tan Beng See cukup tinggi. "Kami selalu tergerak untuk membuat kegiatan sosial, bekerjasama dengan organisasi lain termasuk vihara-vihara.
Kami sudah tua-tua, sehingga lebih banyak membutuhkan nilai-nilai ibadah. Ini sesuai visi kami, sederhana di hari tua," tuturnya ketika ditemui di Vihara Amurva Bhumi, Jatinegara, Jakarta Timur, pekan lalu.
Menurut Tan, komunikasi dan pertemuan intensif itu baru terjadi saat reformasi. Sebelumnya, mereka hanya bertukar kabar dan cerita melalui telepon atau pesan singkat.
Pada masa orde baru, segala bentuk kegiatan menyangkut etnis Tionghoa, dilarang. Sekalipun, sekadar kumpul-kumpul untuk melepas kerinduan. "Setelah pecah G 30 S PKI, dimana usia kami masih muda-muda, kami sudah kena larangan berkumpul.
Padahal, kumpul-kumpul ini penting untuk kemajuan bangsa. Tapi karena ada sentiment ras, kami pun hanya melakukan komunikasi jarak jauh," ungkapnya. Seakan tak ingin menyia-nyiakan kebebasan yang didapat, dia dan alumni Hua Chung angkatan 62 sering berkumpul.
Termasuk mereka yang sudah hijrah ke Amerika Serikat dan daratan Eropa. "Sejak reformasi bergulir, kami berkumpul kembali. Kumpul-kumpul kami positif, seperti menggelar bakti sosial dan silaturahmi. Kalau sudah saling kangen, kami kumpul, makan-makan di restoran. Kadang, kami berkumpul pada hari-hari besar Tionghoa seperti Cap Go Meh dan ulang tahun vihara," terang Harry Teng. [Jesisca Pang / Bekasi / Tionghoanews]