Bahtera rumah tangga kami berjalan mulus dan cukup harmonis. Apa lagi setelah kami dikaruniai seorang anak, Ia adalah anak perempuan yang manis dan menggemaskan. Aku bahagia sekali. Rasanya dunia ini milik kami bertiga, tidak ada yang bisa mengganggu kebahagiaan ini. Belaian kasih sayang aku berikan kepada anakku dan suamiku.
Namun sayang, karena kondisi perekonomian kami yang memprihatinkan, putri pertamaku itu, aku titipkan kepada kerabat dekatku di sebuah tempat yang dirahasiakan. Maklumlah kondisi dan taraf hidup kami masih di bawah, sangat memprihatinkan. Biarlah Bella tidak mengetahui kondisi kami sehingga ia tidak terbebani.
Karena itulah, suamiku terus membanting tulang demi mendapatkan hasil yang maksimal. Jerih payahnya itu membuahkan hasil yang luar biasa. Ia bisa memperbaiki taraf perekonomian keluarga. Kehidupan keluargaku beranjak meningkat, lebih baik. Buktinya, kami sudah sanggup lengser dari rumah orangtua, mengontrak rumah di bilangan Jakarta Selatan.
Sayangnya, kebahagianku itu tidak berlangsung lama. Hanya bertahan sekitar tiga tahun, seiring meningkatnya ekonomi keluarga berimbas pula dengan perubahan perilaku suami yang cenderung negatif. Ia sering pulang larut malam bahkan terkadang dini hari baru tiba di rumah. Pertengkaran pun bewarnai kehidupan dan hari-hari kami.
Dan aku mulai berusaha mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi dengan suamiku. Dan aku begitu terkejut ketika mengetahui suamiku ternyata memilki kebiasaan 'jajan' di luar. Perasaanku pedih, sangat pedih! mengetahui tabiat buruk Yanto yang sebenarnya Ingin rasanya aku membunuhnya yang tega berselingkuh dengan pelacur. Kendati demikian, aku tidak menginginkan rumah tanggaku hancur berkeping-keping. Dan akibat kebiasaannya itu, suamiku menderita sakit.
Sebagai seorang istri, aku tetap setia merawat dan memberikan kasih sayang. Sebenarnya aku sudah memiliki firasat tidak baik, kalau suamiku itu bisa mengidap HIV/AIDS karena perilakunya. Dan ternyata memang benar. Kubawa dia ke dokter. Hasil pemeriksaan darah menunjukan HIV positif. Semakin hari tubuh suamiku semakin mengurus. Dan akhirnya suamiku kembali kepangkuan Tuhan Yang Maha Esa.
Penderitaan sepertinya tidak akan berhenti, karena aku juga akhirnya merasakan penyakit dengan gejala yang sama dengan suamiku. Padahal saat ini aku tengah mengandung anak keduaku. Dan ternyata penyakitku itu membawa aku semakin terpuruk dalam menjalani kehidupan. Lingkungan tempatku tinggal dan lingkungan kantorku menolak kehadiranku. Mereka sepertinya menganggap aku sebagai seonggok sampah yang menerbarkan bau busuk dan penyakit.
Namun untunglah aku masih mendapatkan support dari keluargaku, dan aku menemukan kembali lingkungan dan pekerjaan baru yang bisa menerimaku dan lebih bermanfaat untuk kehidupanku. Aku diterima bekerja disebuah badan kesehatan. Dan aku ditugaskan utnuk memberikan motivasi bagi para penderita AIDS. Aku sangat senang sekali memperoleh pekerjaan ini. Semangat hidupku pun tumbuh berlipat-lipat.
Namun ditengah kebahagiaan itu, aku kembali harus mangalami kenyataan yang lebih pahit lagi. Anak keduaku yang aku lahirkan setahun lalu ternyata juga menderita HIV/AIDS. Ya Tuhan, ampuni dosa-dosa keluargaku. Lelehan air mata tak bisa kubendung. Aku terus menangis dan menangis menerima kenyataan pahit untuk sekian kalinya. Hatiku pun bergolak kembali. Tapi aku tidak boleh larut di dalam kesedihan ini, aku harus melawan virus HIV itu bersama anakku.
Aku tidak mau menghentikan obat yang diberikan dokter, nanti bisa semakin parah. Aku akan berusaha menjalani hidup yang diberikan Tuhan dengan memberikan manfaat kepada orang lain. Kini, hidup matiku kuserahkan kepada Tuhan. Dokter memperkirakan usiaku bisa bertahan lima tahun. Namun, hingga kini, Tuhan masih memberikan kasih sayangNya kepadaku. Yang kuinginkan, kepergianku tidak menyusahkan orang lain. Dan aku berharap sekali ada yang mau menjaga anakku. Kalaupun kemudian aku meninggal, aku tidak ingin dalam keadaan kurus seperti suamiku, aku ingin tetap cantik. [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews]