Setelah dua tahun bekerja disebuah pabrik dengan penghasilan yang sangat kecil, aku memutuskan untuk merantau ke kota lain. Namun keputusanku itu ditentang kedua orang tuaku, karena selain tak memiliki pengalaman yang memadai, mereka juga khawatir dengan keadaanku diperantauan kelak, karena aku tak memiliki sanak saudara atau kerabat yang bisa mengawasi dan memperhatikan keadaanku.
Sebulan berikutnya aku cuma bisa menyaksikan kedua orang tuaku yang 'jungkir balik' mengais rejeki dengan berdagang. Peluh dan kelelahan disekujur tubuh sepertinya tak lagi mereka rasakan. Terkadang mereka harus pulang larut malam demi mengejar satu rupiah untuk kami pergunakan esok harinya. Pedih rasanya menyaksikan hal itu, membiarkan mereka bersakit-sakitan demi kami anak-anaknya.
Untunglah dalam situasi yang serba sulit itu, teman sekolahku waktu di SMP, sebut saja namanya Emi (bukan nama sebenarnya) mengajaku mengunjungi kedua orang tuanya yang sudah memiliki tempat usaha di sebuah kota besar di tanah air tercinta ini. Emi bilang mungkin aku bisa mendapat pekerjaan ditempat usaha orang tuanya itu dan syukurlah kedua orang tuaku memberi izin, karena mereka bisa menitipkanku pada orang tua Emi.
Sesampai di kota itu aku memang terkagum-kagum menyaksikan kemegahan dan keramaian yang belum pernah aku saksikan. Kedua orang tua Emi tinggal di pinggiran kota besar itu, tetapi keramaiannya tetap saja membuat aku geleng-geleng kepala. Mereka ternyata memiliki dua warung dipinggir jalan sebagai lahan usaha mereka, dan aku diberi kepercayaan untuk membantu menjaga warung tersebut.
Sebenarnya aku sendiri masih sedikit bingung dengan pekerjaan ini, karena warung ini hanya buka mulai pukul sembilan malam sampai menjelang subuh, tetapi aku menguatkan tekadku. Selain warung orang tua Emi, terdapat warung lain yang berjejer sepanjang jalan itu. awalnya aku curiga ketika mulai banyak pembeli yang datang, rata-rata mereka laki-laki iseng, ada juga beberapa perempuan yang hanya nongkrong dan ngobrol dengan beberapa laki-laki.
Baru sehari kemudian aku menyadari, itupun karena dijelaskan orang tua Emi. Bahwa warung tempat mereka usaha memang sengaja untuk para perempuan dan laki-laki yang iseng yang sering berkeliaran malam hari. Mereka menjelaskan bahwa perempuan yang sering ada di warung adalah para perempuan malam yang yang sengaja menjajakan tubuhnya buat para lelaki hidung belang. "Tapi kamu jangan ikutan-ikutan ulah mereka, kamu tungguin warung aja, kalo ada lelaki yang mengajakmu jangan mau ya…!" ujar orang tua Emi mengingatkan.
Malam kedua, yang kebetulan malam minggu, warung yang aku tunggui semakin bertambah ramai, laki-laki dan perempuan berbaur membicarakan hal-hal jorok yang membuat jantungku terasa berdetak lebih cepat. Terkadang mereka melakukan hal diluar nalarku, berciuman, bahkan saling meremas.
Sesaat kemudian, diujung jalan terdengar teriakan-teriakan "Razia…razia…". Lalu orang-orang yang ada di warung berhambur berlairan, "Ada apa ini, " pikirku dalam hati. Belum sempat aku menemukan jawaban, beberapa lelaki berpakaian seragam mencekal tanganku, "Ayo naik ke mobil kamu," teriak salah seorang dari mereka. Tapi aku tak mau, aku tak mengerti dengan perlakuan mereka, aku memberontak, tapi mereka terus menyeretku, memaksaku naik ke mobil truk yang terparkir tak jauh dari warungku.
Tidak seperti beberapa perempuan lain yang juga ditangkap, aku tidak diijinkan untuk naik dibagian belakang truk. Seorang dari mereka memaksaku untuk duduk didepan, disamping sebelah sopir. Aku saat itu di apit dua orang lelaki berpakaian seragam, dari mulut mereka tercium bau minuman keras yang sangat kukenal aromanya, mereka juga mengoceh hal-hal yang membuatku dilingkupi perasaan takut yang teramat sangat.
Dan yang kutakuti itu akhirnya menjadi kenyataan. Mereka memaksaku melakukan hal-hal yang membuatku ingin muntah, "Eh pelacur, ayo dong ga usah belaga suci deh, sini tangan kamu, udah biasa megang 'burung' kan," bentaknya sambil menarik tanganku kearah alat vitalnya. "Jangan pak saya bukan pelacur, saya cuma nungguin warung, saya bukan pelacur," teriakku saat itu. tetapi mereka tak perduli, tangan mereka terus saja meremas-remas bagian-bagian tubuhku, mereka bahkan memaksaku melakukan oral seks yang membuatku muntah-muntah.
Mereka memang tak sempat merenggut kesucianku karena, karena mobil yang kami tumpangi saat itu tiba disebuah tempat yang mereka sebut-sebut sebagai lokalisasi. Ditempat itu mereka turun dan kembali menangkapi beberapa perempuan. Aku mengambil kesempatan itu untuk turun dan kabur sejauh-jauhnya sampai akhirnya ada orang yang membantuku untuk kembali ke warungku. Aku memang tak menceritakan perlakuan mereka kepada siapa-siapa karena malu dan takut. Biarlah hal itu menjadi kenangan pahit buatku. [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews]