KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 12 Desember 2011

LAMPION TERAKHIR DI PECINAN (2)

Ayahnya begitu menyesalkan kepindahan tersebut. Selain bisnis kain ayahnya sudah besar, mereka telah merasa menjadi warga negara Indonesia meski bersekolah di sekolah berbahasa China. Namun, pemerintahan Indonesia tahun 1963-1964 akan mengizinkan warga Tionghoa menetap di Indonesia jika telah menukar kewarga negaraan menjadi WNI yang tercermin dari pengubahan nama China yang mereka pakai menjadi nama-nama khas Indonesia. Pemerintah saat itu juga menutup sekolah berbasis China.

Aku jadi menarik kesimpulan sendiri, mungkin inilah sebab kenapa kenalanku yang seorang Tionghoa itu hanya bisa menulis aksara China dari namanya saja, batin Uut. Meskipun, saat ini sudah banyak koran beraksara China beredar di Indonesia.

Kiki sendiri meninggal karena sakit, sehari itu dia muntah-berak berkali-kali. Mungkin waktu itu tenaga medis masih minim, batinku.

"Hari Minggu depan adalah tanggal 14 bulan ketujuh tahun lunar. Itu hari raja bagi kami para arwah. Seandainja anda punja indra keenam, anda bisa melihat sosok seperti saja yang diberi waktu libur selama satu malam, setahun sekali, untuk bermain atau mendjenguk leluhur jang masih hidup di dunia sebelum arwah-arwah itu masuk lorong reinkarnasi dan lahir mendjadi anak orang lain. Jika dalam satu malam itu mereka tak kembali, maka arwahnja akan gentajangan seperti saja."

"Bagaimana aku membantumu?"

***

Hari hari yang dimaksud, Uut ditemani Rhea menuju pecinan di Semarang. Kembali mereka mencarter mobil Van untuk memudahkan transportasi. Sebelumnya, Uut menceritakan tentang kebersamaannya dengan Kiki selama beberapa hari terakhir. Rhea tak mau mempercayai hal-hal seperti ini. Lagipula, kisah-kisah itu hanya ada di film-film Hong Kong.

Namun, ketika Rhea membuktikan sendiri penampakan Kiki saat bermalam di kontrakan Uut, semalam sebelum keberangkatan mereka ke Semarang, Rhea malah ketakutan. Semalaman dia tak bisa terlelap meski semua lampu dinyalakan dan tidur di ranjang yang bersebelahan dengan ranjang Uut.

Ketika pagi tiba, mata Rhea terlihat memerah saga. Wajahnya pucat. Kentara sekali kalau semalaman dia tidak tidur.

Mobil yang mereka tumpangi terus melaju ke Semarang. Rhea duduk terdiam di jok samping kemudi. Melihat keadaan seperti itu, tak mungkin Uut memintanya menyetir. Payung hitam bermotif bunga sakura bersandar di jok belangan. Semua membisu. Hanya lantunan musik klasik dari musik player yang mengisi kekosongan ini.

"Kau tidur saja, Rhe. Nanti pulangnya kita gantian!" begitu ucap Uut. Kemudian Rhea menyandarkan kepala, membenarkan sudut kelandaian jok dan mulai memejamkan mata. Meski begitu, Uut menangkap gerak-gerak tak nyaman Rhea. Sepertinya, Rhea masih terbayang sepenggal perjalanan hidupnya, semalam.

Sampai di pecinan, Uut menghentikan Vannya di toko penjual alat sembahyang agama Konghuchu. Uut meminta dua buah lampion warna merah. Rhea masih tertidur di dalam Van.

"Anak muda, aku menangkap aura tak baik membayangimu," ucap lelaki yang seluruh kepalanya dipenuhi uban itu ketika menerima uang pembayaran dari Uut.

"Ah, Bapak bisa saja."

"Ayayaya… Ah Kung ini tau makhluk halus. Hati-hatilah, malam ini malam para arwah dibebaskan dari 'dunia bawah' untuk 'bermain' ke dunia manusia." Lalu dia berbicara panjang lebar seperti yang dikatakan Kiki.

"Kamsia, Kung!"

Lelaki itu terus menatap mobil Van yang membawa Uut pergi. Mungkin dia heran masih ada yang mengucapkan sepatah kata bahasa asli leluhurnya.

***

Maghrib baru saja selesai. Motor yang dibawa Awwan dan Ira akhirnya masuk wilayah Semarang. Dalam hitungan menit, anggota KPK yang terbagi dua kelompok karena urusan pribadi itu bersatu kembali. Awwan menawarkan nasi kucing kepada rekan-rekannya yang tadi sempat dibeli di angkringan pinggir jalan untuk makan malam.

Malam itu, bulan hampir sempurna. Namun, langit tertutup mendung tipis. Sebentar-sebentar bulan melongok dari celah-celah mendung yang bermain petak umpet saat ditiup angin. Uut menggenggam gagang payung hitam nan jadul yang masih terkatup itu dengan kuat, seolah-olah dia takut ada yang merebut dari genggamannya. Misi Uut berada di pecinan ini pun sudah diketahui seluruh anggota KPK. Sebagai rasa solidaritas, semua memahfumi tindakan Uut meski Ira terlihat mencengkram tangan Awwan dengan kencang. Takut.

Di salah satu sudut pecinan Semarang yang baru mereka kunjungi dua kali, di tempat yang menurut feeling Uut adalah 'tempat aman', mereka merapatkan barisan. Pukul 8 malam lebih 8 menit dan 8 detik, payung hitam di tangan Uut dibuka. Semua tak bisa melihat makhluk dunia lain itu kecuali Uut.

"Uut, terimakasih atas semuanja. Saja akan kembali. Senang sekali mengenal orang seperti Anda. Katakan kepada teman-teman Anda agar mereka tak perlu takut kepada makhluk seperti saja tapi takutlah kepada pentjipta makhluk-makhluk itu. Pada dasarnja, kaum 'dunia bawah' tidak akan mengganggu manusia jika manusia tak mengganggunja. Jagalah keseimbangan, balance-kan hidup. Maka kau akan sehat dan bahagia," ucap Kiki panjang lebar sebagai tanda perpisahana.

"Kiki, ini lampion terakhir yang kau. Damailah di tempatmu," balas Uut. Namun, di mata tiga rekannya, Uut malah seperti orang gila yang berbicara sendiri

Maka, dengan bantuan Awwan, Uut menyalakan lilin yang berada di tatakan kawat pada bagian bawah lampion kertas itu. Pelan, bersama hembusan sang bayu, dua lampion itu terayun-ayun di dua tangan Kiki. Bagi rekan Uut, lampion itu seperti melayang-layang. Ira langsung lemas medapati hal itu benar-benar terjadi dalam hidupnya di mana selama dia hanya mendengar cerita saja dari Uut.

Bulan yang tadi hanya mengintip malu-malu, kini seutuhnya tertutup oleh mendung. Dua lampion itu seolah menerangi perjalanan pulang Kiki. Semakin menjauh, semakin hilang kelipnya.

Mereka berempat segera membalikan badan. Tiba-tiba… Whushh, angin kencang menerpa mereka. Dingin, dingin sekali. Tiga sosok berhenti tepat berhadapan dengan Uut dkk_meski hanya Uut saja yang mampu melihat sosok tadi.

"Siapa kalian, lepaskan Kiki," teriak Uut ketika mendapati seorang dari sosok itu adalah Kiki. Dia disandera makhluk berwajah mengerikan. Wajah makhluk tinggi besar itu berwarna hijau pucat, dua lubang hidung ada di jidat, salah satu mata ada di posisinya tapi dengan alis di bawah mata sedang mata satunya berisi telinga. Lidahnya menjulur, panjang hingga bawah janggut. Itu pun penuh dengan lendir ludah. Pakainnya seperti film-film China tempo dulu. Ketiga rekan Uut makin bingung dengan apa yang terjadi.

"Siapa, Ut? Bukannya Kiki udah pergi, siapa yang kau maksud?" tanya Rhea. Uut tak menggubris.

"Lepaskan, Kiki." Kali ini nada suara Uut naik satu oktaf. Ira yang memang penakut hanya komat-kamit membaca ayat kursi dan doa-doa harian yang dia bisai sembari menggenggam lengan Awwan.

"Uut, tolong saja!" pekik Kiki.

***

Peristiwa di pecinan beberapa waktu lalu memang membuat Uut terpukul. Dia tak mampu menolong Kiki. Entahlah. Dia juga tak faham dengan apa yang sebenarnya terjadi. Rekan-rekan Uut juga tak bisa membantu lantaran mereka tidak bisa melihat secara langsung, hanya 'getaran' atau feeling keberadaan 'makhluk lain' itu saja yang hadir di dekat mereka.

Tiap ada kesempatan ke Semarang, dia selalu berhenti sejenak di depan toko milik Ah Kung, tempatnya membeli lampion untuk Kiki tanpa turun dari kendaraan. Setelah diamati dengan cermat, toko itu tak hanya menjual peralatan sembahyang saja tetapi juga menjual aneka barang khas China. Termasuk amplop angpao, aneka lampion yang berbahan dasar kertas dan plastik, tinta berikut kertas dan pena untuk menulis aksara China, dan lainnya. Warna paling mencolok di sana adalah merah dan kuning/ emas.

Anehnya, setiap kali melihat toko itu Uut seperti tertarik suatu magnet. Seperti hari ini, tiba-tiba ada dorongan di hatinya untuk membeli lampion.

"Siang, Kung!" sapa Uut pada lelaki tua itu.

"Ayayaya … selamat siang anak muda."

"Saya perlu lampion merah, satu."

Lelaki tua itu segera mengambil barang yang dibutuhkan Uut. Tiba-tiba dari dalam muncul seorang gadis yang wajahnya sangat tidak asing di otaknya. Kiki? Bagaimana Kiki berada di sini, siang hari pula? Gadis itu membantu Ah Kung yang mengambil lampion di rak atas.

"Kiki?" reflek, Uut berteriak. Gadis itu menatap Uut cuek lalu kembali ke dalam. Ah Kung malah tertarik dengan panggilan itu. "Maaf, Kung."

Uut pun menceritakan tentang Kiki dan mengapa tiba-tiba wajahnya melekat pada orang-orang baru yang Uut temui. Juga alasan dia membeli lampion pertama waktu itu (yang ternyata Ah Kung sudah lupa!) Dia pun menanyakan, siapa gadis tadi. Benar dugaan Uut bahwa dia cucu Ah Kung. Ah, kisah yang sudah bisa ditebak.

Uut pun pamit dan melaju motornya di kuburan pecinan, mencari makam Wang Hai Ki. Lalu Uut menyalakan Lampion di dekat pusara itu di tengah panasnya terik mentari. Sepertinya lama sekali makam ini tak di urus, batin Uut. Tapi dengan begitu, nuansa astistinya jadi terasa dan nuansa megisnya pun kentara, begitu perang batin seorang seniman cahaya.

***

Matahari sudah condong setinggi sepenggalah di ujung barat. Sebentar lagi lukisan senja akan digelar di langit. Uut hanya ingin menenangkan diri, mencoba menghapus bayang terakhir wajah memelas Kiki yang disandera makhluk itu. Memang hanya buang waktu bila memikirkan hal ini terus menerus, tapi yang paling utama adalah me-refresh otaknya yang susah konsentrasi. Sehingga dia mampet ide dan mampet kreatibitas.

Di tengah asiknya membidikkan kamera ke arah bangunan yang berarsitektur unik berlatar langit senja biru yang mulai bersemburat senja, dari lubang 'teropong'nya, Uut menangkap ada yang tak beres di atap gedung mall berlantai 6. Dia zoom lensanya hingga menangkap sosok itu meski tak terlalu jelas. Sembari melihat ke atap mall, Uut mencari juru keamanan.

Dikataknnya kalau dia melihat seseorang ada di lantai paling atas mall tersebut. Entah bagaimana ada sosok di atas gedung itu sedang duduk menggantungkan kaki-kakinya pada dinding. Digoyang-goyangkan pula kakinya seperti main ayunan saja. Petugas keamanan langsung woro-woro memakai walkie-talkienya untuk mencari jalan keluar tantang masalah di lantai 6.

Uut kembali ke posisi terbaik, aman dan leluasa mengawasi apa yang terjadi melalui lubang jepret. Dari lubang itu pula, Uut melihat sosok itu seperti melakukan dialog dengan orag di belakangnya karena melihat posisi duduknya yang masih sama tetapi kepalanya menoleh ke kanan. Lama, lumayan lama!

Hingga akhirnya,

"Tiuuunggg… Bhummm!" terdengar bunyi debaman.

***

Setelah sekian detik seperti kaset yang di-pause, kini perjalanan hidup di-play lagi. Pelataran mall hiruk pikuk. Darah mrembes ke mana-mana. Pihak keamanan segera mengambil tindakan menjauhkan oang-orang yang ingin melihat sosok bersimbah darah itu termasuk Uut.
Bukan, sama sekali bukan untuk mencari sensasi berita atau gambar. Lagi-lagi indera keenam Uut yang mendadak tajam setelah bertemu Kiki itu terdorong hatinya karena mendeteksi sesuatu tidak 'klik' di sana.
Betapa kagetnya hati Uut ketika dari balik 'teropong' lensanya dia menemukan wajah Kiki, lag! [Nana / Tionghoanews]

Tamat .. !

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA