Di sebuah rumah petak, seorang wanita tua bersama anak lelaki sekitar usia 8 tahunan, sibuk menata ember di beberapa sudut rumah tersebut sebagai tadah bocor. Dialah Nenek Warti, nama aslinya Lioe Chang Yi. bersama seorang cucunya Andi. Itulah yang mereka lakukan jika musim penghujan tiba.
Warti, wanita ini telah bertahun-tahun hanya hidup berdua dengan sang cucu. Dulunya ia memiliki seorang suami yang juga seorang warga keturunan Tionghoa. Dulu ia juga kerap merayakan imlek bersama keluarga kecilnya. Namun semenjak mendiang suaminya meninggal akibat keberingasan masa dalam tragedi 1998, ia hanya merayakan di sebuah vihara kecil di ujung gang. Bersama warga lainnya. Selain suaminya, anak laki-lakinya pun turut menjadi korban dalam tragedi berdarah tersebut. Sebuah tragedi yang sangat mencoreng bangsa ini..!!! Ia telah kehilangan dua orang yang dicintainya secara bersamaan. Dan ia, tak memiliki sanak saudara di negeri ini.
Kembali ia teringat kenangan masa lalu. Dibakarnya toko yang mereka miliki, yang di rintis oleh mendiang suami dari nol. Hancur lebur tak tersisa pagi itu, tinggal puing-puing bekas pembakaran masa yang tersisa, bersama jasad suami dan anaknya di antara asap hitam yang membubung. Dan TIDAK ADA yang BERTANGGUNG JAWAB. Ia hanya sanggup berteriak histeris di antara hitamnya debu kala itu. Di antara teriakan - teriakan kasar dari manusia yang tak memiliki hati nurani.
Namun hidup harus terus berjalan. Ia bersama anak perempuanya, Weni, yang kala itu masih berusi 15 tahun, memulai lembaran baru di sebuah rumah petak nan sempit. Dan sembilan tahun lalu, anak perempuanya menikah, namun sang putri harus rela di tinggalkan orang yang ia cintai, kehidupan yang serba sulit, mungkin itulah yang membuat suami dari Weni memilih pergi tanpa meninggalkan pesan apapun.
Hanya meninggalkan seorang anak laki - laki, dialah Andi, cucu yang saat ini hidup bersamanya. Teman suka dan duka. Seorang anak yang belum mengerti akan pahitnya hidup.
Kehidupan yang serba sulit, membuat anak perempuanya yang telah menjanda memilih menjadi TKI di negeri tetangga sekitar 3 tahun lalu. Tak pernah ia dengar kabar dari sang putri semenjak ia pergi. Berharap ekonomi akan lebih baik, dengan mengadu nasib di negeri tetangga, justru sebuah kabar duka yang ia terima sekitar dua tahun lalu. Weni, sang putri, di kabarkan meninggal di rumah sang majikan akibat sakit.
Sayangnya permintaanya kepada pemerintah untuk meminta jasad sang putri untuk di pulangkan tak di dengar. Selalu ada saja alasan. Dan ia hanya bisa pasrah. Belajar merelakan semuanya.
Rintik hujan mulai reda, nenek Warti dan sang cucu terlihat lega. Tak lagi ia repot kebocoran. Atap rumah yang sudah bolong di sana sini memang tak lagi layak, sayangnya ia tak mampu berbuat banyak. Pekerjaan sehari - harinya sebagai tukang cuci, hanya mampu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Seharusnya, setua itu tidaklah lagi bekerja, hanya saja perut juga butuh makan. Dan untungnya, masih ada orang yang mau memakai tenaga tuanya.
Kini keduanya duduk di sebuah sudut yang terbebas dari bocor. Wanita itu mengelus kepala sang cucu.
"Andai saja kakek kamu masih ada. Andai saja tragedi itu tak pernah terjadi. Andai saja toko itu masih selamat…. Mungkin kehidupan kita jauh lebih baik. Tak perlu repot menadahi air hujan di kala bocor…" Wanita tua itu membatin.
"Kebanyakan orang bilang. Orang Cina itu kaya. Mereka tak pernah melihat di ujung gang nan sempit ini. Mereka tak pernah melihat. Di bantaran kali ini. Bahkan kebanyakan keberadaaan kami tak di akui. KTP pun susah di dapati". Batinnya lagi.
Hari kian beranjak malam. Bau air kali di belakang rumahnya mulai menusuk hidung. Baginya, ini sudah menjadi hal biasa.
Andi sang cucu sudah tertidur pulas. Wanita itu keluar rumah, menyalakan hio di sudut kanan rumah petaknya.
Sembahyang yang ia jalani secara rutin. Bukan… Bukan untuk meminta kekayaan, ia hanya bersyukur kepada sang pemberi hidup, bahwa ia masih di beri kesempatan menikmati hidup hingga detik ini.
Beberapa menit berlalu, ia kembali ke dalam rumah. Duduk di samping Andi sang cucu yang telah terlelap . Ia mengelus kepala bocah tersebut.
Sore tadi, sang cucu merengek kepadanya. Minta dibelikan baju baru untuk perayaan imlek. Menurut tradisi, memang pada hari imlek harus mengenakan baju baru. Tahun naga air, menurut orang harus mengenakan baju berwarna terang, sebagai penyeimbang dari sifat air.
Pasar malam di ujung jalan masih ramai, wanita itu hendak ke sana sebentar, meninggalkan cucunya sendirian di rumah.
Ia beranjak menuju lemari tua, di sanalah ia menyimpan sedikit uang yang di berikan sang majikan siang tadi sebagai THR menjelang hari raya imlek.
Baru juga hendak membuka lemari yang tanpa kunci, seseorang mengetuk pintu rumahnya yang sunyi. Mungkin saja petugas vihara yang membagikan sembako menjelang hari raya. Pikirnya. Ia beranjak menuju ke depan.
Memutar anak kunci dan membuka pintunya. Wanita ini mendadak pucat dan mundur selangkah melihat seseorang yang tengah berdiri di depannya, dengan baju serba merah.
"Kaukah yang datang anakku???" Tanyanya gugup. Arwah sang anak menjenguk keluarganya menjelang imlek, mungkin saja.
Weni. Sang putri yang telah meninggal itu kini berdiri di hadapannya.
"Mama… " Sang putri sontak memeluknya dengan isak tangis di bahunya.
"Maafkan Weni yang tak pernah memberikan kabar. Hingga di kabarkan meninggal…" Isaknya.
Wanita itu tak bisa menahan emosi. Tangisnya tumpah. Bukankah kebenaran itu akan terlihat? Tuhan telah mengembalikan anaknya dalam keadaan sehat. (*)