Seperti biasa yang dilakukan orang yang jarang bertemu, kami bertanya kabar masing-masing. Sampai kemudian berbicara soal anak-anak kami. Teman saya kawin muda, lulus kuliah langsung menikah dan tak seberapa lama memiliki anak. Alhasil anak-anaknya sekarang sudah besar-besar. Dari tiga anaknya, yang terkecil sudah kelas 2 SMP.
"Saya dulu bangga memiliki anak yang mandiri. Saya dan istri pun bisa mengembangkan karir kami semaksimal mungkin. Namun, sekarang kami menyadari bahwa kebanggan itu tak berarti banyak. Kami menjadi kesepian ketika karier seperti sudah mentok," begitu awal keluh kesahnya.
Ketika ia bertanya-tanya soal anak-anakku dan kegiatan yang aku lakukan, ia menjadi iri dengan apa yang aku lakukan. "Yah, kamu beruntung masih bisa mengantar anak ke sekolah. Kegiatan sepele yang sekarang aku sesali," katanya sedih.
"Mengapa?" spontan aku bertanya.
"Saya sebenarnya bisa saja meluangkan waktu yang hanya sekitar 15 menit itu untuk mengantar anak-anakku ke sekolah. Namun aku merasa waktuku lebih penting. Aku lalui saat mereka pergi dengan membaca koran atau mengecek jadwal kerja. Padahal, berapa lama sih 15 menit itu? Pada waktu yang pendek itu aku sebenarnya bisa mengenal anak-anakku. Bisa mengetahui kegemaran mereka, mendengarkan kebandelan teman-temannya. Merasakan pelukan mereka."
Anak-anaknya temanku itu memang dididik untuk mandiri sejak kecil. Alhasil, mereka pun bisa memesan ojek sendiri untuk ke sekolah. Pertemuan dengan orangtuanya paling di akhir pekan yang tak jarang terganggu oleh kesibukan mereka mengejar posisi di perusahaan. Semua dilakukan agar anak-anaknya bahagia. Bahagia oleh kelimpahan materi. Namun kedekatan antarmereka sangat kurang.
"Sekarang anakku yang terkecil sudah mau minta pindah sekolah ke luar negeri. Aku tak bisa menolaknya karena memang mereka tak membutuhkan kehadiran kami. Padahal, saya berharap si bungsu mau sekolah di sini. Menemani kami berdua," tak terasa air mata temanku menetes.
Ya, saya bisa mengerti betapa sedihnya mereka. Dulu waktu semasa kuliah kami selalu dekat dengan anak-anak. Kami membuka bimbingan belajar buat anak-anak tak mampu di seputaran kampus.
"Saya baru menyadari, betapa berharganya waktu 15 menit itu. Seandainya dulu saya mau meluangkan waktu itu untuk mengantar anak-anak, tentu mereka masih mau berpikir untuk memberikan kebersamaan," kata temanku lirih. [Merry Huang / Menado]