Ayah yang dulu kukenal sebagai seorang figur yang lembut dan penyayang kini berubah menjadi seorang ayah yang keras. Raut wajahnya tak lagi menampakan wajah yang bijaksana setiap kali bertatap muka dengan beliau.
Kini yang sering kulihat hanyalah guratan-guratan kemarahan dan angkara yang membuat kita anak-anaknya tak lagi berani menggaet tangannya untuk mengajaknya bercanda dan tertawa bersama.
Ibu yang kini lebih banyak diam mencoba menyembunyikan luka di hatinya. Luka lebam di badannya tak lagi seperih luka di hatinya. Mungkin aku bisa mengatakan bahwa Ayah bukanlah Ayahku yang dulu.
Entah mengapa beliau suka sekali memukul ibuku setiap kali pulang dari kerja. Kerja serabutan yang kini dijalani Ayah mungkin menjadi salah satu faktornya mengapa Ayah bisa bersikap demikian.
Lingkungan kerja di kalangan kuli yang kasar juga sangat mempengaruhi otak dan psikologis Ayahku.
Kata-katanya sangat kasar dan tingkah lakunya pun tak berbeda jauh dari kata-kata kasarnya. Terlebih lagi dengan kondisi ekonomi keluarga kami yang kini sedang morat-marit membuat Ayahku semakin emosi.
Bukannya lebih mendekatkan diri dan bertawakal pada Tuhan agar diberi jalan keluar yang terbaik, Ayah malah jauh dari Tuhan. Kerjaannya hanya berkumpul dengan teman-teman sebayanya yang tak jelas itu.
Pernah suatu malam, aku dan adik-adiku dikejutkan dengan suara rebut di ruang dapur sederhana rumah kami. Tak salah lagi. Dan benar prediksiku. Ayah murka lagi.
Jika Ayah sudah murka, tak ada lagi kedamaian di rumah kami. Perabot rumah sudah sangat biasa menjadi sasarannya. Namun yang paling tidak bisa diterima adalah perlakuan kasar Ayah sangat menyengsarakan ibu.
Timpaan pukulan yang membabi buta tak henti-hentinya dilayangkan ke wajah ibu yang sudah memar.
Belum sembuh luka lebam akibat tamparan Ayah kemarin kini ditambah lagi pukulan yang keras yang tepat ditujukan ke wajah ibu.
Aku pun menangis melihatnya dan berusaha menghentikan Ayah yang kini nampaknya menjadi gila. Ternyata bantuanku tak membuahkan hasil.
Ibuku masih saja diperlakukan tidak manusiawi oleh Ayah. Cercaan dan makian yang diarahkan untuk ibuku kini terlontarkan dar mulut Ayahku.
Aku salut dengan kesabaran ibuku. Dengan luka lebam yang kini membekas di wajahnya tak memperlihatkan sedikit pun rasa benci untuk Ayah. Baginya Ayah tetaplah Ayah.
Ayah yang telah menemani hidupnya. Ayah sebagai pria yang sudah memberinya anak-anak seperti kami. Beberapa hari setelah kejadian itu, Ayah hanya diam di tempat tidurnya.
Ibu pun heran, setiap kali ibu menanyakan kabar Ayah, Ayah selalu diam tak merespon. Yang kami lihat hanyalah guratan kesedihan yang kini sedang menghinggapi Ayah.
Ternyata sehari setelah kejadian Ayah memukuli Ibu ayah tiba-tiba terhuyung dan jatuh seketika. Petugas puskesmas pun menvonis bahwa Ayah terkena stroke dan dinyatakan lumpuh total. Betapa kagetnya kami saat itu.
Kini keadaan Ayah sangat memprihatinkan. Beliau hanya bisa terbaring lemas tanpa daya karena semua anggota tubunhya lumpuh total. Ibuku sangat luar biasa.
Beliau sabar dan sangat ikhlas dengan kondisi Ayah yang tak berdaya itu. Dengan tulus ibu merawat ayah dengan penuh kasih sayang tanpa menghiraukan kekasaran-kekasaran yang dulu pernah dilakukan oleh Ayah.
Yang ada di benak ibu saat ini hanyalah merawat Ayah dengan penuh cinta selama masih diberi kesempatan. Kini aku tahu apa cinta sejati itu sebenarnya. Cinta sejati adalah cinta yang tidak mengenal dendam. [Vivi Tan / Jakarta]
Kini yang sering kulihat hanyalah guratan-guratan kemarahan dan angkara yang membuat kita anak-anaknya tak lagi berani menggaet tangannya untuk mengajaknya bercanda dan tertawa bersama.
Ibu yang kini lebih banyak diam mencoba menyembunyikan luka di hatinya. Luka lebam di badannya tak lagi seperih luka di hatinya. Mungkin aku bisa mengatakan bahwa Ayah bukanlah Ayahku yang dulu.
Entah mengapa beliau suka sekali memukul ibuku setiap kali pulang dari kerja. Kerja serabutan yang kini dijalani Ayah mungkin menjadi salah satu faktornya mengapa Ayah bisa bersikap demikian.
Lingkungan kerja di kalangan kuli yang kasar juga sangat mempengaruhi otak dan psikologis Ayahku.
Kata-katanya sangat kasar dan tingkah lakunya pun tak berbeda jauh dari kata-kata kasarnya. Terlebih lagi dengan kondisi ekonomi keluarga kami yang kini sedang morat-marit membuat Ayahku semakin emosi.
Bukannya lebih mendekatkan diri dan bertawakal pada Tuhan agar diberi jalan keluar yang terbaik, Ayah malah jauh dari Tuhan. Kerjaannya hanya berkumpul dengan teman-teman sebayanya yang tak jelas itu.
Pernah suatu malam, aku dan adik-adiku dikejutkan dengan suara rebut di ruang dapur sederhana rumah kami. Tak salah lagi. Dan benar prediksiku. Ayah murka lagi.
Jika Ayah sudah murka, tak ada lagi kedamaian di rumah kami. Perabot rumah sudah sangat biasa menjadi sasarannya. Namun yang paling tidak bisa diterima adalah perlakuan kasar Ayah sangat menyengsarakan ibu.
Timpaan pukulan yang membabi buta tak henti-hentinya dilayangkan ke wajah ibu yang sudah memar.
Belum sembuh luka lebam akibat tamparan Ayah kemarin kini ditambah lagi pukulan yang keras yang tepat ditujukan ke wajah ibu.
Aku pun menangis melihatnya dan berusaha menghentikan Ayah yang kini nampaknya menjadi gila. Ternyata bantuanku tak membuahkan hasil.
Ibuku masih saja diperlakukan tidak manusiawi oleh Ayah. Cercaan dan makian yang diarahkan untuk ibuku kini terlontarkan dar mulut Ayahku.
Aku salut dengan kesabaran ibuku. Dengan luka lebam yang kini membekas di wajahnya tak memperlihatkan sedikit pun rasa benci untuk Ayah. Baginya Ayah tetaplah Ayah.
Ayah yang telah menemani hidupnya. Ayah sebagai pria yang sudah memberinya anak-anak seperti kami. Beberapa hari setelah kejadian itu, Ayah hanya diam di tempat tidurnya.
Ibu pun heran, setiap kali ibu menanyakan kabar Ayah, Ayah selalu diam tak merespon. Yang kami lihat hanyalah guratan kesedihan yang kini sedang menghinggapi Ayah.
Ternyata sehari setelah kejadian Ayah memukuli Ibu ayah tiba-tiba terhuyung dan jatuh seketika. Petugas puskesmas pun menvonis bahwa Ayah terkena stroke dan dinyatakan lumpuh total. Betapa kagetnya kami saat itu.
Kini keadaan Ayah sangat memprihatinkan. Beliau hanya bisa terbaring lemas tanpa daya karena semua anggota tubunhya lumpuh total. Ibuku sangat luar biasa.
Beliau sabar dan sangat ikhlas dengan kondisi Ayah yang tak berdaya itu. Dengan tulus ibu merawat ayah dengan penuh kasih sayang tanpa menghiraukan kekasaran-kekasaran yang dulu pernah dilakukan oleh Ayah.
Yang ada di benak ibu saat ini hanyalah merawat Ayah dengan penuh cinta selama masih diberi kesempatan. Kini aku tahu apa cinta sejati itu sebenarnya. Cinta sejati adalah cinta yang tidak mengenal dendam. [Vivi Tan / Jakarta]