Mungkin memang ini sudah menjadi kehendak-Nya. Nasibku memang sangat tidak beruntung. Bagaikan jatuh tertimpa tangga pula. Memang kisah tragis ini dimulai dari kesalahanku sendiri.
Berawal dari sifat bandelku di masa SMA dulu dimana aku terjerumus kedalam dunia bebas. Karena usiaku yang masih terbilang sangat muda sangat rawan dengan pergaulan anak muda yang sedikit tidak baik.
Karena aku masih labil dan masih belum mempunyai pendirian yang kuat, ajakan sana sini dari teman-teman SMA pun aku ikutin.
Beberapa kali orang tua sudah melontarkan nasihat mulai dari cara halus hingga cara yang kasar pun tak mempan di kupingku. Akibat menyepelekan nasihat orang tua, Tuhan pun memberiku hukuman.
Sebuah hukuman yang akan menjadi pengalaman yang paling berharga buatku. Sebuah janin kini melekat di rahimku. Ganjaran dan sekaligus anugerah bagiku.
Setelah janinku berusia empat bulan, orang tuaku tahu dan sungguh marah tak kepalang. Ayahku yang notabene memiliki watak yang sangat keras tak segan-segan mengusirku dari rumah. Ibuku tak berdaya menghentikan kemurkaan ayahku.
Aku hanya pasrah dan manut dengan perintah Ayah karena memang aku harus bisa menanggung kesalahan yang sudah aku buat sendiri. Dua bulan sudah aku tinggal di kos bersama temanku.
Setiap hari aku harus bekerja menjadi seorang kasir di supermarket kecil di kota Semarang. Dengan penghasilan yang seadanya aku berusaha mencukupi kebutuhanku sendiri dan kebutuhan anakku kelak. Rupiah demi rupiah aku tabung untuk biaya makan dan biaya persalinanku besok.
Kini tidak ada waktu lagi untuk bermain dan bersantai seperti dulu waktu masih di rumah. Terkadang aku sangat rindu dengan belaian ibu yang membelai lembut rambutku setiap kali ingin tidur.
Rindu dengan masakan rumah dan sangat kangen dengan kebersamaan bersama ibu dan ayah di rumah. Hidupku kini sendiri dan harus mandiri. Bahkan besok aku harus mampu menghidupi si jabang bayi jika nanti sudah lahir.
Karena sibuk dengan pekerjaan kasirku di supermarket, tak terasa kini usia kandunganku sudah 9 bulan. Sebentar lagi kau akan lahir, Nak, ujarku dalam hati. Walupun dia akan dilahirkan dengan status tanpa ayah, tapi aku sangat menyayanginya.
Dialah satu-satunya orang yang akan menemaniku dalam suka dan duka. Tak peduli apakah kedua orang tuaku akan membenciku dan membenciku anakku, tapi yang jelas aku sebagai seorang ibu akan selalu menyayangi anakku apa pun kondisinya. Suatu hari aku merasakan mulas yang sangat luar biasa.
Dengan sigap teman kosku membawaku ke puskesmas terdekat. Tak lama aku berjuang antara hidup dan mati, akhirnya anakku terlahir di dunia ini. Berjenis kelamin laki-laki dan berkulit putih kata sang bidan.
Perasaanku pecah dan membuncah kemana-mana ketika mendengar anakku menangis seakan memberikanku semangat baru untuk menjalani hidup. Seusai bidan memberishkannya, dia membaringkan bayi mungilku disampingku.
Kutatap wajahnya dan tak terasa air mataku pun berlinang dan jatuh. Pada saat itu yang kupikirkan hanya satu Alangkah bahagianya dulu ibuku pada saat melahirkan aku ke dunia ini.
Alangkah bangganya ayah ketika mengumandangkan suara adzan di telingaku agar kelak aku akan menjadi anak yang solehah dan berguna bagi kedua orang tua, agama, dan bangsa. Namun aku sudah meruntuhkan semuanya. Semuanya hilang dan tak bisa kembali lagi. Sekali lagi yang timbul hanya penyesalan yang tidak bisa disalahkan lagi.
Kini enam tahun sudah aku hidup sederhana bersama Satria, anakku, yang kini berusia 5 tahun. Terkadang dia sering sakit-sakitan dan harus dirawat di puskesmas terdekat. Gejala aneh yang menghinggapi Satria membuatku terdorong untuk memeriksakannya ke rumah sakit besar.
Dengan wajah shock dan sedih, aku menerima kenyataan bahwa Satria kini mengidap penyakit Leukimia alias kanker darah stadium 3. Satria harus memperoleh perawatan medis secara intensif. Tentu aku sangat bingung karena harus mengeluarkan biaya yang sangat besar.
Tuhan memang Maha Penyayang dan Penolong. Ayah dan Ibu tiba-tiba datang dan memelukku dengan erat. Mereka berjanji akan membantuku merawat anak semata wayangku.
Mereka juga berjanji akan membiayai semua perawatan dan pengobatan Satria hingga sembuh. Kasih sayang orang tua memang tak akan pernah bisa putus untuk anaknya. Sudah lama ayah dan ibu memaafkan semua kesalahanku dan berharap aku akan kembali ke pelukan sang ayah dan ibu yang hangat. [Vivi Tan / Jakarta]
Berawal dari sifat bandelku di masa SMA dulu dimana aku terjerumus kedalam dunia bebas. Karena usiaku yang masih terbilang sangat muda sangat rawan dengan pergaulan anak muda yang sedikit tidak baik.
Karena aku masih labil dan masih belum mempunyai pendirian yang kuat, ajakan sana sini dari teman-teman SMA pun aku ikutin.
Beberapa kali orang tua sudah melontarkan nasihat mulai dari cara halus hingga cara yang kasar pun tak mempan di kupingku. Akibat menyepelekan nasihat orang tua, Tuhan pun memberiku hukuman.
Sebuah hukuman yang akan menjadi pengalaman yang paling berharga buatku. Sebuah janin kini melekat di rahimku. Ganjaran dan sekaligus anugerah bagiku.
Setelah janinku berusia empat bulan, orang tuaku tahu dan sungguh marah tak kepalang. Ayahku yang notabene memiliki watak yang sangat keras tak segan-segan mengusirku dari rumah. Ibuku tak berdaya menghentikan kemurkaan ayahku.
Aku hanya pasrah dan manut dengan perintah Ayah karena memang aku harus bisa menanggung kesalahan yang sudah aku buat sendiri. Dua bulan sudah aku tinggal di kos bersama temanku.
Setiap hari aku harus bekerja menjadi seorang kasir di supermarket kecil di kota Semarang. Dengan penghasilan yang seadanya aku berusaha mencukupi kebutuhanku sendiri dan kebutuhan anakku kelak. Rupiah demi rupiah aku tabung untuk biaya makan dan biaya persalinanku besok.
Kini tidak ada waktu lagi untuk bermain dan bersantai seperti dulu waktu masih di rumah. Terkadang aku sangat rindu dengan belaian ibu yang membelai lembut rambutku setiap kali ingin tidur.
Rindu dengan masakan rumah dan sangat kangen dengan kebersamaan bersama ibu dan ayah di rumah. Hidupku kini sendiri dan harus mandiri. Bahkan besok aku harus mampu menghidupi si jabang bayi jika nanti sudah lahir.
Karena sibuk dengan pekerjaan kasirku di supermarket, tak terasa kini usia kandunganku sudah 9 bulan. Sebentar lagi kau akan lahir, Nak, ujarku dalam hati. Walupun dia akan dilahirkan dengan status tanpa ayah, tapi aku sangat menyayanginya.
Dialah satu-satunya orang yang akan menemaniku dalam suka dan duka. Tak peduli apakah kedua orang tuaku akan membenciku dan membenciku anakku, tapi yang jelas aku sebagai seorang ibu akan selalu menyayangi anakku apa pun kondisinya. Suatu hari aku merasakan mulas yang sangat luar biasa.
Dengan sigap teman kosku membawaku ke puskesmas terdekat. Tak lama aku berjuang antara hidup dan mati, akhirnya anakku terlahir di dunia ini. Berjenis kelamin laki-laki dan berkulit putih kata sang bidan.
Perasaanku pecah dan membuncah kemana-mana ketika mendengar anakku menangis seakan memberikanku semangat baru untuk menjalani hidup. Seusai bidan memberishkannya, dia membaringkan bayi mungilku disampingku.
Kutatap wajahnya dan tak terasa air mataku pun berlinang dan jatuh. Pada saat itu yang kupikirkan hanya satu Alangkah bahagianya dulu ibuku pada saat melahirkan aku ke dunia ini.
Alangkah bangganya ayah ketika mengumandangkan suara adzan di telingaku agar kelak aku akan menjadi anak yang solehah dan berguna bagi kedua orang tua, agama, dan bangsa. Namun aku sudah meruntuhkan semuanya. Semuanya hilang dan tak bisa kembali lagi. Sekali lagi yang timbul hanya penyesalan yang tidak bisa disalahkan lagi.
Kini enam tahun sudah aku hidup sederhana bersama Satria, anakku, yang kini berusia 5 tahun. Terkadang dia sering sakit-sakitan dan harus dirawat di puskesmas terdekat. Gejala aneh yang menghinggapi Satria membuatku terdorong untuk memeriksakannya ke rumah sakit besar.
Dengan wajah shock dan sedih, aku menerima kenyataan bahwa Satria kini mengidap penyakit Leukimia alias kanker darah stadium 3. Satria harus memperoleh perawatan medis secara intensif. Tentu aku sangat bingung karena harus mengeluarkan biaya yang sangat besar.
Tuhan memang Maha Penyayang dan Penolong. Ayah dan Ibu tiba-tiba datang dan memelukku dengan erat. Mereka berjanji akan membantuku merawat anak semata wayangku.
Mereka juga berjanji akan membiayai semua perawatan dan pengobatan Satria hingga sembuh. Kasih sayang orang tua memang tak akan pernah bisa putus untuk anaknya. Sudah lama ayah dan ibu memaafkan semua kesalahanku dan berharap aku akan kembali ke pelukan sang ayah dan ibu yang hangat. [Vivi Tan / Jakarta]