Sejak itu kami berpacaran. Dua tahun kemudian Alan menyatakan ingin menikahiku. Tentu saja kabar gembira ini kusambut dengan antusias dan keluargaku menanyakan ke Alan kapan hari lamaran ditentukan. Alan mengatakan akan membicarakan hal ini dengan keluarganya untuk penentuan tanggal lamaran dan tanggal pernikahan. Keluargakupun bersiap-siap menabung untuk biaya pernikahan, karena keluarga kami bukan dari keluarga yang berkecukupan maka pernikahan akan dilangsungkan dengan sederhana saja.
Singkat cerita, aku akhirnya menikah dengan Alan. Tapi aku memang sudah merasakan ketidaksukaan kakak-kakak perempuannya kepadaku sejak lamaran. Tatapan mata mereka tak ramah dan tak bersahabat. Aku hanya diam menerima perlakuan ini. Kupikir lambat laun hubungan kami akan menjadi lebih baik.
Ternyata dugaanku salah, makin lama perlakuan kakak iparku makin menjadi-jadi, aku kerap didiamkan, tidak diajak bicara bila kami berkumpul di acara keluarga. Aku diasingkan, hingga hanya Alan saja yang berbicara padaku. Kutanyakan perihal ini kepada Alan, apakah salahku hingga aku diperlakukan seperti ini oleh kakaknya. Alan diam saja dan memintaku untuk melupakan saja kejadian itu. Aku tetap berusaha mengalah dan mendekati kakak iparku terus, agar aku dapat segera diterima menjadi keluarga besarnya.
Hingga suatu hari dalam sebuah perhelatan di rumah saudara, kembali aku diperlakukan buruk. Salah satu kakak Alan sengaja menumpahkan soto di atas bajuku. Aku menjerit kaget karena panas kuah soto itu menyengat di kulitku. Alan berlari membantuku, tapi kakak-kakaknya malah tertawa sinis melihatku, bahkan terdengar suara nyaring berteriak, "Ketumpahan soto aja jerit-jerit, dasar orang kampung!". Telak bentakan itu menghujamku. Aku sedih sekali. Penolakan itu lantaran aku orang kampung. Keluarga Alan memang kaya dan terpandang. Sejak itu, aku tak lagi pergi menghadiri acara-acara keluarga. Aku di rumah saja, sementara Alan sering pergi sendiri untuk datang di acara keluarganya.
Suatu sore, saat gema magrib masih berkumandang, aku melihat ada yang bergerak-gerak di atas kasurku. Kudekati tempat tidurku dan langsung berteriak keras memanggil Alan. Kutemukan ribuan ulat menggeliat-menggeliat di seluruh ranjangku. Alan segera mengambil sapu dan memukul-mukul ulat tersebut hingga mati semua. Kami saling berpandangan tak tahu harus berbuat apa.
Seminggu setelah kedatangan ulat, kembali kejadian aneh menimpa rumahku. Ribuan lalat hijau mendadak beterbangan di dalam rumah dengan dengungan nyaring berpencar kesana kemari. Kami memukul lalat-lalat itu sebisa kami sambil terus-menerus menyerukan doa. Beberapa menit kemudian lalat itu hilang dengan sendirinya, entah kemana. Sejak itu kami terus saja memanjatkan doa agar diberi keselamatan, apalagi saat itu usia kehamilan anak pertamaku sudah memasuki enam bulan.
Bermacam keanehan terjadi di rumah kami, seperti ada yang mengetuk jendela kamar atau tiba-tiba ada burung besar masuk rumah dan masih banyak kejanggalan lainnya. Hingga akhirnya aku melahirkan anakku dengan selamat dan sehat.
Karena telah mempunyai anak, aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaan dan mencoba usaha dengan membuka restoran saja karena menurut suami dan teman-temanku masakanku enak. Maka aku menyewa ruko dekat komplek perumahan kami dan membuka restoran dengan menu khas dari daerah Sunda.
Entah, memang sudah rejeki atau apa, tiba-tiba saja restoranku menjadi ramai hingga aku harus cepat-cepat menambah pegawai dan peralatan makan karena pengunjung tak pernah berhenti mendatangi restoranku. Dengan cepat kami kembali modal malah keuntungan terus mengalir ke dompetku. Dua tahun kemudian, aku sudah dapat membeli rumah sendiri sekaligus mengganti mobil dengan keluaran terbaru. Tahun ketiga aku dan Alan menunaikan ibadah ke tanah suci.
Saat ulang tahun ke tiga restoranku, kuundang semua keluarga besar untuk datang dan menikmati sajian restoranku. Dan aku sangat bersyukur ketika kakak-kakak iparku ternyata hadir di acaraku tersebut. Aku langsung mencium tangannya dan berterima kasih mereka sudi datang. Aku telah melupakan kekasaran mereka dahulu. Yang mengagetkan, kakak-kakak iparku tersebut datang dengan angkutan umum sewaan. Kutanyakan ke Alan kemana mobil-mobil mereka? Alan menjawab singkat, "Dijual, buat sekolah anak karena suami-suami kakak kena PHK dari kantornya".
Rejekiku terus saja mengalir, maka mulai kubantu menyekolahkan anak kakak iparku dan sebagian lagi kupekerjakan di restoranku yang jumlahnya kini menjadi tiga. Dan sikap kakak iparku berubah menjadi sangat baik dan menghormatiku. Aku lega telah diterima di keluarga besar Alan.
Suatu hari, saat aku berkunjung ke rumah kakak ipar sambil membawa beras dan kebutuhan lainnya, tiba-tiba kakak iparku memelukku sambil menangis dan memohon-mohon maafku. Aku bingung tak memahami ucapannya yang diucapkannya sambil menangis keras. Kutenangkan kakak dan kuambilkan air agar ia segera tenang dan menceritakan apa yang terjadi. Kami duduk bersebelahan dan dari mulutnya meluncurlah pengakuannya bahwa ia merasa sangat berdosa karena dulu sering mendatangi dukun untuk mengguna-gunaiku agar berpisah dari Alan. Mereka malu mempunyai adik ipar keluarga miskin sekaligus berasal dari dusun kecil. Aku tersenyum dan sudah memaafkannya sejak lama. [Yanti Huang / Pontianak] Sumber: Lifestory
PESAN KHUSUS
Silahkan kirim berita/artikel anda ke ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
MENU LINKS
http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com