Hari pertama menjejak kantor baru, aku langsung merasa nyaman karena keramahan dari teman-teman di sekitarku. Hari itu aku belum berjumpa dengan direkturku karena ia sedang berdinas ke luar negeri. Tapi aku sudah mendapat tugas-tugas yang harus kukerjakan melewati sekretarisnya.
Dua minggu kemudian, seorang pria berwajah tampan berkacak pinggang di belakang kursiku sambil ikut memelototi tulisanku. Aku memutar tubuhku dan kutatap wajahnya, tanpa senyum. Mendadak pria itu menjulurkan tangannya seraya berkata, "Saya Burhan, kamu Tiwi, kan ?". Ternyata ia direkturku yang belum sempat kukenal karena perjalanan dinasnya.
Mas Burhan orang yang sangat pendiam dan berpenampilan sederhana, jarang bicara langsung ke anak buahnya, kami hanya diperintah melewati email atau chatting saja. Laporan juga kami kirimkan via surat elektronik. Jika rapat mingguan, Mas Burhan selalu berbicara kepada kami seraya menetap lekat layar laptopnya. Tak sekalipun ia menoleh ke arah kami. Tapi kami semua menyukainya, karena ia sangat perduli kepada anak buahnya.
Beberapa kali aku dan Mas Burhan harus dinas ke luar kota bersama, tapi biasanya dalam perjalanan ia larut dengan bukunya dan aku juga larut dengan bukuku. Kami selalu check in pesawat sendiri-sendiri, begitu juga check in hotel. Semua detail untuk rapat telah dikirimnya lewat email, aku hanya tinggal mengikuti instruksinya.
Setahun bekerja bersama Mas Burhan ternyata lebih banyak hal yang menyenangkan. Ia cerdas dan sangat profesional. Ia selalu mengajarkan kami untuk bersikap profesional juga. Baginya bisnis adalah komitmen. Dan beberapa kali ia kerap memuji keuletanku. Aku sendiri senang mendengar pujiannya. Hingga suatu hari aku mendapatkan email dari Mas Burhan dengan subjek yang berbeda dari biasanya "Puisi Untukmu"
Setengah bingung aku menelusuri tiap kata dari puisi itu, berusaha menterjemahkannya sebisa mungkin. Setengah ge-er, setengah bengong dan setengah apa lagi, aku membaca tiap bait puisi Mas Burhan.
***
Seperti laron yang pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku pun menemu
Ajal di cemerlang cahaya matamu
Jadi mari kita pahami
Unggunan api cinta ini
Karena kau tidak ada apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
Ini badan yang selalu berjaga
Habis hangus tanpa sisa
***
Usai membaca puisi indah tersebut, berdetak jantungku. Aku faham intinya, tapi aku berusaha untuk tak ingin mengerti. Karena isyarat yang ditawarkannya jelas, ia mulai menyukaiku. Tapi bagaimana mungkin aku menyambutnya jika aku sudah berkeluarga dan mempunyai dua orang anak, sebuah kondisi yang tak jauh berbeda dengan Mas Burhan. Selain itu aku sangat menyayanginya sebagai kakak, karena bagiku ia sangat ngemong, membiarkanku berceloteh sesukaku dan ia tertawa keras saat aku bercerita kejadian lucu. Pungkasnya aku mencoba mengabaikan harapannya, aku bersikap seperti biasa saja, aku tak pernah menanggapi tawarannya.
Suatu hari sepulang makan siang berdua, sontak tangan kirinya terangkat dan memegang erat tanganku, sedangkan tangan kanannya tetap memegang setir mobilnya. Tak sepatah katapun terlontar dari mulutnya, ia diam seribu bahasa, hanya tangannya yang makin erat menggenggam jemariku. Aku membiarkan ulahnya, aku juga ingin merasakan apakah aku juga menikmatinya.
Hasilnya? Hatiku bahkan tak tergetar sedikitpun. Aku merasa biasa saja, tak ada rasa khusus yang hadir lewat genggaman tangannya. Aku masih bersikap biasa, hingga tiba-tiba ia berucap, "Aku hampir kehilangan akal karena ingin memelukmu, aku sangat menyukaimu bahkan kurasa aku sudah mencintaimu". Kubalas genggaman erat tangannya seraya kujawab, "Maukah mas menunggu hatiku agar suatu hari dapat tergetar oleh genggamanmu?" Cepat ia mengangguk dan kami saling tersenyum menunggu hari itu tiba.
Suatu saat aku mendapat tawaran kerja yang menggiurkan, maka dengan berat hati kutinggalkan kantor lamaku menuju kantor baru, kantor yang yang menjanjikan banyak harapan untukku. Namun hubunganku dengan Mas Burhan masih berjalan dengan baik, kami masih sering makan siang berdua sambil mendiskusikan bermacam hal. Menurutku hubungan seperti ini lebih indah dan bermakna.
Sepuluh tahun telah kujalani persahabatan yang indah bersama Mas Burhan. Yang sangat mengharukan, sesibuk apapun ia pasti akan meluangkan waktu menemuiku jika aku membutuhkannya. Ia selalu berada di sampingku pada saat kuperlukan, seperti jika anakku sakit dan suamiku sedang dinas ke luar kota. Ia akan mendampingiku seraya menenangkanku. Ia bisa menjadi seorang kakak sekaligus tokoh yang kukagumi karena lewat tangan dan kepalanya ia mencipta dan menulis banyak hal untuk kemajuan bangsa ini. Aku bersyukur mempunyai sahabat seperti dirinya.
Minggu yang lalu, saat kami janjian makan siang berdua, tiba-tiba ia menatap mataku tajam dan berujar lirih, "Tiwi, ternyata cintaku tak pernah luntur, tak pernah pudar, kamu bisa merasakankannya, kan?" Aku mengangguk masygul dan sangat terharu hingga menetes air mata sambil tersenyum memandangnya. "Terima kasih mas atas cintanya yang dalam untukku, tapi aku harus jujur bahwa tak ada getar sedikitpun di hatiku selama sepuluh tahun ini". Ia tersenyum lemah memandangku seraya membuang nafasnya dalam-dalam.
Kini aku yang mengenggam erat tangannya untuk menguatkan hatinya dan ingin meminta maaf bahwa cintaku tak pernah menjelma dalam kurun waktu sepuluh tahun selama hubungan pertemanan kami. Semoga Mas Burhan mengerti bahwa aku juga menyimpan kenangan indah selama sepuluh tahun ini lewat puisinya yang tetap kusimpan rapi. [Margareth Lim / Tarakan] Sumber: Hidupkita
PESAN KHUSUS
Silahkan kirim berita/artikel anda ke ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
MENU LINKS
http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com