KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Kamis, 18 Oktober 2012

MERIAM MENEMBAK LONDON (2)

Bagi puak kami -yang tak apalah disebut bule sebagai Chinesse Overseas dan tak lekang dipanggil orang Melayu sebagai Singkek!- barangkali telah jadi takdir semata mendapatkan ini ujar-ujar dari tragisnya peristiwa di masa silam. Toh, di Bangka, melebur ia akhirnya dengan bahasa-budaya-tradisi Melayu bersama sekian banyak idiom-kosakata lain dari bahasa tutur kami, Hakka (lazim disebut Khek juga)….

Ya, di kota kelahiranku, di pulau kecil ini, bakalan kau temukan betapa berlimpahnya kosakata kamidiserap berkat intimnya pergaulan. Dari istilah penambangan semisal sakan (talang timah), chiam (bor), tailing (tempat cuci biji timah) sampai kosakata seperti kamkai (tanggung), soi (sial), sauki (keranjang), dan cikok (kantong kertas) yang sehari-hari karib terucap oleh mulut Melayu di rumah, toko, jalan, dan tambang-tambang.

Seakan begitu ringan sepucuk meriam yang dibawa kakek-nenek kami dari tanah moyang itu diterima jadi bagian olok-olok dan penggunjingan. Hm, kendati diam-diam sedikit bergeser makna dan lafadz oleh kesalahpahaman dan kakunya lidah. Tapi tanpa niat memplesetkan, seperti yang sering terjadi dengan kata-kata serapan di mana-mana, begitulah "thai phau" bersalin kiasan di mulut Melayu dari sang pembual menjadi "thaipao"- gelar buat siapa saja yang suka bicara congkak, Kawan.

Karenanya tak perlulah heran, jika di kampung-kampung Melayu sering kau dengar kata itu tercetuskan. Adakah ini perlambang betapa harmonisnya kehidupan antar suku di kampung halamanku tercinta? Ya, sebagaimana karibnya Thai Phau Hiung dan Mang Amran berteman.

Ai, tak berhak aku mengiyakan atau menyangkal. Hanya bisa kukatakan, bahwa keduanya memang cukup sering tampak semeja di kedai kopi A Fui di simpang pasar lama atau di warung kopi-es putar "Kutub Utara" di pertigaan bioskop Gelora yang kini telah menjelma sarang walet: karib dan kompak, meski kadang saling ngotot-ngototan.

"Klop sudah, cocok benar! Satu tukang pamer, satu mulut besar! Kayak sepasang meriam tua peninggalan Belanda di depan tangsi polisi!" tukas orang-orang terkekeh.

Hanya saja, tak seperti Thau Phau Hiung yang serupa Muhammad Ali, dicemooh sekaligus dirindukan -sehingga sehari ia tak tampak di kedai kopi, orang-orang mulai kasak-kusuk kehilangan dan bertanya-tanya ke mana gerangan si mulut besar- Mang Amran sebetulnya kurang disukai sebagaimana halnya Kim Hon. Baik oleh orang Tionghoa maupun Melayu. Bahkan, acapkali ia mendapat kesulitan karena sifatnya yang suka bersombong pada orang-orang itu. Di Kampung Tengah, tempat tinggalnya, hampir ia tak punya seorang teman. Jarang ia diundang ikut tahlilan dan kalaupun nimbrung dalam kegiatan sosial, orang-orang memilih tak berada di dekat-dekatnya. Hanyalah memandang wajah mertuanya Haji Ramlan saja, para tetangga sudi datang jika ia punya hajatan. Tapi apa kata Mang Amran?

"Mereka dengki padaku. Biasalah watak Melayu, tak suka tetangga senang. Coba lihat aku. Punya motor tiga, rumah besar, punya banyak sahang, anakku kuliah di Jawa. Mereka kredit motor saja tak lunas-lunas!" tajam menyinggung perasaan. Padahal semua orang mafhum, jika bukan menikah dengan Nur Azizah, anak Haji Ramlan, takkan ia bisa hidup senang dengan kepandaiannya yang cuma bisa jadi tukang semen.

Pembawaannya yang angkuh itu bahkan terbawa sampai ke urusan ibadah. Sekali ia bersedekah, bisa sebulan diomongkan. Haji Ramlan sang mertua, bukannya tak pernah mengingatkan kalau itu riya' -bisa membatalkan ibadah. Namun Mang Amran hanya bersungut-sungut dan makin menjadi-jadi perangainya.

"Aku ini memang tak terlalu paham soal agama. Tapi setiap malam aku selalu sholat tahajud. Subuh-subuh waktu kalian masih mendengkur, sudah basah badanku oleh wudhu!" ucapnya keras di depan orang-orang. Maka adalah lumrah sebutan 'thaipao' pun kian gencar terlontar, di belakang punggung atau terang-terangan di depan muka sekalian. Tentu, dengan desis geram.

"Kalau mau ber-thaipao, ke kedai kopi di pasar sana kau! Cari teman kau si A Hiung itu! Jangan banyak bacot di depanku!" bentak Pak Mahmud suatu hari naik pitam karena Mang Amran membanding-bandingkan anak mereka.

Ya, di kedai-kedai kopilah kemudian ia menemukan tempat, sekaligus kawan untuk bersombong yang sepadan….

* Nasib Sepasang Meriam

Meriam pertama kali digunakan di China sebagai artileri mesiu paling tua yang menggantikan persenjataan seperti mesin serbu. Pertempuran menggunakan senjata ini yang pertama kali terdokumentasi berlangsung pada 28 Januari 1132, ketika Jenderal Dinasti Song, Han Shi Zhong menggunakan Huo Chong -begitulah meriam pada masa itu dinamakan- untuk merebut sebuah kota di Fujian. Diperkirakan ilustrasi meriam pertama dibuat pada 1326. Pada 1341, dalam puisi karya Xian Zhang berjudul Masalah Meriam Besi, tertulis bahwa bola meriam yang ditembakkan dapat "menembus jantung atau perut manusia atau kuda, bahkan dapat menembus lebih dari satu orang sekaligus."

Toh, sebagaimana kisah Marco Polo mencuri bubuk mesiu, sejarah kemudian mencatat Barat-lah yang mengembangkan teknologi ini lebih jauh pasca Perang Salib lalu melakukan ekspansi-kolonisasi ke berbagai penjuru bumi. Namun masa berganti masa, teknologi militer yang kian canggih terus diciptakan untuk memenuhi nafsu serakah manusia: tank, mortil, rudal…. Meriam pun ditinggalkan teronggok di depan museum, benteng-benteng tua, tangsi polisi dan tentara sebagai artefak sejarah atau pajangan hiasan belaka. Ya, begitulah kiranya nasib senjata berat yang dibanggakan dan ditakuti pada jamannya itu, tak di darat tak di lautan.

Karena itu -setiap pulang ke kota kelahiranku kini- haruskah kuamsal nasib Thai Phau Hiung serupa betul dengan sepasang meriam tua di depan tangsi polisi yang tinggal sepucuk, berdebu dan kian karatan? Sejumlah orang yang aku tanya cuma menggeleng, tak paham benar ke mana perginya pasangan meriam itu. Yang jelas, setelah Mang Amran meninggal karena sakit beberapa tahun silam, kata orang-orang, tinggallah Thai Phau Hiung membual sendirian di kedai kopi. Tak lagi dikerumuni banyak pendengar seperti bertahun-tahun silam.

Ah, kutaksir umurnya sekarang mungkin sekitar 70-an. Kepalanya telah ubanan dan badannya tampak jauh lebih ceking. Namun suaranya masih terdengar cukup lantang. Apalagi jika sesekali membual kalau dirinya masihlah punya pertalian darah dengan Komisaris Komisaris Lim Tse-Hsu, sang pahlawan Perang Candu yang dihormati sepanjang zaman!

"Komisaris Lim itu masih sepupuan dengan buyutku. Ibunya dengan ayah buyutku kakak-beradik. Jadi bukan kebetulan kalau kami semarga. Betul, aku tak bohong!"

"Hei, sudah siang Suk! Itu kopi terakhirmu. Pulanglah," tegur A Nen, putra sulung A Fui yang sekarang meneruskan usaha kedai kopi ayahnya, agak kesal. Tapi, kau tahu, bukan Thai Phau Hiung namanya kalau tak punya 'pantat ketan', lengket di kursi kalau sudah asyik berbual! [Kelly Chang / Jogjakarta / Tamat] Sumber: Cerpen Koran Minggu

Catatan kaki:

[1] Perang Candu berlangsung dari 1839-1842 antara China (Dinasti Qing) dan Britania Raya.

[2] Nanyang secara harafiah berarti Negeri-negeri Selatan (sebutan untuk Kepulauan Nusantara).

[3] Dalam filosofi kosmis konfusianisme, China dianggap sebagai pusat dunia. Karena itu, nama resmi negara China, Chung Kuo (ejaan Hokkian: Tiongkok) secara harafiah berarti "Negara/ Kerajaan Tengah (Pusat)", dan orang China disebut Chung Hwa (Tionghoa).

[4] Atau Ang Ciu (Arak Merah).

[5] Kapten Charles Elliot adalah Kepala Pengawas Perdagangan Inggris di Guangzhou, Guangdong. Ia ditunjuk Kantor Masalah Luar Negeri Britania Raya menggantikan Sir George B. Robinson pada Juni 1836. Pada 29 Agustus 1842 setelah perang sengit selama 3 tahun, ia berhasil memaksa Dinasti Qing menandatangani Perjanjian Nanjing di atas kapal perang HMS Cornwallis.

[6] Lim Tse-Hsu atau Lin Zexu (1785-1851). Setelah diangkat sebagai komisaris tertinggi, ia dikirim ke Guangdong untuk menghentikan impor opium dari para pedagang Inggris. Lebih dari 20.000 peti opium disita dan dimusnahkannya pada 3 Juni 1839. Hal inilah yang melatarbelakangi meletusnya Perang Candu.

[7] Paman (bahasa Hakka).

PESAN KHUSUS

Silahkan kirim berita/artikel anda ke ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id

MENU LINKS

http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA