Terbiasa dengan jadwal, aku mulai merasa tidak betah dengan protokoler ala keluarga. Aku mulai jadi pembangkang. Aku sering ngabur dari rumah, hingga beberapa lelaki tegap suruhan kakek harus menjemputku dari rumah teman tempatku menginap. Ini sering membuatku malu. Akhirnya aku nekad kos sendiri, lepas dari keluarga. Kalau perlu orang tidak perlu tahu siapa keluargaku. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku kerja paruh waktu mulai dari memberi les bahasa Inggris kepada anak-anak SD dan SMP hingga menjaga toko. Selepas SMA aku makin nekad, aku memutuskan menikah ketimbang meneruskan kuliah. Aku merindukan sosok lelaki yang bisa melindungiku, aku merindukan sosok ayah dalam hidupku.
Keluargaku tidak protes ataupun menolak. Mereka mengikuti semua mauku, bahkan menerima begitu saja lelaki pilihanku, asal aku tidak pergi lagi dari rumah. Aku menyetujui permintaan kakak-kakakku untuk ikut andil mengurusi perusahaa keluarga. Pernikahankupun digelar sangat meriah. Setahun kemudian aku hamil dan melahirkan seorang anak perempuan. Namun pernikahanku tidak berjalan sebagaimana yang kukehendaki, aku mulai mencium gelagat yng tidak bagus dari suamiku. Hingga suatu hari, ketika aku pulang dari kantor lebih cepat karena tidak enak badan, aku melihat mobil suamiku terparkir di garasi, padahal bukan kebiasaannya pulang awal tanpa memberitahuku. Gaby anakku yang masih TK juga tidak ada di rumah, mungkin dibawa pembantuku jalan-jalan, pikirku.
Tanpa prasangka apapun, aku langsung naik ke tingkat dua dan masuk ke kamar dengan maksud istirahat. Saat kubuka kamarku, aku bagai terpaku ke bumi. Di sana suamiku tengah bergumul dengan Tania, sekretarisku. Padahal, tadi pagi Tania menelponku dan mengatakan kalau ia tidak masuk kerja karena sakit. Tak kurang kagetnya Chandra, suamiku. Terduduk ia menatapku yang masih berdiri di ambang pintu. "Ngapain kamu pulang?" tanyanya dingin. Aku sungguh kaget dengan pertanyaannya. Ini rumahku, aku yang membangunnya, kenapa ia berani menanyakan hal itu? "Karena ini rumahku," jawabku tak kalah dingin.
Sejak itu hubunganku dengan Chandra sudah tak bisa ditolerir. Masalah ini hanya kami yang tahu, karena kami tak ingin keluarga besarku tahu apa yang terjadi dengan pernikahanku. Toh, ini adalah pilihanku. Namun bukannya makin sadar,Chandra makin menjadi-jadi. Ia serasa mendapat angin. Menyadari bahwa keluarga tidak ada yang ikut campur, ia malah sering membawa Tania kerumah kami untuk bercinta. Aku makin muak. Chandra betul-betul suami bajingan. Ia membawa wanita lain ke kamar kami untuk ditidurinya. Suamiku bercinta dengan wanita lain di kamar kami.
Tak perlu menunggu lama, aku membereskan baju dan perhiasan yang aku kumpulkan dari kerja kerasku selama ini. Aku tata di koper besar. Aku tidak pernah tahu tujuanku, tapi aku tahu apa yang aku lakukan. Aku harus pergi dari rumah neraka ini. Rumah yang aku bangun, rumah yang aku desain dengan seleraku, rumah yang menjadi impianku semasa kecil. Rumah ini harus aku tinggalkan berikut semua kenangan yang pernah ada di dalamnya. Aku toh sudah terbiasa hidup sendiri, masalahnya aku ingin mengajak Gaby, tapi aku juga tidak ingin ia menderita. Sementara aku harus memulai segalnya dari nol.
Perceraianku diurus secara kilat. Keluarga tidak ada yang tahu penyebab perceraian kami dan sedikit heran ketika aku tidak menuntut harta gono gini. Padahal mereka tahu bagaimana aku memperjuangkan pernikahan kami mulai dari nol hingga akhirnya harus berpisah. Rumah dan segala isinya adalah hasil kerja kerasku dan aku meninggalkannya begitu saja, termasuk Gaby. Perhitunganku, aku ingin berusaha sendiri dulu hingga aku sukses baru aku menjemputnya. Bertahun-tahun aku membangun diriku kembali hingga akhirnya aku bisa berdiri tegak dengan kekuatanku. Saat aku datang pada Chandra untuk mengambil Gaby, lelaki itu malah membentakku. "Kau bukan ibunya. Kalau kau ibunya tidak mungkin kau meninggalkannya sendiri."
"Aku tidak meninggalkannya sendiri, aku meninggalkannya dengan ayahnya. Kenapa? Kau merasa keberatan dititipi anak sendiri?" tanyaku ketus. Gaby saat itu sedang sekolah. "Aku tidak menuntut harta gono gini meski kita berdua tahu siapa yang memperjuangkan hidup kita hingga akhirnya memiliki segalanya," aku masih terus berbicara. "Aku hanya meminta anakku, cuma karena aku mengalah pergi dan tanpa bekal harta secuilpun, tidak mungkin aku membawa Gaby bersamaku. Ingat, aku cuma menitipkannya padamu. Jadi kalau saatnya tiba, aku boleh mengambilnya."
Percakapan tersebut masih alot, hingga saat Gaby pulang sekolah dan lngsung duduk di pangkuanku, kami masih membicarakan hal yang sama. Selama ini kami hanya sebatas membagi waktu untuk Gaby. Akhir pekan selama dua hari tiap bulan adalah waktuku untuk Gaby, tapi sejak aku sudah memiliki rumah sendiri dan pekerjaan tetap dengan gaji lumayan tiap bulannya, aku ingin Gaby dikembalikan padaku. Keinginanku makin besar manakala Gaby bercerita kalau Tania, ibu tirinya sering berbuat jahat padanya. Gaby pernah dihukum seharian di kamar tanpa diberi makan apapun ketika Tania tahu bahwa Gaby menerima telponku hari itu. Pokoknya segala sesuatu yang berhubungan denganku, maka Gaby yang menerima akibatnya. Bahkan Gaby hanya disewakan tukang ojek untuk mengantar jemputnya ke sekolah, padahal Chandra punya tiga mobil. Aku makin bulat ingin membawa Gaby tinggal bersamaku.
Pernah aku dibuat menangis oleh Gaby ketika ia mengatakan akan memilih tinggal bersamaku, meskipun hanya tinggal di rumah kontrakan kecil. "Asal sama mami, aku rela kok," demikian ucapnya. Di rumah dinasku yang tak sebesar rumah yang ditinggali Gaby, yang nota bene adalah rumahku dulunya, kupeluk erat Gaby sembari menangis. Kami menangis berdua, menyesali waktu dan keadaan yang memisahkan kami.
Untuk memuluskan upayaku membawa Gaby, aku menempuh jalur hukum. Dengan sesumbar Chandra menantangku, bahwa aku tidak akan memenangkan kasus ini dan Gaby akan tetap bersamanya. Aku tidak patah semangat. Aku menyewa pengacara terbaik yang pernah ada. Tanpa aku sangka, justru malah membongkar semua kejadian lalu. Bahkan penyebab perceraian kami yang sesungguhnya. Tentunya keluargaku murka setelah tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Meski aku enggan dibantu keluarga, tapi mereka memaksa ikut campur, karena merasa ikut bertanggung jawab terhadap penderitaan yang aku alami. Bisa ditebak, aku memenangkan kasus ini, Gaby bisa tinggal bersamaku, Chandra harus hengkang dari rumah yang aku bangun dulu dan dicopot dari jabatannya sebagai VP di perusahaan keluargaku.
Aku sendiri memilih menjual rumah besarku dan tinggal di pinggiran kota bersama Gaby, uangnya aku belikan sebidang tanah dan memulai bisnis bunga potong. Sekarang bisnis kami sudah membuahkan hasil, tiap tiga bulan aku dan Gaby akan memanen bunga-bunga segar untuk kemudian dikirim ke Jakarta.
Kalau senggang, kami sering mengadakan travelling berdua, baik di dalam maupun luar negeri. Bersama Gaby aku merasa hidupku sangat lengkap. Sungguh, banyak pelajaran yang telah membesarkan dan memdewasakanku hingga aku menemukan apa yang dinamakan hidup yang sebenarnya. [Lily Ng / Padang] Sumber: Kehidupanku
PESAN KHUSUS
Silahkan kirim berita/artikel anda ke ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
MENU LINKS
http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com