Hanya saja, ketika aku lulus SMU, perusahaan tempat ayah bekerja gulung tikar, otomatis dari empat bersaudara, hanya aku yang tidak sempat mengecap pendidikan tinggi. Kakak sulungku, Mbak Tantri, lulus S1 Komunikasi menjadi Humas di sebuah perusahaan yang lumayan bagus. Kakakku nomor dua, Mbak Vera, meski lulus akademi sekretaris memilih menjadi ibu rumah tangga. Mas Bimo, sempat mengenyam bangku kuliah, tapi kenakalan masa muda membuatnya harus drop out (DO) dan sekarang ia membantu bisnis batik ibu.
Aku berusaha menyadari kondisi ini, tapi ada rasa tidak adil yang menyentak-nyentak, karena kesempatanku untuk melanjutan sekolah seperti harus dimatikan di tengah jalan. Aku jadi tidak betah di rumah. Sampai akhirnya seluruh keluarga menungguku di ruang tengah suatu malam. Mereka tidak menelponku via ponsel, malah memilih duduk diam di ruang tamu menungguku pulang.
Aku sempat kaget ketika memasuki rumah mendapati seluruh keluarga sedang berkumpul. Tak terkecuali Mbak Vera yang duduk sembari menyusui bayinya. Mbak Tantri berdiri di pojok ruangan sembari menyedot asap rokoknya dalam-dalam, wajahnya tanpa ekspresi. Mas Bayu memilih duduk mendekat dengan ibu. Sementara ayah masih sibuk menyalakan rokok kreteknya. Aku duduk di kursi yang satu-satunya masih kosong, tepat berada di hadapan mereka.
Intinya, seluruh keluarga mempertanyakan perubahan prilakuku beberapa hari terakhir ini. Jarang ada di rumah, pulang selalu lewat tengah malam, semua orang jadi khawatir. Aku bagai mendapat angin, aku langsung menyampaikan segala keinginan dan uneg-uneg yang lebih tepat disebut sebagai tanda protes semata. Puas aku mengutarakan apa yang memenuhi hati, kulihat mereka hanya saling pandang dan memandangku sembari tersenyum.
Mbak Tantri maju ke depan, melewatiku sembari mengacak-acak rambutku. Ia ke kamarnya. Semua diam. Aku mmbaca isyarat yang tidak bagus, tak lama Mbak Tantri kembali ke ruang keluarga sembari membawa sebuah map besar. Ia meletakkan map itu di hadapanku. LBuka dan baca baik-baik isinya. Jangan komentar sebelum kamu membacanya sampai selesai", ucapnya dingin.
Gemetar aku membuka isi amplop dan membaca isinya satu persatu. Perasaan yang tak fokus membuatku harus mengulang beberapa tulisan hingga beberapa kali. Selesai membaca aku malah merasakan dadaku sesak, aku menghambur ke pelukan ayah dan ibu sambil menangis. Tidak ada dari mereka yang bicara, membuatku semakin merasa bersalah. Dalam map itu berisi asuransi pendidikan atas namaku, jumlahnya lumayan besar, bisa aku gunakan untuk biaya kuliah.
"Jangan berterimakasih pada ayah atau ibu, berterimakasihlah pada kakak-kakakmu. Mereka yang membuatkan itu untukmu. Tiap bulan mereka patungan membayarkan premi asuransimu itu. Mbak Tantrimu itu yang paksa semua adiknya patungan, karena mereka menganggap kamu sudah menjadi tanggung jawab mereka. Makanya kalo ada apa-apa, jangan langsung demo, ngomong dulu," ucapan ayah membuatku malu. "Sekarang tugasmu cuma belajar dan berikan hasil terbaikmu, jangan kecewakan kami," tegas Mbak Tantri sebelum menghilang di balik pintu kamarnya.
Itu terjadi sudah sepuluh tahun lalu, tapi aku selalu mengingatnya dengan jelas, karena kejadian tersebut yang membuatku berhasil lulus dengan nilai terbaik. Sekarang aku bekerja sebagai manager di sebuah resto. Aku tengah sibuk mempersiapkan pernikahanku dengan lelaki pilihanku sendiri. Hanya saja, saat aku mengutarakan keinginan untuk menikah, aku melihat ada gejala yang janggal. Semua kakakku lebih banyak berbicara dengan suara kecil dan hanya aku sendiri yang tidak dilibatkan. Aku tidak terlalu memperdulikannya, karena aku sudah disibukkan dengan urusan pernikahanku.
Teryata telalu banyak urusan yang harus dibereskan, ketika mendekati hari lamaran, aku baru tahu kalau belum ada yang memesankan kue-kue untuk jamuan keluarga Surya, calon suamiku. Aku langsung berteriak panik, karena aku tidak ingin acaraku kacau. Mbak Tantri yang turun tangan. Aku lupa kalau ia kakakku, aku langsung memarahinya. "Mbak, gimana sih, masa bisa sampe lupa kue-kuenya?" Mbak tantri dengan ketenangan luar biasa hanya memberi isyarat meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Ini pertanda jelas, ia tidak ingin medengar suara ribut, tapi ini juga pertanda bagus, bahwa ia sudah membereskan semuanya.
Sehari sebelum lamaran, tiba-tiba aku dipanggil seluruh keluarga. Sama seperti kejadian sepuluh tahun lalu. Hanya saja, wajah mereka diliputi kegelisahan. Telebih ayah dan ibuku. Ayah memberiku isyarat agar duduk di sebelahnya yang juga berdekatan dengan ibu. Sembari membelai rambutku, meluncur kata-kata bijak dari bibir ayah. "Sebentar lagi kamu bakal diambil orang, sebentar lagi kamu menjadi istri Surya, tapi untuk anak yang terakhir ini, ayah tidak dapat mengantar..."
Aku terpaku, tidak paham maksud ayah, sementra ibu dan semua kakakku hanya menunduk, hanya Mbak Tantri yang memandang mataku lekat, tapi aku tak menemukan jawaban di matanya. Kembali aku memandang ayah. "Maksud ayah apa? Kenapa ayah tidak bisa mengantarku? Mengantar kemana?" aku memburu dengan pertanyaaan yang tak bisa kupahami.
Aku semakin tidak mengerti ketika mulai kudengar isak ibu. "Nak, kami semua mohon maaf karena merahasiakan ini semua darimu," ucap ayah hati-hati. Kami berharap bisa seterusnya menyembunyikan atau bahkan menghilangkan fakta ini, tapi kenyataannya malah harus disampaikan padamu, imbuh ayah semakin terbata.
Setelah terdiam sesaat, maka aku memperoleh keseluruhan cerita hidupku. Aku sebetulnya bukan anak kandung keluarga ini. Teman ibu menyerahkanku begitu saja ketika ia sudah tidak bisa mengasuh anaknya yang kian banyak. Ibu sendiri tak bisa menolak. Sejak saat itu aku menjadi bagian keluarga ini. Sikap yang tiada membedakan itulah yang membuatku tak menyadari bahwa darah mereka tak sama dengan yang mengalir di tubuhku.
"Untuk itu, nak" ayah tidak bisa mengantarmu ke gerbang pernikahan. Kamu harus diwalikan oleh wali hakim, karena kakak-kakakmu tidak berhasil menemukan jejak keluargamu." Ucapan ayah bagai besi menghantam kepalaku. Aku tidak peduli apapun, aku hanya ingin ayah yang mewalikanku dan tidak ada keluarga lain yang kucintai selain keluarga ini. Saat kutatap mata Mbak Tantri, ia tersenyum "ini hal yang langka" mengacungkan jempolnya, berusaha mengatakan bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja.
Kakak sulungku ini, selama ini ia yang selalu aku ganggu, jika tidak punya ongkos, aku datangi dia, repot bikin makalah dia yang menyelesaikannya, bahkan kemarin aku masih memarahinya soal kue jamuan lamaran. Aku tidak tahu bagaimana ia memendam amarahnya untuk seorang adik pungut seperti aku. Aku menghambur ke pelukannya, bersujud di pangkuannya. "Mbak, aku terlalu sering bikin masalah selama ini. Maafkan aku, karena ternyata aku bukan apa-apa di keluarga ini..."
"Sejak kamu menginjak rumah ini, maka kamu adalah keluarga kami. Soal menikahmu pakai wali hakim, itu tidak akan merubah apapun statusmu di keluarga ini. Kalau ayah punya warisan, kamu tetap punya hak. Sayangnya ayah nggak ninggalin warisan..." Mbak Tantri berusaha bercanda dan ternyata efektif. Aku, Mas Bayu, Mbak Vera, Mbak Tantri, ayah dan ibu saling berangkulan. Kami menangisi kebahagiaan ini. Mereka memang bukan keluargaku, tapi mereka adalah kehidupanku. [Ria Lim / Merauke] Sumber: Facebook
PESAN KHUSUS
Silahkan kirim berita/artikel anda ke ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
MENU LINKS
http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com