Satu hal yang aku sukai dari Sintha, ia sangat mandiri. Setidaknya aku tak perlu repot-repot harus menamaninya kemana-mana. Aku sama sekali tidak khawatir dengan kemandiriannya. Setahun aku pacaran dengannya, ibuku sudah memaksaku segera melamar Sintha. Ternyata ibuku malah yang keburu jatuh cinta pada perempuan satu ini. Selain sopan dan apa adanya, Sintha juga sangat pintar membawa diri.
Singkat kata, kami menikah. Sebuah pernikahan yang sederhana, tapi sangat bermakna buat Sintha. Meski ini bukan pernikahan yang pertama bagiku, namun buat Sintha ini sangat berarti karena ini adalah pernikahan pertamanya. Jujur, aku sangat menyukai dan mencintainya. Ada satu hal yang selalu membuatku ingin melindunginya. Ia terbiasa sendiri, sampai ia merasa selalu sendirian menjalani hidup.
Nyatanya, aku tak pernah bisa menjadi suami yang baik. Untuk urusan rumah saja aku tak pernah membantunya, meski aku tahu ia begitu kelelahan. Bayangkan ia juga berkarir di sebuah perusahaan farmasi, saat libur Sabtu dan Minggu, ia masih harus bekerja di rumah. Aku hampir tak pernah melihatnya istirahat, selain tidur pada malam hari.
Kebetulan Sintha memperoleh kedaraan operasional berupa motor, jadi ia kerap mengatarku ke kantor terlebih dulu baru ke kantornya. Pulangnya pasti malam, itu masih menyediakan minuman untukku yang malah pulang duluan. Entah kenapa, aku enggan membuat sendiri minuman buatku, menurutku itu sudah menjadi tugasnya. Sampai Sintha pernah bertanya padaku, "Mas, mana tugas rumah ini yang menjadi bagianmu? Aku kerepotan juga mengerjakan semuanya sendiri."
Saat itu aku memang tak menanggapinya, padahal aku sempat melihat wajahnya demikian pucat kelelahan. Bayangkan, Sabtu ia sudah memulai hari dengan memasak, mencuci pakaian kami selama seminggu, serta beres-beres rumah. Hari Minggu masih dilanjutkan dengan menyetrika, memasak dan membersihkan rumah. Senin masih tersisa kelelahan di wajahnya.
Sempat Sintha mengeluhkan badannya lemas. Aku sama sekali tidak menggubrisnya. Aku malah sibuk kumpul dengan teman-temanku. Itu tetap berlanjut berminggu-minggu, nyaris tiga bulan. Hingga malapetaka itu datang.
Suatu malam seperti biasa aku menunggu Sintha pulang. Sedikit ngedumel, karena ia tak kunjung datang padahal sudah jam 9 malam. Aku sudah mulai tak sabar, karena tak ada minuman di rumah, kecuali air putih. Aku keukeuh tetap menunggunya pulang dan segera membuatkanku segelas besar teh manis. Sembari menunggu, aku ke rumah tetanggaku depan rumah. Handphone tak kubawa.
Hampir jam sebelas malam aku kembali ke rumah dan Sintha tak juga tiba. Aku mulai meradang. Tak biasanya ia seperti ini. Kalaupun pulang telat, ia pasti menghubungiku dulu. Kulihat di layar ponselku, terdapat misscall sampai delapan kali, tapi bukan dari nomor yang kukenal. Pastinya bukan nomor Sintha. Baru saja aku meletakkan ponselku, tiba-tiba ponselku berdering. Dari nomor yang sama. Aku mengangkatnya dengan malas-malasan. Seorang perempuan dari seberang sana memperkenalkan diri. Dari bagian gawat darurat sebuah rumah sakit. Aku tergetar.
Sintha kecelakaan. Tanpa menunggu lagi aku langsung meluncur ke rumah sakit, seluruh tubuhku mendadak lemas. Di ruang UGD aku mendapati Sintha tertidur dengan kepala dan kaki kanannya tertutup perban. Nafasnya terdengar halus, masker oksigen menutupi sebagian wajah beningnya. Sementara tangan kirinya terhubung selang infus yang menggantung di kiri tubuhnya. Gemetar tanganku meraih wajahnya, sekedar ingin memberitahukan bahwa aku sudah datang. Tapi Sintha hanya diam. Betapa aku merasa berdosa.
Dari dokter jaga yang merawat Sintha aku memperoleh informasi kalau Sintha bertabrakan dengan mobil box. Bersyukur Sintha terbiasa menggunakan safety helm serta jaket dan sarung tangan kalau naik motor. Tidak banyak luka luar, tapi lutut kanannya retak dan ada luka sobek kecil di kening kanannya. Dokter itu juga menambahkan kalau tekanan darah Sintha amat rendah. Kemungkinan ini yang membuatnya tidak konsentrasi di jalan. Sintha kelelahan. Aku langsung terduduk lemas.
Bagaimana tidak lemas, Sintha sudah berulangkali mengatakan kalau ia capek dan lelah. Tapi aku sama sekali tidak mau mendengarkannya. Aku menganggap itu hanya kemanjaan perempuan saja. Dengan penuh penyesalan, aku hanya bisa menatap tubuh lunglai istriku. Aku duduk di sebelah tempat tidurnya, menggenggam jemarinya yang mendadak begitu kecil di tanganku. Kucium keningnya yang tiba-tiba terasa dingin di bibirku. Aku begitu takut. Takut kehilangan Sintha.
Sayup kudengar suara yang amat kukenali. Kupandangi wajah Sintha yang berusaha tersenyum di balik masker oksigennya. Sebutir air matanya jatuh, aku langsung mencium matanya. "Maafkan aku. Ternyata aku tak cukup bersyukur memiliki istri sepertimu." Satu saja permintaanku pada Tuhan. Sembuhkan Sintha, agar aku bisa membalas kebaikannya padaku selama ini. Sintha memang sembuh, meski ia harus mengenakan pengaman lutut akibat cideranya tersebut. Tuhan masih bermurah hati mengembalikan Sintha padaku. Sejak kejadian itu, aku berusaha mempermudah pekerjaan rumah Sintha. Semua kami lakukan bersama dan ini membuat Sintha lebih bersemangat dan bahagia. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Kisah Nyata
Catatan: Ayo kita dukung Tionghoanews dengan cara mengirim email artikel berita kegiatan atau kejadian tentang Tionghoa di kota tempat tinggal anda ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id dan jangan lupa ngajak teman-teman Tionghoa anda ikut gabung disini, Xie Xie Ni ...