KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Sabtu, 19 Januari 2013

PEREMPUAN YANG TERBARING DALAM LUKISAN

Perempuan itu terbaring lemas di atas ranjangnya. Berbuntal selimut. Wajahnya samar seperti bulan pucat di pagi hari. Beberapa meter di hadapannya, seorang lelaki tengah terduduk di depan kanvas. Tangannya bergerak lembut ke sana kemari. Menorehkan sesuatu di muka kanvas.

"Serius sekali," perempuan itu bertutur dengan suara serak dan sedikit kering.

"Ssstt…. Jangan bergerak. Aku sedang melukis bidadari," balas lelaki itu dengan sesimpul senyum. Pandangannya berlompatan. Dari perempuan yang terbaring di atas ranjang ke kanvas. Dari kanvas ke perempuan yang terbaring di atas ranjang.

"Sudah, hentikan! Aku sudah bilang tak mau dilukis," perempuan itu berusaha bangkit dari ranjangnya. Tampak berat. Lekas-lekas lelaki di hadapannya melesat ke ranjang dan membantunya duduk.

"Apa kau ingin minum? Biar kuambilkan." Lelaki itu merapikan bantal untuk sandaran.

"Aku tak mau dilukis," rajuknya lagi.

"Ayolah! Difoto tak mau, dilukis juga tak mau. Lalu apa yang kau sisakan untukku?"

Perempuan itu terbatuk-batuk, "Kalau ada yang asli, kenapa mesti difoto atau dilukis?"

Lelaki itu menunduk beberapa saat dan menatap wajah pucat di hadapannya,  

"Jadi, kau benar-benar tak mau dilukis?"

"Cukup kau lukis aku dalam ingatanmu saja," balas perempuan itu singkat.

Lelaki itu menarik ujung bibirnya, tapi tidak membentuk senyum.

***
Perempuan itu benar-benar keras kepala. Apakah dipikirnya ingatanku ini akan tetap utuh dan tak bakal terhapus? Kalau nanti aku beranjak tua lalu pikun, bagaimana? Lihatlah! Ia masih saja tersenyum di ranjangnya, seperti gadis kecil yang tak berdosa. Sementara di sini, ada lelaki yang jiwanya mumur, selalu menangis sembunyi-sembunyi.

Dokter memang tak mengatakan bahwa umurnya tak lagi panjang. Ia hanya bilang bahwa perempuan itu butuh sebuah mukjizat. Hanya mukjizat.

"Apa kau marah karena aku melarangmu melukisku?" perempuan itu menatap tajam ke arahku. Aku balas menatapnya. Melihat raut wajahnya yang gersang, membuatku bungkam.
"Kau benar-benar marah, ya?" perempuan itu mengulang pertanyaannya.

"Aku hanya tak tahu harus bagaimana," balasku, lirih.
"Apa kau takut kalau aku mati?" ia melemparkan pertanyaan bodoh itu lagi.

"Memangnya siapa yang akan mati?"

"Kupikir, penjelasan dokter sudah cukup mewakili."
"Dokter bukan Tuhan yang bisa memutuskan siapa hidup siapa mati."
"Tapi dokter punya ilmunya."

Aku tak mau meneruskan percakapan tajam yang seperti belati ini. Aku beranjak keluar kamar, meninggalkannya seorang diri.

***
Kamar sepi. Kanvas itu teronggok di sudut ruang. Kuas dan cat yang bersisa hampir mengering. Di muka kanvas putih itu, tampak sketsa wajah berupa arsiran garis-garis tipis, membentuk raut muka, mata, hidung, bibir, juga rambut yang tergerai. Perempuan itu terdiam di atas ranjang. Terduduk. Menunduk. Dari ranjang tempatnya duduk, ia melirik lukisan itu dan tersenyum. Apakah aku secantik itu, ia membatin.

Sejurus, ia membaringkan tubuhnya kembali. Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih jernih. Ia paham seribu kali, jika akhir-akhir ini suaminya bersikap seperti itu. Apa pun dan bagaimanapun, ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk tetap tersenyum. Jika redam itu tiba-tiba datang, ia akan menengadahkan kepala dan bergumam, "Aku cukup bahagia."

Memang, beberapa bulan lalu, ketika dokter mengatakan bahwa dalam sel darahnya terdapat leukosit yang membabi buta, ia cukup shock. Kata dokter, sudah terlambat, untuk dapat bertahan. Ia sendiri sebenarnya ngeri. Sebab itulah, ia tak pernah berani bertanya  kepada dokter mengenai sisa usianya. Biar Tuhan saja yang memutuskan. Dan benar, setelah menyerahkan semua kepada Tuhan, hatinya bisa sedikit lega. Jika Tuhan menghendaki ia sembuh, mengapa tidak. Memangnya apa yang bisa dilakukan manusia?

Lapang sudah hatinya menerima apa-apa yang bakal terjadi. Hanya,  suaminya, tampak seperti manusia yang tak pernah siap kehilangan sesuatu. Ia memaklumi itu. Ditinggalkan memang sebuah keadaan yang cukup sulit, lebih sulit daripada meninggalkan. Lebih sakit. Maka, pelan-pelan, ia ingin suaminya belajar menerima, berlapang dada, dengan sebuah cara: tersenyum. Ia berjanji akan mengajarkan suaminya untuk tetap tersenyum.  Di setiap keadaan.

***
Aku tak tahu, apakah orang yang mau mati memang sering bertingkah gila. Lihatlah! Perempuan itu tersenyum-senyum sendiri di atas ranjangnya. Bahkan, ketika aku memasuki kamar itu dengan wajah batu, senyumnya masih belum putus.

"Apa kau cukup bahagia?"
"Aku tak punya alasan untuk bersedih-sedih. Tapi, jika kau mau tahu, apa yang bisa membuatku sedih, jawabannya adalah melihatmu sedih. Jadi, apa sekarang kau mau tersenyum?"

Entah dari mana perempuan itu punya cara, tuturnya selalu bisa membuatku menangis dan tertawa dalam waktu bersamaan.

"Aku tak memintamu tertawa, aku hanya memintamu tersenyum," ia merajuk lagi.
Aku bungkam, meski akhirnya tersenyum.

"Karena kau sudah tersenyum, sekarang kau boleh melukisku." Perempuan itu memiringkan tubuhnya. Setengah duduk. Ia tersenyum manis. Sangat manis.

"Ayo! Bukankah kau ingin sekali melukisku? Ayo! Sebelum aku berubah pikiran," katanya lagi. Apa kataku, orang yang ajalnya sudah dekat memang suka bertingkah gila. Beberapa jam lalu ia melarangku melukisnya, sekarang malah memaksaku untuk melukisnya. Aku bangkit perlahan. Mengambil kanvas yang tersandar di dinding, berikut cat dan kuasnya.

"Apa kau keberatan jika aku merebahkan tubuh?" Perempuan itu bergeser dari posisinya semula. "Carilah posisi yang paling nyaman. Sebenarnya yang kubutuhkan hanya izinmu. Bukankah katamu, aku cukup melukismu dalam ingatanku saja. Itu sudah lama sekali kulakukan. Jadi, bagaimanapun posisimu, duduk, berdiri, rebah, atau tengkurap sekalipun, aku tak mungkin keliru melukis wajahmu."

Perempuan itu merebahkan tubuhnya perlahan, tersenyum dan terbatuk-batuk agak dalam, lalu terpejam.

***
Lelaki itu masih menorehkan kuasnya di atas kanvas. Detak jarum jam terus mengerang. Jarum-jarumnya seperti berputar cepat sekali. Tak henti-henti. Serta-merta, kamar itu menjadi sunyi. Sangat sunyi. Dan tangan lelaki itu masih saja menari-nari di atas kanvas. Ia masih terus melukis dan melukis. Tak habis-habis. Degup di dadanya berdesiran. Kuas di tangannya gemetaran. Air di matanya berleleran.  Perempuan di hadapannya telah terpejam lama sekali. Tiada gerak. Tiada bersuara. Sepi. Tak hendak bangun lagi. [Kartini Loh / Semarang]

--
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah | Kontak

BACA DIBAWAH INI

Di bagian bawah artikel ini kedepan akan ditampikan iklan-iklan baris Maksimal 100 huruf dengan tarif Rp.5.000,- per artikel (Min.100 artikel) dan bagi yang berminat bisa kontak email: tionghoanews@yahoo.co.id

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA