Pemerintah memberlakukan peraturan yang sangat ketat akan penggunaan air bagi setiap penduduknya. Masing-masing hanya mendapat jatah 3 liter air setiap harinya.
Pada suatu hari yang cerah, di suatu daerah di bagian provinsi ini, seekor sapi tua tiba-tiba melepaskan diri dari ikatan tali di lehernya. Dengan berjalan tertatih-tatih ia menuju jalan raya yang merupakan jalur truk-truk air akan lewat. Ia berhenti tepat di tengah jalan itu. Saat itu truk berisikan air akan lewat.
Sapi itu tetap berjalan mengarah ke depan truk tersebut dan memaksa truk berhenti. Dengan keheranan sopir truk tersebut turun dan berusaha mengusir sapi tersebut. Namun usahanya sia-sia saja. Sementara sapi itu terus saja memandangi truk air tersebut. Seakan-akan hendak mengatakan sesuatu. Situasi ini terus berlangsung beberapa saat dan mengakibatkan kemacetan besar.
Para pengendara motor dan mobil tidak sabar dan menggerutu. Beberapa orang yang tidak sabar berusaha mengusir dengan api, tetapi sapi itu tetap bertahan. Kemudian pemilik sapi tiba di tempat kejadian dan mencambuki berkali-kali, sedemikian kuat, sampai-sampai kulit badan si sapi sobek, tapi hewan ini tetap bertahan dan tidak beranjak sedikit pun.
Rintihan memilukan dari sapi tua nan kurus itu sangat tragis sehingga para petugas dan beberapa pengendara meneteskan air mata. Akhirnya, seorang tentara yang bertanggung jawab akan penggunaan air di daerah itu berkata, "Biarlah sekali ini saya melanggar peraturan! Saya siap untuk mendapat hukuman." Dia mengambil wadah air dengan separuh isi (satu setengah kilo air) dan menempatkannya di depan sapi tersebut.
Akan tetapi air tersebut tidak disentuhnya. Sapi itu malah memandang ke arah matahari terbenam dan melenguh dengan keras. Beberapa saat kemudian seekor sapi kecil muncul dari belakang tumpukan pasir, berlari dengan sempoyongan, cepat-cepat menuju wadah air itu. Sapi tua yang terluka itu memandang dengan penuh kasih sayang pada sapi kecil sampai air di wadah habis. Dengan air mata berlinang, ibu sapi dan sapi kecil itu saling menjilat mata masing-masing. Tanpa suara, mereka mengekspresikan kasih mereka satu sama lain.
Kemudian, mereka meninggalkan tempat kejadian itu tanpa harus diusir. Orang-orang terdiam dan berpikir dalam hati masing-masing. [Caroline Chan / Bandung / Tionghoanews]