"Sumpah, aku tak tahu. Aku dan Lan Nio sama sekali belum pernah bertemu, bagaimana mungkin kamu bisa mengatakan aku merebutnya? Semua ini diatur Papa."
"Kenapa kamu diam saja? Kamu bisa menolak !"
"Apakah selama ini kita bisa menolak kehendak Papa ?" Aku balas bertanya. Amung tak mau mengalah begitu saja. Ia terus mencecarku,
"Setiap bulan kamu menghadiri rapat Persekutuan, Kamu pasti tahu perjodohan ini dari dulu, kamu sengaja mempermainkanku. Aku tahu kamu sirik padaku karena aku berhasil menarik perhatian Lan Nio. Siapa lelaki yang tak tertarik padanya? Orangnya cantik, bapaknya kaya. Kamu ! Kamu matrialistis ! Kamu ingin mengawini Lan Nio agar mendapat tambahan modal dari bapaknya!" tuduh Amung.
"Mung ! Dengarkan aku! Kalau kamu mengatakan aku matrialistis, baiklah, kutantang kamu. Kuserahkan tanggung jawabku sebagai anak tertua padamu. Kamu kawinlah dengan Lan Nio. Ikuti semua perintah Papa. Jadilah kamu penerus generasi dan tradisi, jaga adat dan kebudayaan kita sebagai penggantiku, gantikan posisiku di Persekutuan. Aku dengan suka rela menyerahkan jabatan itu padamu. Aku akan kawin dengan Kinar dan pergi dari desa ini!" Kataku tegas dan menantangnya. Amung terdiam sangat lama, mungkin sedang memikirkan tawaranku. Aku sangat berharap ia menerima tawaranku demi kebaikan kami semua.
"Kamu menyerahkan semua beban berat padaku, lalu kamu enak-enakan hidup bersama Kinarti? Oh, aku ini tidak bodoh. Menjadi anak tertua itu sebuah belenggu. Aku tak sudi!" tolaknya mentah-mentah.
"Terus, katakan padaku, apa dayaku menolak kehendak mereka?" tanyaku memojokkannya.
"Kamu bisa memilih perempuan lain !"
"Kamu pernah ikut acara pertemuan Persekutuan. Adakah anak muda seperti kita mempunyai hak bicara ? Adakah anak muda seperti kita bisa menentang sebuah keputusan yang dibuat bersama ?" cecarku semakin memojokkannya.
Amung terdiam sejenak, Tapi tetap tak mau mengakui ketakberdayaannya. " Kalau kamu kawin dengan Lan Nio, Aku akan membencimu seumur hidupku !" katanya dengan wajah berapi-api dan berlalu dari hadapanku.
Aku bingung, bingung sekali. Bulan ketujuh tanggal 15 adalah hari perayaan Hantu Gentayangan. Persekutuan Marga mengadakan jamuan buat seluruh anggotanya. Aku hadir bersama ayah, tapi malam itu aku permisi pulang duluan.
Ketika melewati pematang, samar-samar aku melihat seseorang berdiri di pinggiran sawah. Bulan bersinar terang. Setelah dekat baru kukenali wanita itu ternyata Kinarti. Kinarti berlari ke dalam pelukanku, menangis terguguk dalam pelukanku.
"Kita tak mungkin menikah, bukan ?" tanya Kinarti dengan wajah penuh airmata.
"Bukan aku tak mau menikahimu, Kinar, aku berhutang budi pada persekutuan, dan banyak adat dan tradisi yang membatasi kita. Tapi, sejujurnya kukatakan, hati ini hanya mencintaimu, Kinar." aku membeberkan isi hatiku.
"Bulan depan kalian akan bertunangan ?" tanya Kinar dengan mata basah. Aku menganggukkan kepala dengan berat hati.
"Ini bukan kehendakku, Kinar. Aku sedang mencari jalan keluar, percayalah padaku!" kataku meyakinkannya. Kinar tampak terhibur mendengar kata-kataku.
"Katakan sekali lagi, kamu mencintaiku…" Kinarti memandangku.
"Aku mencintaimu…" Aku membalas tatapannya.
"Walau kita tak bisa bersatu, kamu tetap mencintaiku?" tatapan menerobos ke lubuk hatiku, sedalam-dalamnya. Aku terbuai oleh tatapannya.
"Walau kita tak bisa bersatu, aku tetap mencintaimu. Selamanya mencintaimu, "
"Aku bahagia mendengarnya. Bagiku kata-katamu itu melebihi segala-galanya. Lihatlah sinar rembulan, Kung! di sana ada cinta kita… selama-lamanya…" katanya lirih.
Aku menatap rembulan dan menganggukkan kepala.
"Selamat berbahagia, Kung… Ingatlah, rembulan menjadi saksi cinta kita…"
Sekali lagi Aku mengangukkan kepala. Kinarti mendekapku erat-erat, kemudian melepaskan pelukan dan berlari pulang. Aku terpaku menatap kepergiannya. Aku pulang dengan perasaan semakin tak menentu.
Ketika tiba di rumah, aku berhadapan dengan Amung yang menghadangku dengan wajah merah padam.
"Kamu tak bersuara ketika perjodohan kalian dikukuhkan, bukan ?" bentak Amung.
"Menyela omongan orangtua adalah perbuatan tak sopan, apalagi dalam sebuah pertemuan. Kamu ingin aku dihukum Papa ?" kataku tak senang.
"Aku kini tahu kamu orang seperti apa!" katanya lebih keras lagi. Aku sebenarnya ingin marah, tapi aku teringat statusku, Aku abangnya, tak sepantasnya aku berkeras terhadapnya.
"Mung, dengarkan penjelasanku …"
"Tak perlu ! Aku benci sikap beomu, sikap ularmu. Papa menyayangimu bagaikan emas, sedangkan aku diperlakukan bagai besi tua. Semua yang terbaik diberikan padamu. Yang kudapat cuma sepah ! Mulai saat ini aku akan pergi dari rumah ini. Nikmatilah kehidupanmu dengan penuh kebahagiaan !" Amung berteriak dengan keras, kemudian berlari keluar dari rumah sambil membanting pintu.
Aku terperangah. Badai ini menghantamku dari segala arah. Aku di suruh kawin secara paksa, dibenci adik, cintaku kandas, kekasihku pasti sedang menangis. Aku merasa tubuhku serasa bergoyang-goyang. Aku berdiri lama sekali bersandarkan pintu. Tatapan kuarahkan ke langit. Hantu-hantu sedang berpesta-pora. Bukankah malam ini malam perayaan Hantu Gentayangan? Apakah hantu-hantu gentayangan sedang menertawakanku?
Besoknya, saat aku tiba di penggilingan pintu penggilingan masih belum dibuka. Sobirin yang memegang kunci. Aku memutuskan mendatangi rumah sobatku itu untuk mengambil kunci. Dari kejauhan kulihat rumah Sobirin sangat ramai. Ketika aku tiba, semua mata menatap tajam padaku. Semua menyingkir memberiku jalan. Aku tiba di dalam rumah dan mendapati Kepala Desa sedang terpekur. Aku menyapanya, tapi dia diam saja. Aku berjalan ke dalam rumah. Tampak olehku di ruang tamu Sobirin sedang memeluk sesosok tubuh berselimut kain putih. Ketika melihat kedatanganku, Sobirin segera berdiri dengan wajah garang.
"Aku memintamu memberi penjelasan padanya dengan hati-hati, kenapa bisa begini ? Apa yang kamu katakan padanya sehingga ia nekad begini ?" tanya Sobirin dengan wajah geram. Aku belum tahu apa yang terjadi. Sejenak aku terpaku diam. Tapi, dengan cepat aku memahami situasi. Aku membungkuk dan menyingkap kain putih. Kudapati tubuh Kinarti terbujur kaku. Wajah Kinarti menyunggingkan seulas senyum, sepertinya senyum yang penuh kebahagiaan. Matanya masih terbuka. Kinarti seperti sedang tersenyum dan menantikan kedatanganku. Aku meraupkan tanganku ke wajahnya. Ketika tangan kuangkat dari wajahnya, mata Kinarti telah tertutup rapat, tertutup rapat untuk selama-lamanya. Airmataku meluncur bagai air bah, Aku tak mampu membendungnya.
"Coba katakan, kenapa semua ini bisa terjadi !!!!" teriak Sobirin. Aku diam saja, aku benar-benar hanya bisa diam. Apa yang bisa kujawab? Aku merasa tubuhku dihantam berkali-kali, tapi aku tetap diam. Beberapa orang menahan Sobirin. Pukulan Sobirin terasa bertubi-tubi, tapi aku tidak merasakannya. Sukmaku hilang entah ke mana.
"Pergi ! mulai saat ini aku tak ingin melihat tampangmu lagi. Pergi !" teriak Sobirin kalap.
Gempar, seluruh desa Kertosari gempar. Persekutuan memilih diam. Orang-orang takut membicarakan hal itu, takut terjadi masalah rasial, apalagi Kinarti anak Kepala desa. Setelah Kinarti dimakamkan, berkali-kali aku berusaha menemui Sobirin, tapi Sobirin enggan kutemui. Ia tak mau menjejakkan kaki ke penggilingan. Penggilingan dibiarkan tak ada yang mengurus.
Dalam kondisi batin yang tak menentu akibat kematian Kinar dan serangan bertubi-tubi dari Amung dan Sobirin, aku membiarkan saja ketika bulan delapan acara pertunangan tetap dilaksanakan. Aku berubah menjadi apatis. Penggilingan akhirnya dibuka kembali atas desakan Persekutuan. Aku menjalankan penggilingan demi mengembalikan modal yang kupinjam dari Persekutuan. Sejak aku dinikahkan dengan Lan Nio, Amung tak pernah menginjak rumah ini lagi. Ia membuat gubuk di pinggir desa, hidup bagai pertapa dan terkucil dari kaum Keturunan. Sejak itu Kaum Keturunan memanggilnya orang utan. Orang kampung memanggilnya si Gila karena suka berteriak-teriak seorang diri di tengah malam buta.
Setahun kemudian, genap sudah setahun kematian Kinarti. Di suatu senja aku pulang berjalan kaki. Di pertigaan dekat tambak –sekarang kolam itik, berdiri seorang lelaki yang memegang sabit. Aku tertegun menatap sobatku.
"Sudah genap setahun kematian Kinar," ucap Sobirin dingin.
"Maafkan aku, Sobi. Aku tak menyangka akan jadi begini. Sungguh aku tak tahu kenapa ia memilih jalan pendek. Aku berusaha tidak menyakitinya, Sobi…. Aku tetap ingin bersahabat denganmu. Aku ingin mengatakan, aku…" kata-kataku terdengar gagap.
"Aku tak mau tahu! Kamu penyebab kematian adikku. Bapakku sangking sedihnya tak mau menjadi Kepala Desa lagi. Ia malu karena tak bisa melindungi putri satu-satunya. Aku ingin memenggal kepalamu untuk kupersembahkan pada arwah adikku!" ucap Sobirin lantang.
Aku terdiam sejenak. Mata Sobirin berkilat-kilat penuh kemarahan. Aku menguatkan tekad,
"Aku merasa hidupku ini hampa dan tak terlalu banyak artinya. Aku juga ingin bersama Kinar di alam baka. Lakukanlah, Sobi! Kalau di dunia kami tak bisa bersama, biarlah di akherat kami kumpul bersama!" Kataku pasrah. Sobirin maju dan menjambak rambutku dengan keras. Sinar matanya yang tajam menghunjam ke jantungku. Sabitnya diayunkan. Aku memejamkan mata menunggu kematian.
"Chress !" suara itu bergaung di telingaku. Aku merasa wajahku dingin. Bagaimana rasanya mati ? Aku tidak merasakan kesakitan sedikit pun. Apakah mati memang demikian mudah ? Aku membuka mataku, kudapati leherku masih utuh, tak ada setetes pun darah yang mengalir membasahi bajuku. Sobirin sudah tidak berada di hadapanku. Aku meraba kepalaku dan mendapati rambutku terpapas sebahagian.
"Mulai saat ini hubungan kita putus, seperti putusnya rambut di kepalamu ini !" Suara Sobirin yang dingin bergema di tengah sawah. Bulu kudukku berdiri. Rambut yang dipegangnya itu ditebar ke sawah. Rambut-rambut itu hilang diterpa angin. Aku merasa kulit kepalaku dingin dan hatiku mencelos. Sejak itu aku jarang bertemu Sobirin. Kalaupun terserempak, entah aku yang menghindarinya atau ia yang menghindariku.
Kekuatiran Kaum Keturunan tidak terbukti. PKI ditumpas habis dan mulailah rezim Orde Baru. Sejalan dengan semakin kuatnya pemerintahan orde baru, Sekolah Cina pun dilarang. Ayahku kehilangan pekerjaan. Kegiatan perkumpulan semacam hwahue ikut dilarang. Bahkan upacara adat atau kebudayaan ikut dilarang. Setiap acara harus mendapat izin. Untuk mengurus izin diperlukan uang ciak kopi-pelicin yang tidak sedikit. Pemerintah Orde Baru bahkan mencurigai mantan anggota Persekutuan Marga sebagai kaki tangan PKI –ironis sekali. Mereka ditandai dan masuk daftar merah. Mereka tidak dibantai, tapi segala urusannya dipersulit. Perlahan-lahan kaum Keturunan menyebar untuk menghindari tudingan pemerintah. Ada yang pindah ke kota atau ke desa lain, bahkan ada yang masuk hutan. Akhirnya di Kertosari hanya tersisa belasan keluarga, seperti sekarang ini. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B