Aku juga berpikiran, bahwa desas-desus itu sengaja dihembuskan untuk memojokan aku yang kebetulan saat itu sedang dekat-dekatnya dengan Atika. Padahal kedekatanku dengan Atika hanyalah sebatas bawahan dengan atasan. Kebetulan juga saat itu aku memang sedang bertugas menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang dibebankan kepadaku, dan secara langsung pekerjaan berada dibawah kendali Atika.
Hampir setiap minggu kami selalu bertemu untuk membahas permasalah-permasalah yang terjadi. Tak jarang kami juga harus berpergian ke luar kota untuk menghadiri pertemuan-pertemuan dengan rekanan bisnis kami. Dan rupanya hal itulah yang mungkin membuat rekan-rekanku merasa iri dan akhirnya mewanti-wanti aku agar berhati-hati jika sedang berduaan dengan Atika.
Awal terungkapnya desas-desus itu hingga menjadi sebuah kebenaran adalah saat kami berdua berada di luar kota untuk menghadiri rapat. Saat itu aku secara tidak sengaja memergokinya sedang berduaan di dalam kamar dengan seorang laki-laki yang tidak kukenal. Namun anehnya Atika tidak menunjukan tanda-tanda kemarahan, sebaliknya ia malah memaksa aku agar tetap berada dalam kamar.
Awalnya aku mengira, Atika akan mengajakku untuk berdiskusi bersama laki-laki tersebut, tetapi sesaat kemudian aku dikejutkan dengan tingkah mereka yang seolah-olah mereka itu adalah sepasang suami istri, berpelukan, saling menggelitik bahkan berciuman. Melihat hal itu, aku langsung pamit dan keluar dari kamar, semantara Atika dan laki-laki itu hanya tertawa-tawa melihat aku yang salah tingkah. Di sore hingga malam itu, aku melihat tak kurang dari empat lelaki yang keluar masuk kamar Atika.
Keesokan paginya Atika datang menemui aku, ia mewanti-wanti aku agar tak memberitahukan hal ini kepada siapapun. Sebagai imbalannya ia akan memberikan aku jabatan baru ditambah ia juga bersedia memberikan kehangatan tubuhnya jika aku memang menginginkan. Namun aku menolak semua tawarannya, tapi aku tetap berjanji untuk tak membeberkan kebenaran ini pada rekan-rekan sekantor.
Dalam perjalanan pulang, aku kembali menyaksikan Atika saat melampiaskan nafsu biologisnya. Kali ini sang sopir pribadi yang menjadi lawan mainnya. Dan gilanya lagi 'permainan' itu mereka lakukan di dalam mobil hingga mobil itu berguncang keras, kadang miring ke kiri kadang miring ke kanan, suara-suara desahan yang diiringi jeritan-jeritan kecil juga terdengar cukup jelas dari luar. Sementara, aku cuma bisa geleng-geleng kepala menyaksikan hal itu.
Dari si sopir itu juga akhirnya aku banyak mengetahui bahwa prilaku Atika yang seperti itu bukan kali ini saja dilakukan. Si sopir juga mengatakan bahwa terkadang permainan itu dilakukan di ruanggan tempatnya bekerja. dan aku percaya dengan apa yang dikatakat si sopir itu, karena beberapa kali aku melihat laki-laki yang masuk ke ruangan kerja Atika dan keluar setengah jam kemudian.
Pernah suatu kali aku dipaksa untuk melayani nafsunya, walau mencoba menghindar dengan melontarkan berbagai alasan Atika tetap saja memaksa. Saat itu memang tak ada lagi lelaki di tempat itu selain aku sehingga aku terpaksa meladeni keinginannya, itupun dengan menggunakan alat bantu seks berupa alat kelamin pria yang entah terbuat dari bahan apa.
Aku sebenarnya sudah memberinya saran untuk menggunakan alat itu dengan tangannya, namun saat itu Atika beralasan bahwa ia tak bisa mencapai puncak kepuasan bila menggunakan alat bantu itu dengan tangannya sendiri. Lebih dari setengah jam aku 'membantu' Atika agar ia bisa mencapai orgasme, karena ia belum merasa puas jika belum mendapatkan lebih dari satu kali orgasme.
Saat ini aku memang sudah keluar dari tempat pekerjaanku, karena aku selalui dihantui kekhawatiran jika perbuatan itu akhirnya diketahui oleh rekan-rekan kerjaku. Pastinya cibiran atau mungkin juga cercaan akan hinggap di telingaku. Terlebih aku sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan dan aku tak ingin pernikahan itu ternoda oleh hal-hal yang tak aku inginkan. [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews]