"Memang hal itu tidak kuanjurkan karena akan membuatmu dicap sebagai perempuan keras, kelaki-lakian dan takkan ada orangtua Keturunan yang berani menjadikan kamu sebagai menantunya. Orang-orang akan mencap kamu sebagai perempuan yang terlalu keras hidupnya dan akan mendominasi keluarga. Orang Cina tak suka menantu perempuan yang terlalu mendominasi. Tepatnya kamu akan menjadi perawan tua." Juru Adat memberi penjelasan. Penjelasan Juru Adat sekaligus memaparkan kekawatiran Lan Nio. Mamanya ternyata menghawatirkan masa depannya.
"Ma, Ikling dan Ifen masih ada. Biarlah mereka saja yang menikah. Saya tidak menikah tidak apa-apa." Imei berkata pasrah.
" Kamu tak perlu berkorban sedemikian mendalam buat Akung ! Selama hidupnya ia selalu bersikap kasar padamu. Lupakah kamu ? " Lan Nio berkeras mencegah niat anaknya.
" Tidaklah, Ma. Selama ini Papa senantiasa kesepian, makanya dia selalu uring-uringan. Lagipula, bagaimanapun kasarnya dia tetap Papaku. " ucap Imei.
" Lupakah kamu pada rambutmu yang nyaris botak, tanganmu yang melepuh, dan nyawamu yang hampir melayang? Dia memperlakukanmu lebih dari anak tiri !" Lan Nio histris melihat kenekadan anaknya.
" Semua itu pasti ada alasannya, Ma. Lagipula, Papa sudah meninggal. Tak selayaknya kita masih mengingat kesalahannya. Kita diajarkan untuk saling memaafkan."
" Aku, Aku sungguh tak mengerti apa yang ada di otakmu!" teriak Lan Nio kesal dan masuk ke dalam. Juru Adat berpangku tangan mendengar perdebatan itu. Imei merasa aneh mendengar kalimat Mamanya yang terakhir. Setelah Lan Nio masuk, barulah Juru Adat berkata,
" Berpikirlah lebih matang. Ini menyangkut masa depanmu. Jangan sampai menyesal di kemudian hari." nasehatnya sambil menepuk pundak Imei.
" Tak ada yang perlu dipikirkan lagi. Masalahnya sudah begini. Biarlah ini menjadi nasib saya. Apapun yang terjadi di masa mendatang, saya siap menjalani." kata Imei mantap. Juru adat menggeleng-gelengkan kepala.
Sekali lagi rambut Imei dipotong hingga pendek sekali. Semua atribut kewanitaannya ditanggalkan. Payudaranya dibebat rata dengan dada. Rasanya sakit sekali. Banyak yang salut pada ketabahannya, tapi banyak juga yang mencibir dan menertawakan kenekadannya. Sun Ni yang hadir sebagai pelayat menatapnya dengan tatapan iri. Mungkin iri karena Lukman pernah menjadi calon suaminya, seharusnya Lukman yang menjadi perhatian. Semua mengatakan dosa Akung semasa hidupnya pasti banyak sekali sehingga saat matinya tak ada anak lelaki yang mengantarnya ke kuburan.
Acara pengkebumian berjalan lancar. Siegit senantiasa memerhatikan kegiatan Imei selama prosesi pemakaman. Berkali-kali Imei terjatuh karena keletihan. Siegit membangunkannya. Sempat Imei tertanya-tanya dalam hati, inikah rasa persahabatan yang ingin ditunjukkan Siegit, ataukah ada maksud lain ?
Selama 3 hari 3 malam Imei membakar kertas akherat dan tak boleh mandi, badannya lengket dan panas. Saat kembali dari kuburan, Imei mandi sepuasnya. Anggota keluarganya membantunya mencuci seluruh bagian rumah hingga bersih. Malam itu ia tertidur pulas karena kecapean di samping meja persembahan tempat sekeping monumentalis ditaruh untuk mengenang arwah Akung.
Kerabat Akung dan Lan Nio masih berkumpul hingga hari ketujuh. Malam ketujuh adalah acara jemput arwah. Jam 4 pagi mereka kembali ke kuburan untuk menjemput arwah Akung dan dibawa kembali ke rumah. Selama 7 hari 7 malam kaum Keturunan memuaskan diri bermain mahyong berselubung judi. Hal semacam ini diijinkan karena petugas yang berwewenang setiap hari memungut uang Kopi yang tak sedikit jumlahnya. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B