Demi menjaga perasaan Lan Nio, ia tidak permisi karena tak ingin ketahuan ke mana ia pergi dan apa tujuannya. Keberadaan lukisan di kamar loteng tak mungkin tak diketahui Mamanya. Pastilah Mamanya pura-pura tak tahu demi keutuhan keluarga. Imei salut pada ketabahan Mamanya dalam hal menjaga emosi.
Sinar purnama menyambut hangat sekeluarnya Imei dari rumahnya. Dengan langkah enteng ia berjalan menyusuri jalan desa. Beberapa pemuda-pemudi menyapanya. Mereka menyangka Imei ada janji-temu dengan Yogi. Semua tahu hubungan mereka, tak ada yang peduli karena Akung sudah tak bisa menghukum lagi.
Imei tiba di pemakaman pukul 10 lewat. Penjaga Makam tidak berada di kelenteng kuburan, mungkin pergi bermain kueh bulan. Imei bersoja pada Dewa penjaga Kelenteng Kuburan sebagai permintaan izin untuk memasuki area kuburan, setelah itu ia berjalan menuju makam Akung. Makam Akung dibuat sama seperti makam Kakek Imei, tapi ukurannya lebih kecil karena tingkatannya lebih rendah.
Imei meletakkan lukisan di depan makam. Dari dalam tas ia mengeluarkan seikat kertas akherat, sedikit persembahan, arak, lilin, dan dupa. Ia berdoa di depan pusara.
"Imei memenuhi janji, Papa. Di bulan purnama penuh ini Imei akan membakar lukisan Bibi Kinar di depan pusara Papa. Semoga lukisan ini sesampainya di alam baka tidak lagi berwujud lukisan, tetapi menjelma menjadi Bibi Kinar sejati agar selamanya mendampingi Papa. Semoga cinta yang mendalam di antara kalian menyatukan kalian kekal abadi selama-lamanya. "
Imei menancapkan dupa di depan pusara, lalu ia membakar kertas akherat. Bersamaan dengan berkobarnya api, perlahan-lahan ia membentangkan lukisan dan meletakkannya ke tengah api. Sedikit demi sedikit lukisan itu terbakar hingga habis. Setelah api padam, Imei menuangkan tiga cangkir arak di atas abu lukisan itu.
"Semoga Papa dan Bibi Kinar telah bersatu dan berbahagia di alam baka untuk selama-lamanya." Ia melihat dua ekor kupu-kupu yang beterbangan di atas pusara Akung. Imei tersenyum melihat fenomena itu.
Perasaan Imei terasa enteng setelah menunaikan tugasnya. Dengan wajah bersimpul cerah ia melangkah keluar dari pemakaman. Sepi, jalan raya sepi. Jam tangannya menunjukkan pukul 11.30. Sudah hampir tengah malam.
Tubuhnya terasa hangat setelah berhadapan dengan kobaran api. Imei ingin menyejukkannya dengan berjalan berangin-angin sambil kembali ke rumah. Suasana malam yang hening membawa kedamaian hati dan membuat setiap orang ingin menikmatinya berlama-lama. Tanpa terasa langkah Imei terbawa hingga ke pinggiran desa. Tanpa terasa pula langkah kakinya telah menginjak jembatan menuju gubuk Amung.
Gubuk Amung terlihat gelap. Imei tak tahu kenapa langkah kakinya mengajaknya ke sana. Di hatinya sama sekali tak ada niat mengunjungi Pamannya, apalagi di tengah malam buta begini. Sejak Amung tidak menghadiri pemakaman Akung, rasa simpatinya terhadap Amung sangat berkurang.
"Paman membenci Papa hingga mati, sungguh tak adil Papa menerima kebencian sebesar ini." guman Imei seorang diri. Sesampainya di depan gubuk, langkah Imei tercekat. Ia mendengar suara orang berbicara di dalam gubuk.
"Siapa yang ngobrol bersama Paman di tengah malam buta begini? Apakah selama ini Paman mempunyai teman ?" tanya Imei pada dirinya sendiri. Tanpa terasa ia beringsut ke samping gubuk dan berusaha mendengar pembicaraan di dalam gubuk.
"Pulanglah, sudah larut malam. Jika bulan-bulan lain aku takkan menyuruhmu pulang. Tapi hari ini perayaan kueh bulan, banyak orang kota bermain judi di sini dan pulang menjelang pagi. Nanti kamu kepergok mereka." terdengar suara Paman Amung.
"Baiklah, aku pulang !" terdengar sebuah jawaban. Imei merasa tidak asing mendengar suara itu. Hatinya kian tercekat. Cepat-cepat ia beringsut menjauhi gubuk supaya jangan ketahuan. Dari balik semak-semak ia melihat sesosok tubuh berpakaian hitam keluar dari gubuk Amung. Sosok itu mengenakan topi. Keduanya berpegangan tangan sejenak, kemudian sosok hitam itu berjalan menuju jalan setapak.
Setelah melihat Amung menutup pintu, Imei keluar dari persembunyiannya. " Bukankah selama ini Paman Amung tak pernah bergaul dengan siapa siapa? Siapa perempuan yang menemui Paman di tengah malam buta begini ?" tanya Imei. Keingintahuan memenuhi rongga dadanya, menyesakkan hatinya. Ia pun mengejar bayangan hitam itu.
Bayangan itu berjalan dengan santai, tapi sepertinya sengaja menghindari jalan besar. Sinar bulan yang terang membuat Imei dapat mengikuti bayangan itu dari jarak pandang. Setelah melewati kolam itik dan tiba di pertigaan, bayangan itu membelok dan mengambil jalan kecil. Jalan itu jarang dilalui orang. Jalan itu memutar dan akhirnya tiba di belakang kebun. Rumah Akung mulai kelihatan. Ketika mendekati rumah, bayangan itu menghilang dari pandangan karena sinar bulan terhalang oleh pepohonan. Imei kehilangan jejak.
"Jalan ini hanya menuju ke rumahku dan paman Asun. Apakah Bibi Kiu yang pergi menemui Paman ? Kenapa tengah malam begini ?" tanya Imei penasaran. Malam itu ia tak bisa melelapkan mata sama sekali. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B