Gejolak darahku selalu saja mendidih seperti lava panas yang meleleh dari puncak gunung dan mengalir deras menuruni lerengnya, membentuk aliran panas yang kemudian membeku saat tiba di lereng terendah, dingin, sunyi dan amat menyiksa. Tetapi aku bukan gunung api yang biasa merusak persawahan, ladang bahkan gedung-gedung yang telah susah payah dibangun para pemiliknya, karena aku cuma seorang perempuan yang bekerja di sebuah perusahaan dengan bayaran tak seberapa, tetapi cukuplah untuk hidupku sebagai perempuan lajang.
Walau keluargaku bukanlah keluarga yang kental agama, namun nilai-nilai agama di keluarga cukuplah untuk pegangan hidup. Akupun memiliki pemikiran yang sama dengan ayah, ketika aku tengah mengobrol di suatu pagi, sedikit tahu tenatang agama tapi diamalkan adalah lebih baik dari pada tahu banyak tentang agama namun tidak dijalankan.
Diperantauan, kata ayah suatu kali, sering kali banyak orang datang dengan niat yang baik, namun tidak sedikit dari mereka yang memilih jalan yang tidak seharusnya dia berada di sana. Jangan lupa sembahyang, kata ibu menambahkan, sembahyang itu dapat mencegah dari perbuatan maksiat dan terlarang. Kira-kira tiga tahun yang lalu, aku datang ke kota ini dengan hanya berbekal ijazah dan beberapa sertifikat yang pernah kudapat. Tuhan ternyata bermurah hati, mungkin juga mengabulkan doa-doa ibuku setiap habis sembahyang, sehingga beberapa kali aku melamar kerja aku sudah dapat panggilan.
Dari kerja itulah diriku dapat membiayai keperluan sehari-hari. Setiap bulan sebagian honorku selalu kuweselkan untuk biaya sekolah adik-adikku. Beberapa rupiah sisanya bisa kumasukkan bank. Aku juga tak pernah lupa pesan ayah dan ibu, yang setiap kali menelpon dari wartel sehabis wesel yang kukirim mereka terima, yang selalu memesankan dua hal yang sama ketika diriku hendak berangkat: hati-hati dan sembahyang!
Aku merasa bosan juga jika setiap hari diriku harus terus sendiri dan menjalani rutinitas yang selalu itu-itu saja. Aku merasa pagi, siang, dan malam adalah sebuah lingkaran waktu yang menjemukan. Ya, aku keluar dari lingkaran itu, dan membuat garis baru dalam hidupku. Setiap bulan aku masih mengirimkan uang kepada adik-adikku. Aku tak pernah telat melakukannya. Namun, sekarang aku tak lagi bisa menabung. Bahkan aku sering mengambil uang hasil tabungan.
Sehabis pulang kerja aku dengan beberapa teman sekantor akan menghabiskan malam dengan pergi nonton, ke kafe, night club, pub, diskotik, dan yang terakhir mereka mengenalkan kepadaku dengan beberapa laki-laki. Laki-laki yang selalu membuat sekujur tubuhku bergetar, karena kekuatan fisik, rayuan dan hentakan-hentakannya yang maha dahsyat.
Aku memang tak bisa menyalahkan mereka yang setiap malam datang merayuku. Aku hanya menyesalkan kenapa aku selalu bergelora ketika aku melihat mereka. Ya, seperti yang pernah kukatakan bahwa tubuhku akan bergetar ketika aku melihat mereka. Cara berjalan mereka, caranya menyapa, menyentuh, melirik, berpakakaian, bentuk tubuh, rambut, mata, dan ah semua milik mereka selalu membuat diriku menjadi seekor singa betina yang selalu birahi.
Singa Betina yang mengaum keras ketika berada di atas puncak bukit dengan bulan membulat di belakangnya. Aku benar-benar menjadi singa betina. Aku benar-benar mengaum keras ketika melihat laki-laki perkasa itu dan saat mereka mencium leherku, melumat telingaku, dan membisikkan kata-kata jorok yang benar-benar membuat diriku utuh untuk menjadi seekor hewan dengan segala nafsu
Aku berpacu. Aku menderu. Aku menggigit mangsa dengan liar, bahkan lebih liar dari singa betina aslinya. Aku mengaum keras kepada bukit. Kukerahkan seluruh tenaga untuk meloncat meraihnya. Mencakarnya. Aku menggelantung di atas puncak bukit. Menjilatinya. Sebelum diriku jatuh terkapar dan tersadar bahwa diriku adalah seorang perempuan biasa saja yang setiap bulan harus mengirim wesel untuk biaya adik-adikku.
Seorang laki-laki berada diatas tubuhku, dengan tubuh kekar yang berselimut peluh dan dengusan nafas liar. Kudapati diriku tengah telanjang menatap awang-awang. Dan begitulah yang kulakukan setiap kali aku selesai melakukannya dengan perempuan-perempuan malam. Di awang-awang itulah seolah aku menemukan sebuah jawaban, walau pada saatnya aku juga sadar bahwa jawaban itu adalah sebuah fatamorgana. Tapi jangan tuduh aku sebagai seorang pelacur, sekali lagi aku hanyalah perempuan biasa yang tiba-tiba saja bisa menjadi hewan liar yang ganas dan siap menerkam mangsa. [Vivi Tan / Jakarta]
* DA JIA PENG YOU - XIN NIEN KUAI LE - GONG XI FA CHAI *