Kutatap mata Ros, berkali-kali sudah ia selalu menceritakan Bira (bukan nama sebenarnya), anak perempuan semata wayangnya yang berumur lima belas tahun. Bira telah berubah. Muara kasih sayangnya sudah tak peduli lagi dengan keadaan rumah. Ia kini bagaikan piring terpecah yang memiliki torehan tajam di semua belahan sisinya. Matanya selalu sinis menatap Ros. "Pemberontak!" begitu biasanya Roa memanggilnya.
"Kamu tahu, Non, Jhon sekarang punya gundik baru. Setiap hari pulangnya dini hari." Ucapannya beralih pada Takahashi, suaminya. "Dasar buaya!" ujar Joy sambil mematikan kasar rokok di tangan ke dalam asbak, terlihat kemarahan dalam rona wajahnya. "Sudah cek kebenarannya? Jangan khawatir, cinta sejati akan membawa dia kembali, Joy." ucapku menimpali. "Wuek, siang-siang gini jangan bicara cinta deh, Non. Gerah." Ros tersenyum kecut.
Ros adalah seorang penari. Di atas panggung sebuah club malam, tubuhnya sering melenggak-lenggok menari penuh gairah mengekspresikan diri, menghibur para tamu. Lagu berirama funky pop kerap mengiringi cipta seninya dalam tubuh yang gemulai, menghibur para lelaki hidung belang agar tersenyum puas. Ros tak pernah risih pada tatapan nanar para lelaki yang penuh hasrat. Tidak tampak di wajah manisnya usia kepala empat. Ia selalu tampak lebih muda dalam balutan kostum blackless atau V neck yang dikenakan tubuh tinggi langsingnya.
Di situ pula ia bertemu Jhon 15 tahun yang lalu, laki-laki yang kemudian menikahinya. Ros selalu berkata bahwa bukan cinta yang menyatukannya, tapi keadaan. "Untuk mempermudah pengurusan tinggal di Inggris, Non," salah satu alasan Ros yang sering diutarakan kenapa menerima pinangan Jhon.
Lima tahun pertama, pernikahan mereka diselimuti bahagia. Ros melepaskan profesi penari untuk mengabdi pada suami. Sayang, seiring berjalannya waktu, cinta Jhon lambat laun mendingin. Ia berubah bagai gunung es untuk Ros. Lelaki tersebut lebih senang menghabiskan waktu berkutat dengan pekerjaan ataupun bermain di club, ditemani perempuan-perempuan cantik yang menuangkan botol minuman. Dasar gila! Begitu Ros selalu mengumpat. Biduk rumah tangga Ros mulai oleng. Dan Ros membiarkannya dengan alasan tak ada cinta.
Padahal aku sangat tahu jika Ros sangat mencintai Jhon. Bahkan terkadang terpancar dalam sudut binar bola matanya. Ia cinta pada lelaki itu. Sayang Jhon tidak pernah tahu, bahkan tak peduli. Dan Ros meranggas ditelan sepi. Untuk mengisi kesepian, Ros kembali berekspresi di club penari. Berbaur dengan para lelaki iseng, menghidangkan minuman penyaji yang memabukkan, mendampingi tamu bersuka ria. Meninggalkan dan menyerahkan Bira yang saat itu masih butuh perhatian dalam pelukan panti penitipan anak.
Kini sudah hampir setahun aku mencari sahabatku itu, Berkali-kali kucoba menghubungi, tapi tanpa hasil. Kata maaf, hanya itu yang ingin kuucapkan. Betapa beribu penyesalan bertumpuk di dada. Ros tidak sepenuhnya salah. Ia hanya butuh pelampiasan, butuh seseorang yang bisa diajaknya berbicara. Dan orang itu adalah aku. Seorang sahabat yang belum bisa sepenuhnya menyusup dinding hati Ros untuk diajak berbagi. Semakin mengingat Ros, semakin bertumpuk penyesalan. Aku tergugu dalam rindu pilu. Berjuta lamunan kembali terekam. Ingin rasanya apartemen kecil ini terisi kembali oleh cerita Ros, Menangis bersama, tertawa berdua, menghapus segala emosi jiwa.
Sampai suatu hari, lamunanku tiba-tiba buyar oleh suara ketukan pintu rumahku. "Ros......?!" aku tersentak menatap sosok di hadapanku. Ingin rasanya kuhamburkan badan memeluknya. Penampilannya berubah. Begitu anggun dengan balutan baju panjang biru muda dengan penutup kepala berbunga-bunga.
"Iiiih... Kok bengong? Bener ini aku, Non. Boleh masuk nggak?" dalam bola matanya aku melihat kerinduan yang sama. "Pinjam kamar mandi, Non. Nggak tahan nih." ujar Ros memecah keterpakuanku, berlari masuk, seolah tak pernah terjadi sesuatu. "Pintu depan jangan ditutup, Jhon dan Bira masih di tempat parkiran," pinta Ros di balik pintu kamar mandi.
Mereka berdua ada di luar? Apa aku tidak salah dengar? Belum lagi hilang penasaranku, tiba-tiba Jhon dan Bira muncul di depan pintu dengan wajah ramah. Tak berapa lama Ros keluar dari kamar mandi dengan tetesan air di wajahnya. Aku tetap dalam bisuku tak tahu harus berkata apa sambil menatap kagum perubahan dalam diri Ros. "Loh, kok masih bengong? Cepetan pinjem sajadah, Non. Gue mau ikut shalat nih." ucapnya membuyarkan aku yang terpaku bagai patung.
Rasa syukur begitu menderu. Aku tak menyangka dengan penampilan dan perubahan Ros. Sudah beberapa lama aku tak pernah melihat Ros bersujud di hadapanNya. Namun sekarang kejaiban itu sedang kulihat. Ketiga tamuku membentuk tiga deretan barisan rapi. Paling depan adalah Jhon yang memimpin shalat. Terdengar ejaan bacaan yang masih terbata-bata keluar dari mulutnya. Aku hanya bisa menatap haru ketiga punggung tamuku.
Kini Ros telah berubah. Cahaya Allah telah menuntunnya tersadar sejak pertemuan terakhir kami. Ros mengatakan masa setahun adalah masa perenungan diri. Ia tinggalkan panggung tari dan mulai kembali menapaki kebenaran jalan cintanya. Berusaha meluruskan biduk purinya yang terseok bersama Jhon. Mengumpulkan kepingan piring tajam yang terpecah dari hati Bira untuk disatukan kembali dalam rumah kasih. Tidak ada lagi puntung rokok di tangan dan kepulan asap di bibir. Ros kini tengah berusaha meniti bahagia hakiki menuju ridhaNya.
Dan aku, tetap berada di sini menjadi sahabat yang setia untuk setiap ceritanya. Menikmati semua tutur katanya, baik canda tawa ataupun getir luka. Berusaha menisik lubang hari-hari sepinya agar tertutup menjadi bahagia bersama. Semua cerita Ros, akan kusimpan dalam file berlabel episode torehan kisah seorang sahabat, di dalam hati yang paling dalam yang tak akan pernah kulupakan. [Vivi Tan / Jakarta]
* DA JIA PENG YOU - XIN NIEN KUAI LE - GONG XI FA CHAI *