Jumat (21/10), bertempat di CCCL ruang Salle France, diadakan acara bincang-bincang dengan Madame Claudine Salmon (78), peneliti senior dari Perancis serta Myra Sidharta (80) tentang Budaya Tinghoa di Indonesia.
Acara ini diadakan CCIS (Pusat Studi Indonesia Tionghoa), sebuah pusat studi yang bernaung di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UK Petra, yang mengkhususkan diri pada kajian terkait komunitas Tionghoa, bekerja sama dengan Yayasan Caraka Mulia dan CCCL selaku penyedia tempat diskusi.
"Kedua pembicara, Madame Claudine Salmon seorang peneliti senior di Perancis, sampai sekarang aktif melakukan riset di Indonesia dan Tiongkok saja. Sedangkan Ibu Myra Sidharta merupakan pensiunan dosen jurusan psikologi Universitas Indonesia yang juga aktif dalam Pusat Studi Chinese di UI," papar Aditya dari CCIS.
Acara informal tersebut dihadiri puluhan komunitas Tionghoa di Surabaya.
"Sebenarnya tidak ada target yang ingin diraih. Kami hanya memanfaatkan agenda kedatangan Madame Salmon, tiap tahun beliau selalu melakukan riset di Indonesia. Harapannya, generasi muda kita dapat belajar dan memahami budaya Tionghoa, khususnya di Surabaya yang sebenarnya sangat kaya dan dapat dibuktikan lewat prasasti yang ditemukan Madame Salmon," tandas Aditya.
Sebelum ke Surabaya, Madam telah melakukan kunjungan ke Pulau Madura.
"Dari sekian banyak riset yang telah saya lakukan dan mengacu dari prasasti, sebenarnya budaya Tionghoa di Surabaya sangat berpengaruh terhadap perkembangan budaya Indonesia. Salah satunya produk Sastra Melayu Tionghoa," papar Madame Salmon.
Sementara itu, Myra Sidharta, berbicara mengenai penanggalan Imlek yang ternyata buatan warga Surabaya, serta penjelasan umum terkait enggan-nya warga Tionghoa dipanggil,"Hey, Cina".
"Memang penanggalan Imlek yang menemukan warga Tionghoa Surabaya. Bahkan kalau sekarang penanggalan tersebut selisih 15 tahun dengan kepunyaan negara Cina, karena ditambahkan waktu kelahiran Konghucu," terangnya.
Sementara itu, terkait panggilan Cina, diceritakan pada abad 20, orang Tionghoa di Indonesia mengalami diskriminasi dari Belanda.
"Bahkan kita status sosialnya jauh di bawah pribumi. Kalau mau jalan luar kota harus bawa kartu pas dari instansi terkait dan itu butuh waktu lama. Seumpama dipenjara kita jadi satu dengan orang biasa, tapi kalau orang Jepang tempatnya sama dengan warga Eropa, belum lagi dalam bidang pendidikan," tandasnya.
Jadi, bagi warga yang banyak belajar mengenai sejarah dan budaya Tionghoa akan menolak dipanggil Cina.
"Kalau diceritakan, waktu 2 jam ini tidak akan cukup. Keengganan itu ada kaitannya dengan kesadaran diri akan kebesaran budaya Tionghoa. Bahkan pernah terjadi, dalam suatu rapat, salah satu peserta ada yang bilang Cina. Begitu dengar, mereka yang merasa Tionghoa langsung walkout keluar kantor," pungkas Myra. [Meilinda Chen /Jakarta / Tionghoanews]
Acara ini diadakan CCIS (Pusat Studi Indonesia Tionghoa), sebuah pusat studi yang bernaung di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UK Petra, yang mengkhususkan diri pada kajian terkait komunitas Tionghoa, bekerja sama dengan Yayasan Caraka Mulia dan CCCL selaku penyedia tempat diskusi.
"Kedua pembicara, Madame Claudine Salmon seorang peneliti senior di Perancis, sampai sekarang aktif melakukan riset di Indonesia dan Tiongkok saja. Sedangkan Ibu Myra Sidharta merupakan pensiunan dosen jurusan psikologi Universitas Indonesia yang juga aktif dalam Pusat Studi Chinese di UI," papar Aditya dari CCIS.
Acara informal tersebut dihadiri puluhan komunitas Tionghoa di Surabaya.
"Sebenarnya tidak ada target yang ingin diraih. Kami hanya memanfaatkan agenda kedatangan Madame Salmon, tiap tahun beliau selalu melakukan riset di Indonesia. Harapannya, generasi muda kita dapat belajar dan memahami budaya Tionghoa, khususnya di Surabaya yang sebenarnya sangat kaya dan dapat dibuktikan lewat prasasti yang ditemukan Madame Salmon," tandas Aditya.
Sebelum ke Surabaya, Madam telah melakukan kunjungan ke Pulau Madura.
"Dari sekian banyak riset yang telah saya lakukan dan mengacu dari prasasti, sebenarnya budaya Tionghoa di Surabaya sangat berpengaruh terhadap perkembangan budaya Indonesia. Salah satunya produk Sastra Melayu Tionghoa," papar Madame Salmon.
Sementara itu, Myra Sidharta, berbicara mengenai penanggalan Imlek yang ternyata buatan warga Surabaya, serta penjelasan umum terkait enggan-nya warga Tionghoa dipanggil,"Hey, Cina".
"Memang penanggalan Imlek yang menemukan warga Tionghoa Surabaya. Bahkan kalau sekarang penanggalan tersebut selisih 15 tahun dengan kepunyaan negara Cina, karena ditambahkan waktu kelahiran Konghucu," terangnya.
Sementara itu, terkait panggilan Cina, diceritakan pada abad 20, orang Tionghoa di Indonesia mengalami diskriminasi dari Belanda.
"Bahkan kita status sosialnya jauh di bawah pribumi. Kalau mau jalan luar kota harus bawa kartu pas dari instansi terkait dan itu butuh waktu lama. Seumpama dipenjara kita jadi satu dengan orang biasa, tapi kalau orang Jepang tempatnya sama dengan warga Eropa, belum lagi dalam bidang pendidikan," tandasnya.
Jadi, bagi warga yang banyak belajar mengenai sejarah dan budaya Tionghoa akan menolak dipanggil Cina.
"Kalau diceritakan, waktu 2 jam ini tidak akan cukup. Keengganan itu ada kaitannya dengan kesadaran diri akan kebesaran budaya Tionghoa. Bahkan pernah terjadi, dalam suatu rapat, salah satu peserta ada yang bilang Cina. Begitu dengar, mereka yang merasa Tionghoa langsung walkout keluar kantor," pungkas Myra. [Meilinda Chen /Jakarta / Tionghoanews]