Mahadewa Guan Gong adalah dewa yang cukup terkenal dan salah satu yang paling sering dipuja di kalangan masyarakat Tionghoa. Guan Gong dihormati para penganut agama Tao, agama Budha, dan penganut agama Konghucu di Tiongkok.
Dewa ini dikenal oleh masyarakat Tionghoa sebagai simbol dari kesetiaan, kejujuran, keadilan, ksatria, dan tak pernah tergoyahkan oleh godaan yang bersifat duniawi. "Sikapnya yang memegang teguh pada janji dan dapat dipercaya patut dijadikan teladan bagi masyarakat luas," kata pengamat budaya Tionghoa asal Solo Aryanto Wong, pekan kemarin.
Pada masa hidupnya Guan Gong adalah seorang panglima perang tersohor. Hidup di tahun 160-219 Masehi pada masa San Guo atau Sam Kok, dewa ini bernama asli Guan Yu Koan, dalam dialek hokian.
Dengan segala kebesaran jiwa dan keluhuran wataknya sebagai manusia, sang panglima besar ini juga dilukiskan dengan sangat indah dalam novel San Guo. Di novel itu juga diceritakan kisah tiga kerajaan tersohor di zamannya.
"Dalam kisah tiga kerajaan ini banyak kita pelajari tentang makna persaudaraan sejati seperti sifat kesetiaan, kejujuran, dan ksatria dari sosok Guan Gong.
Momentumnya ketika tiga bersaudara dari tiga kerajaan ini mengangkat tali persaudaraan di dalam Kebun Persik," pungkasnya.
Aryanto melanjutkan, momentumnya adalah ketika tiga bersaudara ini saling bahu membahu dalam menumpas peperangan melawan seorang panglima perang tangguh bernama Lu Bu. "Karena sifat-sifatnya yang mulia, dewa ini banyak dijadikan lukisan dalam momen-momen tertentu.
Salah satunya seperti lukisan waktu berperang yang menggambarkan kehangatan dan ketulusan hubungan batin antarsaudara yang dilandasi oleh rasa kasih sayang," tandasnya.
Dikatakan Aryanto, sampai sekarang masih banyak anak-anak sekolah dasar di Jepang yang mendapat pelajaran tentang sejarah kisah tiga kerajaan San Guo ini.
"Suatu ketika ada seorang teman berkunjung ke rumahku, orang itu mengatakan Guan Gong juga merupakan bagian dari budaya di negaranya. Dan orang Vietnam itu juga tahu tentang figur Guan Gong," tutupnya. [Yenni Huang / Solo / Tionghoanews]