Story: Sengaja aku menulis kisah ini, sekedar untuk mengurangi beban penyesalan yang menyesakan dada. Namaku Ryan (samaran) saat ini aku bekerja disebuah perusahaan swasta nasional di Jakarta.
Kisahku bermula saat aku bertemu dengan seorang gadis bertampang imut di kampus dimana aku sedang menuntut ilmu, sebut saja namanya Bidadari. Entah mengapa pertemuanku dengan Bidadari seperti membuka kembali lembaran lama kisah percintaanku. Semangat hidup yang saat itu mulai redup seperti terbangkitkan kembali, hingga hari-hariku selanjutnya dipenuhi dengan angan-angan yang hampir menyentuh langit.
Sebagai mahasiswa baru, Bidadari memang membutuhkan banyak bimbingan, dan secara kebetulan ia berada satu fakultas denganku. Jadi aku dengan leluasa bisa mendekatinya dan alasanku sangat tepat yaitu ingin membantunya dalam menyelesaikan segala urusan perkuliahan, mulai dari mengisi SKS, daftar ulang sampai hal-hal kecil lainnya. Dan untunglah Bidadari tak keberatan dengan bantuan yang kutawarkan.
Sejak saat itu, hampir setiap hari aku selalu mendampingi bidadari, mengantarnya saat ia pulang dan membimbingnya saat ia mengalami kesulitan di perkuliahan. Singkat kata walaupun belum bisa dikatakan berpacaran kami semakin hari semakin akrab, sampai-sampai teman seangkatanku merasa iri. "Bisa aja loh Ryan, nyari daun muda, biar bisa di boongin ya," begitu mereka kerap memperolok-olok aku.
Setelah berjalan selama hampir dua bulan, aku memutuskan untuk menyampaikan perasaanku yang sebenarnya. Disebuah halte bus aku sampaikan perasaanku, sementara Bidadari hanya menatapku dengan pandangan penuh tanya. Dan beberapa saat kemudian ia menanyakan alasanku memilih dirinya."Aku suka kamu, karena kamu mirip dengan seseorang yang pernah mengisi hatiku saat SMU dulu," ungkapku.
Namun ungkapan itulah yang akhirnya membuat banyak persoalan. Disatu sisi Bidadari ingin meneruskan hubungan ini kearah yang lebih intim, dan disisi lain ia merasa sangat tak dihargai, karena aku mencintainya semata hanya karena ia mirip dengan seseorang yang pernah mengisi hatiku. Dan itu membuatya terluka, dan kulihat setitik air mata menetes dipipinya yang lembut.
Sejak saat itu aku tak melihat kembali keceriaan dimatanya yang indah, ia kerap menghindar saat aku berusaha menjelaskan semuanya, ia tetap berkeras hati tak ingin melanjutkan hubungan itu, dan aku tak lagi bisa berbuat apa-apa, hanya diam mematung dan menyesali semua ungkapanku yang bodoh.
Demikianlah hampir selama empat tahun kami menjalani kesibukan masing-masing, begitu juga untuk urusan percintaan, aku telah menemukan seorang pengganti, walau sebenarnya perasaanku terhadapnya tak mungkin bisa hilang sampai kapanpun. Begitu juga dengan Bidadari yang akhirnya berbahagia dengan kekasihnya.
Setelah lulus, komunikasi kami hanya berlangsung sesekali, itupun dilakukan melalui sambungan telepon, sekedar untuk mengetahui kabar dan keadaan masing-masing. Padahal saat komunikasi itu berlangsung aku masih saja berharap Bidadari bisa kembali mencintaiku, jika saja itu bisa terwujud mungkin aku langsung mengajaknya menikah, namun sayang ia tak pernah memberiku kesempatan untuk itu.
Singkat cerita, selama hampir dua tahun belakangan, kami tak lagi sempat berkomunikasi, dan aku tak pernah tahu bagaimana kabarnya, apakah ia sudah menikah dengan pria pilihannya, atau… ah… entahlah aku tak pernah mau membayangkan hal itu, hanya saja senyumnya yang manis, tatapan matanya yang bening dan teduh, terus membayangi hari-hariku dan aku rindu… demi Tuhan aku rindu…
Beberapa hari lalu, kerinduanku seakan tak tertahankan, aku mencoba mencari kembali nomor telepon genggamnya dibeberapa file yang aku punya. Walau keraguan hinggap berkali-kali dihati ini, akhirnya kutekan nomor demi nomor dan suara seorang perempuan terdengar diseberang sana, dan sebagian dahagaku sepertinya hilang dalam sekejap.
Saat komunikasi terakhir itulah, aku mengetahui bahwa perempuan yang sangat aku harapkan dapat mendampingiku ternyata baru saja menikah, sesak dan tenggelam dalam penyesalan sontak memenuhi rongga dadaku, pasalnya dari ungkapan Bidadari, ia sempat berharap bertemu aku sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah dengan pria lain.
Kini aku tak bisa lagi berharap, namun aku tetap berdoa untuknya, agar diberi keselamatan dalam setiap aktifitasnya dan memiliki keluarga yang dapat membahagiakannya. Dulu aku sempat berucap kepadanya bahwa kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga. Dengan alasan itu pula aku seharusnya berbahagia, karena saat ini mungkin Bidadari telah menemukan kebahagiaan bersama suaminya, semoga! [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews.com]
Kisahku bermula saat aku bertemu dengan seorang gadis bertampang imut di kampus dimana aku sedang menuntut ilmu, sebut saja namanya Bidadari. Entah mengapa pertemuanku dengan Bidadari seperti membuka kembali lembaran lama kisah percintaanku. Semangat hidup yang saat itu mulai redup seperti terbangkitkan kembali, hingga hari-hariku selanjutnya dipenuhi dengan angan-angan yang hampir menyentuh langit.
Sebagai mahasiswa baru, Bidadari memang membutuhkan banyak bimbingan, dan secara kebetulan ia berada satu fakultas denganku. Jadi aku dengan leluasa bisa mendekatinya dan alasanku sangat tepat yaitu ingin membantunya dalam menyelesaikan segala urusan perkuliahan, mulai dari mengisi SKS, daftar ulang sampai hal-hal kecil lainnya. Dan untunglah Bidadari tak keberatan dengan bantuan yang kutawarkan.
Sejak saat itu, hampir setiap hari aku selalu mendampingi bidadari, mengantarnya saat ia pulang dan membimbingnya saat ia mengalami kesulitan di perkuliahan. Singkat kata walaupun belum bisa dikatakan berpacaran kami semakin hari semakin akrab, sampai-sampai teman seangkatanku merasa iri. "Bisa aja loh Ryan, nyari daun muda, biar bisa di boongin ya," begitu mereka kerap memperolok-olok aku.
Setelah berjalan selama hampir dua bulan, aku memutuskan untuk menyampaikan perasaanku yang sebenarnya. Disebuah halte bus aku sampaikan perasaanku, sementara Bidadari hanya menatapku dengan pandangan penuh tanya. Dan beberapa saat kemudian ia menanyakan alasanku memilih dirinya."Aku suka kamu, karena kamu mirip dengan seseorang yang pernah mengisi hatiku saat SMU dulu," ungkapku.
Namun ungkapan itulah yang akhirnya membuat banyak persoalan. Disatu sisi Bidadari ingin meneruskan hubungan ini kearah yang lebih intim, dan disisi lain ia merasa sangat tak dihargai, karena aku mencintainya semata hanya karena ia mirip dengan seseorang yang pernah mengisi hatiku. Dan itu membuatya terluka, dan kulihat setitik air mata menetes dipipinya yang lembut.
Sejak saat itu aku tak melihat kembali keceriaan dimatanya yang indah, ia kerap menghindar saat aku berusaha menjelaskan semuanya, ia tetap berkeras hati tak ingin melanjutkan hubungan itu, dan aku tak lagi bisa berbuat apa-apa, hanya diam mematung dan menyesali semua ungkapanku yang bodoh.
Demikianlah hampir selama empat tahun kami menjalani kesibukan masing-masing, begitu juga untuk urusan percintaan, aku telah menemukan seorang pengganti, walau sebenarnya perasaanku terhadapnya tak mungkin bisa hilang sampai kapanpun. Begitu juga dengan Bidadari yang akhirnya berbahagia dengan kekasihnya.
Setelah lulus, komunikasi kami hanya berlangsung sesekali, itupun dilakukan melalui sambungan telepon, sekedar untuk mengetahui kabar dan keadaan masing-masing. Padahal saat komunikasi itu berlangsung aku masih saja berharap Bidadari bisa kembali mencintaiku, jika saja itu bisa terwujud mungkin aku langsung mengajaknya menikah, namun sayang ia tak pernah memberiku kesempatan untuk itu.
Singkat cerita, selama hampir dua tahun belakangan, kami tak lagi sempat berkomunikasi, dan aku tak pernah tahu bagaimana kabarnya, apakah ia sudah menikah dengan pria pilihannya, atau… ah… entahlah aku tak pernah mau membayangkan hal itu, hanya saja senyumnya yang manis, tatapan matanya yang bening dan teduh, terus membayangi hari-hariku dan aku rindu… demi Tuhan aku rindu…
Beberapa hari lalu, kerinduanku seakan tak tertahankan, aku mencoba mencari kembali nomor telepon genggamnya dibeberapa file yang aku punya. Walau keraguan hinggap berkali-kali dihati ini, akhirnya kutekan nomor demi nomor dan suara seorang perempuan terdengar diseberang sana, dan sebagian dahagaku sepertinya hilang dalam sekejap.
Saat komunikasi terakhir itulah, aku mengetahui bahwa perempuan yang sangat aku harapkan dapat mendampingiku ternyata baru saja menikah, sesak dan tenggelam dalam penyesalan sontak memenuhi rongga dadaku, pasalnya dari ungkapan Bidadari, ia sempat berharap bertemu aku sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah dengan pria lain.
Kini aku tak bisa lagi berharap, namun aku tetap berdoa untuknya, agar diberi keselamatan dalam setiap aktifitasnya dan memiliki keluarga yang dapat membahagiakannya. Dulu aku sempat berucap kepadanya bahwa kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga. Dengan alasan itu pula aku seharusnya berbahagia, karena saat ini mungkin Bidadari telah menemukan kebahagiaan bersama suaminya, semoga! [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews.com]