Cerpen: Besok adalah hari pernikahanku dengan Nikita, gadis yang ku lamar dua minggu lalu. Ia adalah teman se-permainan-ku. Seharusnya hari ini aku bahagia, tapi kenyataannya aku gelisah. Hatiku bimbang. Rona wajahku bimbang.
Di luar kamar banyak suara orang-orang yang akan mempersiapkan hari besar dan bersejarah bagiku. Orang tuaku, keluarga-keluargaku dan tetangga-tetangga terdengar sibuk mempersiapkan ini-itu. Aku dikamar, sendiri. Wajahku tak kuasa menahan tuk menunjukkan kegelisahan hatiku. Aku merasa tidak tenang.
Sementara Nikita mungkin juga sedang mempersiapkan dirinya. Dia akan dirias dari rumahnya, dua kilometer dari rumahku. Entah apa yang dia rasakan saat ini. Tapi aku yakin tidak seperti yang ku rasakan.
Nurlin, dialah pelakunya. Dialah yang membuat hatiku gelisah. Gadis yang sangat mencintaiku, tapi aku meninggalkannya tanpa kabar. Tanpa pamit.
***
Semua ini berawal tiga tahun yang lalu, aku merantau ke kota Gorontalo, ibu kota provinsi Gorontalo. Aku berkenalan dengan seorang gadis tempatan, keturunan asli Gorontalo. Putih, agak kecil tubuhnya, berjilbab, matanya sipit hanya saja bukn keturunan etnis Tionghoa; Nurlin namanya.
Aku bekerja sebagai pegawai di sebuah rumah makan di sana. Rumah makan Silvia. Pemiliknya seorang ibu berketurunan suku Jawa. Beliau sudah lama tinggal di kota Gorontalo, baru sepuluh tahun lamanya.
Beliau bagai orang tuaku di sana. Bahkan dia sering menanyakan tentang hubunganku dengan Nur, sapaan akrab Nurlin. "Mba", selama dua tahun aku bekerja, aku bahkan tak tahu nama aslinya. Hanya sapaan itu yang selalu kusapa untuknya. "Mba Jawa, ibunya Silvi", begitu ia dikenal namanya di sana.
Hanya butuh dua bulan penjajakan, aku mulai serius dengan Nur. Dia memperkenalkanku pada orang tuanya.
"Umi, Abi, ini kakak Reza," Nurlin dengan senyum manisnya memperkenalkanku pada orang tuanya. Terihat seperti sudah di rencanakan sebelumnya, Nur tidaklah canggung berkata-kata. Aku dapat melihat skenarionya. Aku dan Nur mendapat restu dari keduanya.
"Jadi ini Reza yang ti Nur jaga cirita kamari1," sambut ibunya Nur. Ayahnya Nur diam saja. "Umi dan Abi" begitu belakangan ku ketahui panggilan Nur terhadap mereka. "Ternyata memang seperti yang nur jaga cirita2, Reza anak yang baik dan sopan." Ibunya memujiku. Nur dan aku hanya bias tersipu malu dengan mata yang berbinar-berbinar di dalam tunduk.
***
"Rez? Mama kwa suka baku dapa dengan Nikita. Pangge kamari ka rumah ne pa dia! To minggu lalu Reza so lamar pa dia, Mama suka mo tes pa dia3," seru Mama penuh arti. Aku melihat susuatu yang berbeda dari senyum Mama. Seperti senyum seorang petualang menemukan wahana baru.
Keesokan harinya Nikita datang kerumahku. Aku harap-harap-cemas memikirkan "misteri senyum Mama". Nikita langsung saja cipika-cipiki4 dengan Mama. Bagai ibu-anak mereka akrab sekali, begitu saja Mama langsung memanggil Nikita untuk masak bersama.
"hm… masak bersama?" gumamku. Sepertinya Mama ingin melihat skill memasaknya Nikita. Iseng saja aku mengintip mereka ke dapur.
Tepung beras, gula mera5, dan lain-lain terletak di meja dapur. "Cucur Perawan!!" aku peranjat. Darahku seketika terkumpul di dada dan sejenak membeku. "Jangan-jangan…?" aku mulai kuatir.
***
Kukis Cucur6, telah lama dikenal oleh Tou Minahasa7. Kue ini memiliki bentuk yang khas. Bagian pinggirannya memiliki renda. Renda pada bagian pinggirnya pun terbentuk dengan sendirinya ketika digoreng. Butuh keahlian khusus dalam membuat adonan Kukis Cucur yang dapat menghasilkan renda di bagian pinggirnya.
Kukis Cucur terbaik memiliki 32 buah renda di pinggirannya. Aku tak pernah mengerti apa artinya. Yang jelas kebanyakan Tou Minahasa menyebutnya seperti itu.
Konon kabarnya, Kukis Cucur dengan 32 renda hanya dapat dihasilkan dari tangan seorang perawan atau gadis yang menikah ketika masih perawan.
Ternyata benar Mama menyuruh Nikita membuatkan Kukis Cucur. Menurutku ini hanya tradisi dan sudah diartikan berbeda oleh masyarakat modern. Tapi aku tetap kuatir kalau Nikita tidak bisa lulus tes ini. "Mama kwa cuma mo lia dia tau momasa atau nyanda8," Mama berbisik padaku.
Satu jam berlalu, banyak tawa yang terlantun di dapur yang ku dengar dari mereka. Mama dan Nikita makin terlihat akrab dengan. Kendati tak satu pun Kukis Cucur buatan Nikita yang rendanya tepat 32, tapi itu tak menjadi masalah. Mereka bahagia. Aku pun bahagia melihatnya.
***
Cucur adalah kue andalan Nurlin. Aku paling tidak suka dengan kue sejak kecil. Tapi Nur membuatku berubah. Cucur buatan Nur enak sekali. Entah karena perasaanku saja atau memang benar-benar enak. Tapi aku mulai suka dengan kue ini.
Pintar masak, pekerja keras. Aku sangat mencintainya, Nur juga sangat mencintaiku. Aku yakin begitu. Bahkan setelah menyelesaikan kulianya dia berencana melanjutkan hubungan kami kepada ikatan yang suci, pernikahan.
"Umi dan Abi setuju saja, Nur. Kan Nur dengan Reza yang akan menjalaninya. Reza juga anak yang bae-bae9," ujar ibunya Nur. Hatiku meloncat-loncat mendengarnya.
"Tuhan maha memberi rizki. Apalagi orang yang menikah akan lebih dimudahkan rizkinya oleh Tuhan," gubah ibunya dengan semangat dan santun. Kami hanya dapat tersenyum-senyum sendiri.
***
Ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya, semua orang seharusnya berhak menentukan pilihannya, khususnya soal pasangan hidup. Tapi tidak dengan Mama. Aku disuruh pulang ke Tondano. Kampung halamanku. Aku dijodohkan dengan pilihan orang tuaku.
"Reza so ada pilihan, Ma! Please kwa!10" aku bersikeras dengan pilihanku.
"Nak, Mama so pilih akang yang paling bagus for Reza11. Cantik, pintar, dari keluraga baik-baik." Mama meyakinkanku.
Tak mau mengikuti keinginan mereka, aku dipaksa pulang. Keesokan harinya, Papa muncul di tempat aku tinggal di Gorontalo dengan tiba-tiba.
Seperti sudah direncanakan sebelumnya, mereka memiliki strategi jitu. Aku bahkan tak menyadari plan B Mama. Terpaksa aku ikut pulang dengan Papa. Aku memang tak bisa pulang. Tapi aku juga tak boleh menjadi anak yang durhaka.
Hanya Mba yang sempat aku ucapkan ucapan pamit dengan membawa seluruh barang-barangku. Nurlin tak tahu sama sekali.
Itu adalah pagi yang singkat. Papa bagai tim Densus12 88 yang menggrebek tempat persembunyian teroris. Terorisnya tak berkutik. Aku tertangkap setelah sholat subuh. Mba hanya bisa meng-iya-kan setelah mendengar penjelasan dari Papa.
Aku menangis selama perjalanan. Papa menyetir mobil avanza hijau miliknya. Kami bertiga dalam mobil, aku, papa dan supir pribadi kami; pak Amin. Aku tak bisa menerimanya. Aku ingin berontak. Tapi apa boleh buat.
Capek menangis membuatku terlelap. Yang terakhir ku ingat bahwa kami baru saja melewati tugu perbatasan Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Utara.
Tiba-tiba aku terbangun dan sudah dirumah secara ajaib menurutku. Aku hanya tertidur dan ketika bangun langsung di rumah. Seperti kisah Ashabul Kahfi yang mengira mereka tertidur hanya sehari atau setengah hari saja.
Handphone-ku tak ada. Aku tak bisa bisa menghubungi Nur sama sekali. Aku bertanya pada Papa dan beliau berkata bahwa benda itu ada pada Mama. Mama menyita Handphone-ku.
***
Pagi-pagi sekali keesokan harinya kami datang ke rumah Nikita. Gadis yang di jodohkan dengan ku. Papa, Mama dang aku. Kami datang melamar Nikita secara resmi, walau sebelumnya kami sudah di jodohkan. Ini adalah tradisi dan ini adalah ritual wajib menurutku. Aku masih sulit mengumpulkan kesadaranku. Seolah ini semua hanya mimpi.
Baru dua hari, dan aku mengalami hari-hari yang besar. Kemarin tim Densus 88 menggrebekku, lalu bagaikan masuk ke pintu dimensi ruang dan waktu aku tiba-tiba telah di rumah sebelum aku menyadarinya.
Sekaligus semua ini berarti aku meninggalkan Nur tanpa sepatah katapun. Dan pada hari ini aku melamar gadis lain yang tak ku cintai.
"Alhamdulillah, pernikahan mereka akan diadakan dua minggu lagi!" mereka bersepakat. Pikiranku melayang jauh menerawang. Pikiranku tak berada lagi di tempat ini. Melayang jauh ke kota seberang 450 kilometer dari sini. Butuh 9 jam perjalanan darat ke sana, tapi hanya beberapa detik saja pikiranku bisa terbang ke sana.
***
Tibalah hari yang tunggu semua orang kecuali aku. Hari pernikahan kami, pernikahan aku dan Nikita. Aku berkhianat atas cintaku pada Nurlin. Bukan karena keinginanku. Ini keinginan orang tuaku.
Mama meyakinkanku dengan sabdanya. Mama menjelaskan tentang cinta, "cinta itu akan tumbuh, belajarlah untuk mencintai Nikita." Mata Mama berkilat-kilat menatap mataku.
"Andai kami kaweng13. Dia akan memiliki diriku, tapi tidak hatiku."
"Belajarlah, so nda guna skarang14." Tegas Mama.
Akhirnya Ijab-Qobul terucap. Nikita telah menjadi yang halal bagiku. Aku menghela napas panjang. Aku tak berdaya. Aku harus belajar mencintai Nikita. Semangatku membela ideologiku bagai lilin yang kehabisan sumbu. Aku menerima nasibku dengan tabah. "Aku harus belajar mencintainya!!" aku memantapkan hatiku.
"Nak, ini handphone-mu," kata mama sambil menyodorkan handphone Nokia 2700c. Mataku menyapu permukaannya seperti peneliti menemukan sebuah benda asing. Sepertinya ini bukan milikku. "Kartunya tetap," ujar mama sambil meninggalku aku dan Nikita di kamar.
Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk dari nomor yang tak bernama ke handphone baruku.
"Selamat menempuh hidup barumu, kak. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmat dari Tuhan. Nurlin"
Tak kuasa air mataku mengalir membacanya. [Maria Lim / Jakarta / Tionghoanews]
Di luar kamar banyak suara orang-orang yang akan mempersiapkan hari besar dan bersejarah bagiku. Orang tuaku, keluarga-keluargaku dan tetangga-tetangga terdengar sibuk mempersiapkan ini-itu. Aku dikamar, sendiri. Wajahku tak kuasa menahan tuk menunjukkan kegelisahan hatiku. Aku merasa tidak tenang.
Sementara Nikita mungkin juga sedang mempersiapkan dirinya. Dia akan dirias dari rumahnya, dua kilometer dari rumahku. Entah apa yang dia rasakan saat ini. Tapi aku yakin tidak seperti yang ku rasakan.
Nurlin, dialah pelakunya. Dialah yang membuat hatiku gelisah. Gadis yang sangat mencintaiku, tapi aku meninggalkannya tanpa kabar. Tanpa pamit.
***
Semua ini berawal tiga tahun yang lalu, aku merantau ke kota Gorontalo, ibu kota provinsi Gorontalo. Aku berkenalan dengan seorang gadis tempatan, keturunan asli Gorontalo. Putih, agak kecil tubuhnya, berjilbab, matanya sipit hanya saja bukn keturunan etnis Tionghoa; Nurlin namanya.
Aku bekerja sebagai pegawai di sebuah rumah makan di sana. Rumah makan Silvia. Pemiliknya seorang ibu berketurunan suku Jawa. Beliau sudah lama tinggal di kota Gorontalo, baru sepuluh tahun lamanya.
Beliau bagai orang tuaku di sana. Bahkan dia sering menanyakan tentang hubunganku dengan Nur, sapaan akrab Nurlin. "Mba", selama dua tahun aku bekerja, aku bahkan tak tahu nama aslinya. Hanya sapaan itu yang selalu kusapa untuknya. "Mba Jawa, ibunya Silvi", begitu ia dikenal namanya di sana.
Hanya butuh dua bulan penjajakan, aku mulai serius dengan Nur. Dia memperkenalkanku pada orang tuanya.
"Umi, Abi, ini kakak Reza," Nurlin dengan senyum manisnya memperkenalkanku pada orang tuanya. Terihat seperti sudah di rencanakan sebelumnya, Nur tidaklah canggung berkata-kata. Aku dapat melihat skenarionya. Aku dan Nur mendapat restu dari keduanya.
"Jadi ini Reza yang ti Nur jaga cirita kamari1," sambut ibunya Nur. Ayahnya Nur diam saja. "Umi dan Abi" begitu belakangan ku ketahui panggilan Nur terhadap mereka. "Ternyata memang seperti yang nur jaga cirita2, Reza anak yang baik dan sopan." Ibunya memujiku. Nur dan aku hanya bias tersipu malu dengan mata yang berbinar-berbinar di dalam tunduk.
***
"Rez? Mama kwa suka baku dapa dengan Nikita. Pangge kamari ka rumah ne pa dia! To minggu lalu Reza so lamar pa dia, Mama suka mo tes pa dia3," seru Mama penuh arti. Aku melihat susuatu yang berbeda dari senyum Mama. Seperti senyum seorang petualang menemukan wahana baru.
Keesokan harinya Nikita datang kerumahku. Aku harap-harap-cemas memikirkan "misteri senyum Mama". Nikita langsung saja cipika-cipiki4 dengan Mama. Bagai ibu-anak mereka akrab sekali, begitu saja Mama langsung memanggil Nikita untuk masak bersama.
"hm… masak bersama?" gumamku. Sepertinya Mama ingin melihat skill memasaknya Nikita. Iseng saja aku mengintip mereka ke dapur.
Tepung beras, gula mera5, dan lain-lain terletak di meja dapur. "Cucur Perawan!!" aku peranjat. Darahku seketika terkumpul di dada dan sejenak membeku. "Jangan-jangan…?" aku mulai kuatir.
***
Kukis Cucur6, telah lama dikenal oleh Tou Minahasa7. Kue ini memiliki bentuk yang khas. Bagian pinggirannya memiliki renda. Renda pada bagian pinggirnya pun terbentuk dengan sendirinya ketika digoreng. Butuh keahlian khusus dalam membuat adonan Kukis Cucur yang dapat menghasilkan renda di bagian pinggirnya.
Kukis Cucur terbaik memiliki 32 buah renda di pinggirannya. Aku tak pernah mengerti apa artinya. Yang jelas kebanyakan Tou Minahasa menyebutnya seperti itu.
Konon kabarnya, Kukis Cucur dengan 32 renda hanya dapat dihasilkan dari tangan seorang perawan atau gadis yang menikah ketika masih perawan.
Ternyata benar Mama menyuruh Nikita membuatkan Kukis Cucur. Menurutku ini hanya tradisi dan sudah diartikan berbeda oleh masyarakat modern. Tapi aku tetap kuatir kalau Nikita tidak bisa lulus tes ini. "Mama kwa cuma mo lia dia tau momasa atau nyanda8," Mama berbisik padaku.
Satu jam berlalu, banyak tawa yang terlantun di dapur yang ku dengar dari mereka. Mama dan Nikita makin terlihat akrab dengan. Kendati tak satu pun Kukis Cucur buatan Nikita yang rendanya tepat 32, tapi itu tak menjadi masalah. Mereka bahagia. Aku pun bahagia melihatnya.
***
Cucur adalah kue andalan Nurlin. Aku paling tidak suka dengan kue sejak kecil. Tapi Nur membuatku berubah. Cucur buatan Nur enak sekali. Entah karena perasaanku saja atau memang benar-benar enak. Tapi aku mulai suka dengan kue ini.
Pintar masak, pekerja keras. Aku sangat mencintainya, Nur juga sangat mencintaiku. Aku yakin begitu. Bahkan setelah menyelesaikan kulianya dia berencana melanjutkan hubungan kami kepada ikatan yang suci, pernikahan.
"Umi dan Abi setuju saja, Nur. Kan Nur dengan Reza yang akan menjalaninya. Reza juga anak yang bae-bae9," ujar ibunya Nur. Hatiku meloncat-loncat mendengarnya.
"Tuhan maha memberi rizki. Apalagi orang yang menikah akan lebih dimudahkan rizkinya oleh Tuhan," gubah ibunya dengan semangat dan santun. Kami hanya dapat tersenyum-senyum sendiri.
***
Ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya, semua orang seharusnya berhak menentukan pilihannya, khususnya soal pasangan hidup. Tapi tidak dengan Mama. Aku disuruh pulang ke Tondano. Kampung halamanku. Aku dijodohkan dengan pilihan orang tuaku.
"Reza so ada pilihan, Ma! Please kwa!10" aku bersikeras dengan pilihanku.
"Nak, Mama so pilih akang yang paling bagus for Reza11. Cantik, pintar, dari keluraga baik-baik." Mama meyakinkanku.
Tak mau mengikuti keinginan mereka, aku dipaksa pulang. Keesokan harinya, Papa muncul di tempat aku tinggal di Gorontalo dengan tiba-tiba.
Seperti sudah direncanakan sebelumnya, mereka memiliki strategi jitu. Aku bahkan tak menyadari plan B Mama. Terpaksa aku ikut pulang dengan Papa. Aku memang tak bisa pulang. Tapi aku juga tak boleh menjadi anak yang durhaka.
Hanya Mba yang sempat aku ucapkan ucapan pamit dengan membawa seluruh barang-barangku. Nurlin tak tahu sama sekali.
Itu adalah pagi yang singkat. Papa bagai tim Densus12 88 yang menggrebek tempat persembunyian teroris. Terorisnya tak berkutik. Aku tertangkap setelah sholat subuh. Mba hanya bisa meng-iya-kan setelah mendengar penjelasan dari Papa.
Aku menangis selama perjalanan. Papa menyetir mobil avanza hijau miliknya. Kami bertiga dalam mobil, aku, papa dan supir pribadi kami; pak Amin. Aku tak bisa menerimanya. Aku ingin berontak. Tapi apa boleh buat.
Capek menangis membuatku terlelap. Yang terakhir ku ingat bahwa kami baru saja melewati tugu perbatasan Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Utara.
Tiba-tiba aku terbangun dan sudah dirumah secara ajaib menurutku. Aku hanya tertidur dan ketika bangun langsung di rumah. Seperti kisah Ashabul Kahfi yang mengira mereka tertidur hanya sehari atau setengah hari saja.
Handphone-ku tak ada. Aku tak bisa bisa menghubungi Nur sama sekali. Aku bertanya pada Papa dan beliau berkata bahwa benda itu ada pada Mama. Mama menyita Handphone-ku.
***
Pagi-pagi sekali keesokan harinya kami datang ke rumah Nikita. Gadis yang di jodohkan dengan ku. Papa, Mama dang aku. Kami datang melamar Nikita secara resmi, walau sebelumnya kami sudah di jodohkan. Ini adalah tradisi dan ini adalah ritual wajib menurutku. Aku masih sulit mengumpulkan kesadaranku. Seolah ini semua hanya mimpi.
Baru dua hari, dan aku mengalami hari-hari yang besar. Kemarin tim Densus 88 menggrebekku, lalu bagaikan masuk ke pintu dimensi ruang dan waktu aku tiba-tiba telah di rumah sebelum aku menyadarinya.
Sekaligus semua ini berarti aku meninggalkan Nur tanpa sepatah katapun. Dan pada hari ini aku melamar gadis lain yang tak ku cintai.
"Alhamdulillah, pernikahan mereka akan diadakan dua minggu lagi!" mereka bersepakat. Pikiranku melayang jauh menerawang. Pikiranku tak berada lagi di tempat ini. Melayang jauh ke kota seberang 450 kilometer dari sini. Butuh 9 jam perjalanan darat ke sana, tapi hanya beberapa detik saja pikiranku bisa terbang ke sana.
***
Tibalah hari yang tunggu semua orang kecuali aku. Hari pernikahan kami, pernikahan aku dan Nikita. Aku berkhianat atas cintaku pada Nurlin. Bukan karena keinginanku. Ini keinginan orang tuaku.
Mama meyakinkanku dengan sabdanya. Mama menjelaskan tentang cinta, "cinta itu akan tumbuh, belajarlah untuk mencintai Nikita." Mata Mama berkilat-kilat menatap mataku.
"Andai kami kaweng13. Dia akan memiliki diriku, tapi tidak hatiku."
"Belajarlah, so nda guna skarang14." Tegas Mama.
Akhirnya Ijab-Qobul terucap. Nikita telah menjadi yang halal bagiku. Aku menghela napas panjang. Aku tak berdaya. Aku harus belajar mencintai Nikita. Semangatku membela ideologiku bagai lilin yang kehabisan sumbu. Aku menerima nasibku dengan tabah. "Aku harus belajar mencintainya!!" aku memantapkan hatiku.
"Nak, ini handphone-mu," kata mama sambil menyodorkan handphone Nokia 2700c. Mataku menyapu permukaannya seperti peneliti menemukan sebuah benda asing. Sepertinya ini bukan milikku. "Kartunya tetap," ujar mama sambil meninggalku aku dan Nikita di kamar.
Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk dari nomor yang tak bernama ke handphone baruku.
"Selamat menempuh hidup barumu, kak. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmat dari Tuhan. Nurlin"
Tak kuasa air mataku mengalir membacanya. [Maria Lim / Jakarta / Tionghoanews]