Story: Sampai sekarang Engkong masih sehat-sehat, walaupun sudah melalui musin penghujan dan kemarau sebanyak 76 kali. Badannya memang nggak setegap dulu lagi, dan juga sudah banyak muncul bintik-bintik hitam yang selalu menghiasi kulit semua orang yang sudah uzur. Saya tahu begitu, karena Ia suka membuka bajunya berjemur di depan rumahnya setiap jam 10 pagi. Ia suka sekali menceritakan pengalaman kuda gigit besinya, waktu orang berambut merah – demikian istilahnya untuk penjajah Belanda dan si Jepang yang kate berkuasa di Indonesia. Setiap ada kesempatan, di malam hari ketika kami, yang waktu itu masih anak-anak bermain dan berkumpul di terasnya, ia pun mulai mengisahkan kepahitan hidup yang pernah dijalaninya dulu, berharap kami belajar makna kehidupan dan menghargai setiap butir nasi yang tersedia di piring kami, walaupun bagi kami cerita-ceritanya itu sering hanya numpang lewat di telinga saja.
Engkong Acong memang lahir di Indonesia, dan belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Tiongkok, tanah leluhurnya. Waktu itu keadaannya miskin banget, sama seperti orang-orang lainnya pada jaman tersebut. Namun sekarang ia sudah hidup lumayan layak, disokong keenam anaknya yang sudah bekerja dan menikah semua. Pekerjaan pertama Engkong adalah penjual rokok pajangan/stand kecil di tepi jalan samping pelabuhan kota kami.
Bersama penjual rokok lainnya mereka mengais-ngais rezeki sekedar untuk tetap dapat bertahan hidup dari hari ke hari. Perbedaannya – this is the best part, menurut Engkong sendiri – kalau makan siang, ketika yang lain makan nasi bungkus Padang pake daging ayam, Acong kecil yang baru 14 tahun, hanya makan nasi putih yang dibawa dari rumah dengan lauk asinan yang sangat-sangat murah. Selang lima tahun kemudian, Engkong sudah punya toko kelontong kecil di sana, sedangkan penjual rokok sejaman dia pada nggak tahu sudah kemana.
Ganasnya hidup di jaman penjajahan, bersama-sama penduduk lainnya keluarga Engkong sering harus berpindah tempat mengungsi karena ada pengeboman dan peperangan di mana-mana. Ketika kembali, adalah pahit sekali saat seseorang harus menerima kenyataan kalo rumah dan harta benda sudah ludes dan betapa mereka harus memulai dari awal lagi – itu terjadi berulang kali. Banyak pula keluarga atau saudara Engkong yang dibunuh Jepang, hanya karena membela rakyat. Namun nggak ada satu pun orang Tionghoa yang tercatat sebagai pejuang dalam buku sejarah, entahlah, mungkin lembaran tersebut lepas dari bukunya.
Kemudian datanglah saat-saat paling suram dalam hidup Engkong Acong. Zaman revolusi telah tiba, ketika di tahun 66, tak ada satu kali pun Engkong menyangka jika orang-orang berkulit kuning akan dimusuhi dan dituduh komunis, walaupun banyak dari mereka yang tidak tahu apa-apa, hanya tahu bagaimana supaya periuk nasinya di dapur setiap hari ada mendidih saja. Sejak saat itulah kehidupan nasib Engkong dan semua orang Tionghoa di Indonesia berubah, bagaikan orang kulit hitam di negeri Barat sana
Semua hal-hal yang berbau Tionghoa dicoba dihilangkan baunya, termasuk juga perayaan Tahun Baru sesuai dengan adat dan kepercayaan yang dianut seseorang, yang walaupun sudah dijamin UUD 1945 itu. Bukan itu saja, katanya KTP untuk Engkong Acong juga ada spesifikasi khususnya, lain dengan Joko dan Sitorus punya. Anak-anak Engkong sampai cucu-cucunya juga harus punya SBKRI, untuk dapat sekolah, padahal sudah jelas-jelas lahir di Indonesia dan punya bukti identitas Kartu Penduduk, sementara Engkong Acong sendiri sudah punya. Kalau Engkong adalah sudah orang Indonesia, lalu mengapa pula dipertanyakan warga negara mana anak dan cucunya. Kalau memang bukan warna negara, mengapa ada Kartu Tanda Penduduk pula? Namun Engkong harus menerima bahwa kadang kala ada hal-hal yang tidak dapat dipertanyakan.
Waktu cucunya yang kelas V SD menanyakan arti Bhinneka Tunggal Ika untuk pelajaran sekolahnya, Engkong pun tidak bisa menjelaskan mengapa semua yang berbeda-beda harus disatu-satuin dan disama-samain, melenceng jauh dari arti sebenarnya, biarpun berbeda-beda namun merasa tetap satu, dimana orang dapat menghargai perbedaan yang ada dan bukannya mencoba untuk menghilangkan perbedaan yang diciptakan Tuhan itu. Engkong yang nggak sekolah tinggi-tinggi banget juga sering heran apa yang dimaksudkan dengan pembauran bila pemerintah sukanya membuat perbedaan, misalnya dimana-mana ada kolom isian dalam formulir untuk melihat seseorang itu WNI atau WNI keturunan. Lha katanya pembauran, kok malah sengaja dibeda-bedain begitu?
Nasib juga makin sering mempermainkan Engkong, ketika ia dipaksa untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Ketika dipandang secara aneh oleh orang-orang di luar karena mata sipitnya, atau ketika ia dipaksa untuk menggunakan bahasa Indonesia yang tidak begitu dikuasainya, demi alasan persatuan, sementara sekolah-sekolah malah mengajarkan bahasa-bahasa daerah.
Ia juga sudah kenyang pula diterpa isu-isu biarpun bukan artis ngetop seperti yang menyebutkan bahwa kalo yang namanya orang Tionghoa pagar rumahnya tinggi-tinggi karena tidak mau bergaul dengan orang lain, padahal rumah Engkong nggak ada pagar sama sekali. Maklum rumahnya sangat sederhana dan nggak ada apa-apanya. Kalo ada harta yang banyak, Engkong juga mau bangun pagar tinggi-tinggi. Masalahnya pagar tinggi itu bukan pada orangnya tapi pada kekayaan seseorang, toh banyak juga yang bukan Tionghoa yang pagarnya jauh lebih tinggi lagi karena mereka takut akan keamanan rumahnya yang mewah. Bahkan banyak orang Tionghoa di daerah yang sama seperti Engkong, hidup hanya selayaknya, banyak orang Tionghoa yang jadi tukang sayur dan tukang sampah, sampai-sampai Engkong juga heran mengapa dikatakan orang Tionghoa ekonominya kuat?
Herannya, ketika ia membaca berita tentang penduduk Suriname Jawa pada koran harian langganannya, hatinya pun merasa geli. Orang asal Jawa yang pada jaman londo-londo masih berkuasa, dipindahkan ataupun dikirim paksa ke sana untuk membuka perkebunan, setelah melewati berbagai jaman, akhirnya menetap dan beranak-cucu di sana. Mereka tetap mempertahankan adat-istiadat Kejawaan mereka, bahkan ada siaran radio dalam bahasa Jawa di Suriname. Berita tersebut dengan bangga dimuat dan disebarluaskan oleh media massa Indonesia. Tapi, haiyaa! Di halaman lainnya, mengapa kok ada berita tak terkait yang mengisahkan betapa orang Tionghoa Indonesia yang dikutuk habis-habisan hanya karena persoalan bercakap-cakap sesama kawan dalam bahasa ibu mereka. Tapi Engkong Acong pun diam tak berkomentar banyak. Memang, kadang kala ada hal yang tidak perlu dipertanyakan.
Saya tanyakan ke Engkong, bagaimana mereka saat itu, bukankah begitu susah? Bagaimana ia bisa tetap hidup. Ia pun mengatakan simpel saja: ilmu dikejar anjing! Ia pun menjelaskan, kalau kita lomba lari sama anjing, pasti anjing menang karena anjing punya empat kaki, kita cuma punya dua. Tapi kalau kita sudah dikejar anjing siapa akan menang? Saya mengerti juga kalau seseorang menempatkan diri untuk hidup dalam keadaan terpaksa dikejar-kejar penderitaan dan hambatan hidup, semua daya upaya pasti dikerahkan supaya kita bisa tetap hidup. Engkong cuma tersenyum saja, walaupun giginya sudah jarang pula sekarang. Saya sering menduga kalo ia berumur panjang pasti karna ia selalu tersenyum walaupun sedang menderita.
Adalah pada suatu pagi di bulan Februari, ketika Engkong mendengar suara; satu suara yang begitu dikenalnya. Suara irama tabuhan yang mantap dan kuat. Tapi hampir pula ia tidak percaya. Dibukanya jendela lantai dua rumahnya dan dilongokkan kepalanya ke depan bersama badannya, sampai hampir-hampir jatuh kalau ia tidak cepat memegang pinggiran jendela. Tetapi tetap saja ia tidak bisa percaya mata dan telinganya. "Amah! Amaaah! Amaaahhh! Ada Barongsai dan Naga!" Ia berteriak-teriak memanggil istrinya untuk ikut melihat, tidak sadar kalau Amah sudah meninggalkannya ke surga tahun kemarin. Sudah begitu lama, sudah begitu lama. Tiga puluh tahun lebih! Tenggorakannya terasa serak, ia mau berteriak lagi, namun yang keluar cuman suara sesegukan. Matanya juga tidak bisa bekerja sama, bulir-bulir panas mengalir begitu saja melewati pipinya.
"Amaaahhh, ada nagaaaa!" akhirnya keluar juga isi hatinya yang tumpah ruah. Jalanan di depan rumahnya sebentar saja penuh dengan penonton berbagai usia dan kalangan yang berlarian keluar untuk menonton arak-arakan atraksi Barongsai dan Naga. Suasana begitu ribut, namun ada atmosfir kegembiraan yang penuh di udara. Seperti ada sumbat yang terlepas dan keriangan yang selama ini tertahan menyembur ke mana-mana. Entah apa yang ada di benak Engkong saat itu, saya tidak pernah tahu. Saya cuman melihat mulutnya komat-kamit di antara isakannya seperti mengucapkan kata "Kamsia, kamsia, kamsia." Memang, kadang kala ada sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan! [Meilinda Chen / Jakarta / Tionghoanews]
Engkong Acong memang lahir di Indonesia, dan belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Tiongkok, tanah leluhurnya. Waktu itu keadaannya miskin banget, sama seperti orang-orang lainnya pada jaman tersebut. Namun sekarang ia sudah hidup lumayan layak, disokong keenam anaknya yang sudah bekerja dan menikah semua. Pekerjaan pertama Engkong adalah penjual rokok pajangan/stand kecil di tepi jalan samping pelabuhan kota kami.
Bersama penjual rokok lainnya mereka mengais-ngais rezeki sekedar untuk tetap dapat bertahan hidup dari hari ke hari. Perbedaannya – this is the best part, menurut Engkong sendiri – kalau makan siang, ketika yang lain makan nasi bungkus Padang pake daging ayam, Acong kecil yang baru 14 tahun, hanya makan nasi putih yang dibawa dari rumah dengan lauk asinan yang sangat-sangat murah. Selang lima tahun kemudian, Engkong sudah punya toko kelontong kecil di sana, sedangkan penjual rokok sejaman dia pada nggak tahu sudah kemana.
Ganasnya hidup di jaman penjajahan, bersama-sama penduduk lainnya keluarga Engkong sering harus berpindah tempat mengungsi karena ada pengeboman dan peperangan di mana-mana. Ketika kembali, adalah pahit sekali saat seseorang harus menerima kenyataan kalo rumah dan harta benda sudah ludes dan betapa mereka harus memulai dari awal lagi – itu terjadi berulang kali. Banyak pula keluarga atau saudara Engkong yang dibunuh Jepang, hanya karena membela rakyat. Namun nggak ada satu pun orang Tionghoa yang tercatat sebagai pejuang dalam buku sejarah, entahlah, mungkin lembaran tersebut lepas dari bukunya.
Kemudian datanglah saat-saat paling suram dalam hidup Engkong Acong. Zaman revolusi telah tiba, ketika di tahun 66, tak ada satu kali pun Engkong menyangka jika orang-orang berkulit kuning akan dimusuhi dan dituduh komunis, walaupun banyak dari mereka yang tidak tahu apa-apa, hanya tahu bagaimana supaya periuk nasinya di dapur setiap hari ada mendidih saja. Sejak saat itulah kehidupan nasib Engkong dan semua orang Tionghoa di Indonesia berubah, bagaikan orang kulit hitam di negeri Barat sana
Semua hal-hal yang berbau Tionghoa dicoba dihilangkan baunya, termasuk juga perayaan Tahun Baru sesuai dengan adat dan kepercayaan yang dianut seseorang, yang walaupun sudah dijamin UUD 1945 itu. Bukan itu saja, katanya KTP untuk Engkong Acong juga ada spesifikasi khususnya, lain dengan Joko dan Sitorus punya. Anak-anak Engkong sampai cucu-cucunya juga harus punya SBKRI, untuk dapat sekolah, padahal sudah jelas-jelas lahir di Indonesia dan punya bukti identitas Kartu Penduduk, sementara Engkong Acong sendiri sudah punya. Kalau Engkong adalah sudah orang Indonesia, lalu mengapa pula dipertanyakan warga negara mana anak dan cucunya. Kalau memang bukan warna negara, mengapa ada Kartu Tanda Penduduk pula? Namun Engkong harus menerima bahwa kadang kala ada hal-hal yang tidak dapat dipertanyakan.
Waktu cucunya yang kelas V SD menanyakan arti Bhinneka Tunggal Ika untuk pelajaran sekolahnya, Engkong pun tidak bisa menjelaskan mengapa semua yang berbeda-beda harus disatu-satuin dan disama-samain, melenceng jauh dari arti sebenarnya, biarpun berbeda-beda namun merasa tetap satu, dimana orang dapat menghargai perbedaan yang ada dan bukannya mencoba untuk menghilangkan perbedaan yang diciptakan Tuhan itu. Engkong yang nggak sekolah tinggi-tinggi banget juga sering heran apa yang dimaksudkan dengan pembauran bila pemerintah sukanya membuat perbedaan, misalnya dimana-mana ada kolom isian dalam formulir untuk melihat seseorang itu WNI atau WNI keturunan. Lha katanya pembauran, kok malah sengaja dibeda-bedain begitu?
Nasib juga makin sering mempermainkan Engkong, ketika ia dipaksa untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Ketika dipandang secara aneh oleh orang-orang di luar karena mata sipitnya, atau ketika ia dipaksa untuk menggunakan bahasa Indonesia yang tidak begitu dikuasainya, demi alasan persatuan, sementara sekolah-sekolah malah mengajarkan bahasa-bahasa daerah.
Ia juga sudah kenyang pula diterpa isu-isu biarpun bukan artis ngetop seperti yang menyebutkan bahwa kalo yang namanya orang Tionghoa pagar rumahnya tinggi-tinggi karena tidak mau bergaul dengan orang lain, padahal rumah Engkong nggak ada pagar sama sekali. Maklum rumahnya sangat sederhana dan nggak ada apa-apanya. Kalo ada harta yang banyak, Engkong juga mau bangun pagar tinggi-tinggi. Masalahnya pagar tinggi itu bukan pada orangnya tapi pada kekayaan seseorang, toh banyak juga yang bukan Tionghoa yang pagarnya jauh lebih tinggi lagi karena mereka takut akan keamanan rumahnya yang mewah. Bahkan banyak orang Tionghoa di daerah yang sama seperti Engkong, hidup hanya selayaknya, banyak orang Tionghoa yang jadi tukang sayur dan tukang sampah, sampai-sampai Engkong juga heran mengapa dikatakan orang Tionghoa ekonominya kuat?
Herannya, ketika ia membaca berita tentang penduduk Suriname Jawa pada koran harian langganannya, hatinya pun merasa geli. Orang asal Jawa yang pada jaman londo-londo masih berkuasa, dipindahkan ataupun dikirim paksa ke sana untuk membuka perkebunan, setelah melewati berbagai jaman, akhirnya menetap dan beranak-cucu di sana. Mereka tetap mempertahankan adat-istiadat Kejawaan mereka, bahkan ada siaran radio dalam bahasa Jawa di Suriname. Berita tersebut dengan bangga dimuat dan disebarluaskan oleh media massa Indonesia. Tapi, haiyaa! Di halaman lainnya, mengapa kok ada berita tak terkait yang mengisahkan betapa orang Tionghoa Indonesia yang dikutuk habis-habisan hanya karena persoalan bercakap-cakap sesama kawan dalam bahasa ibu mereka. Tapi Engkong Acong pun diam tak berkomentar banyak. Memang, kadang kala ada hal yang tidak perlu dipertanyakan.
Saya tanyakan ke Engkong, bagaimana mereka saat itu, bukankah begitu susah? Bagaimana ia bisa tetap hidup. Ia pun mengatakan simpel saja: ilmu dikejar anjing! Ia pun menjelaskan, kalau kita lomba lari sama anjing, pasti anjing menang karena anjing punya empat kaki, kita cuma punya dua. Tapi kalau kita sudah dikejar anjing siapa akan menang? Saya mengerti juga kalau seseorang menempatkan diri untuk hidup dalam keadaan terpaksa dikejar-kejar penderitaan dan hambatan hidup, semua daya upaya pasti dikerahkan supaya kita bisa tetap hidup. Engkong cuma tersenyum saja, walaupun giginya sudah jarang pula sekarang. Saya sering menduga kalo ia berumur panjang pasti karna ia selalu tersenyum walaupun sedang menderita.
Adalah pada suatu pagi di bulan Februari, ketika Engkong mendengar suara; satu suara yang begitu dikenalnya. Suara irama tabuhan yang mantap dan kuat. Tapi hampir pula ia tidak percaya. Dibukanya jendela lantai dua rumahnya dan dilongokkan kepalanya ke depan bersama badannya, sampai hampir-hampir jatuh kalau ia tidak cepat memegang pinggiran jendela. Tetapi tetap saja ia tidak bisa percaya mata dan telinganya. "Amah! Amaaah! Amaaahhh! Ada Barongsai dan Naga!" Ia berteriak-teriak memanggil istrinya untuk ikut melihat, tidak sadar kalau Amah sudah meninggalkannya ke surga tahun kemarin. Sudah begitu lama, sudah begitu lama. Tiga puluh tahun lebih! Tenggorakannya terasa serak, ia mau berteriak lagi, namun yang keluar cuman suara sesegukan. Matanya juga tidak bisa bekerja sama, bulir-bulir panas mengalir begitu saja melewati pipinya.
"Amaaahhh, ada nagaaaa!" akhirnya keluar juga isi hatinya yang tumpah ruah. Jalanan di depan rumahnya sebentar saja penuh dengan penonton berbagai usia dan kalangan yang berlarian keluar untuk menonton arak-arakan atraksi Barongsai dan Naga. Suasana begitu ribut, namun ada atmosfir kegembiraan yang penuh di udara. Seperti ada sumbat yang terlepas dan keriangan yang selama ini tertahan menyembur ke mana-mana. Entah apa yang ada di benak Engkong saat itu, saya tidak pernah tahu. Saya cuman melihat mulutnya komat-kamit di antara isakannya seperti mengucapkan kata "Kamsia, kamsia, kamsia." Memang, kadang kala ada sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan! [Meilinda Chen / Jakarta / Tionghoanews]