Mungkin perkenalan yang terlalu singkat tersebut, membuat kami akhirnya terperangkap dalam situasi yang kurang menguntungkan buat kami berdua. Praktis hanya sekitar tiga bulan kami mengecap kebahagiaan perkawinan, itupun diluar acara malam pertama, yang menurutku malam paling membahagiakan sekaligus mendebarkan. Aku yang sama sekali belum pernah melakukan hubungan badan, dengan 'terpaksa' harus mengikuti kemauan Angga yang sepertinya telah terbiasa dengan hal itu.
Malam itu aku bukan saja merintih karena kesakitan, namun juga mendesah dan menggeliat karena nikmat yang tiada tara. Dan menurut penilaianku Angga bukan saja sudah terbiasa namun juga sepertinya telah lihai dalam membangkitkan gairah perempuan. Itulah sebabnya aku berkali-kali mengulangi perbuatan itu pada malam pertama itu.
Seperti sudah ku-ungkapkan diatas kebahagiaan itu hanya bertahan selama tiga bulan, selanjutnya aku dihadapkan pada keegoisan Angga dan mungkin juga keegoisanku sendiri. Kami jadi lebih sering bergiatan sendiri-sendiri, seperti belanja, nonton, dan bahkan tidur. Angga tak lagi sebuas malam pertama, ia lebih suka tidur menyendiri, bahkan tak jarang ia tidur entah dimana.
Untuk selanjutnya mungkin cerita klise, kami sering bertengkar yang berujung pada perceraian. Keputusan itu kuambil setelah aku 'berhasil' memergokinya sedang bercumbu dengan seorang perempuan di rumah kost tempat ia dulu tinggal. Dan sejak itu kemarahan terlanjur menyelimuti hatiku terhadapnya. Sebenarnya aku masih mencintainya, karena tak bisa menahan rasa sakit hati, akhirnya kuputuskan untuk berpisah dengannya.
Setahun lamanya kami tidak pernah berhubungan. Jangankan melihatnya, mendegar kabarnya saja hampir tak pernah lagi. Entah kemana dia. Jujur saja kuakui, selama ini ada rasa rindu yang sulit kuingkari. Aku selalu teringat masa – masa bersamaan dulu. Meski belum dikaruniai anak, namun bagiku Angga lebih dari sekedar teman hidup tapi sudah menjadi sebagian dari kehidupanku.
Sampai suatu hari kami bertemu kembali. Kami sempat berbincang tentang apa yang terjadi diantara kami selama perpisahan itu. Angga tampak kurusan, seperti tak terurus. Aku bisa menangkap raut wajah penderitaan di parasnya. Tapi itulah dia, di hadapanku ia masih saja bersikap biasa dan berusaha menyimpan beban yang menghimpitnya selama ini. Rasa iba dalam diriku mulai muncul. Aku sepertinya ingin kembali bersatu dengannya. Bukan hanya karena masih ada sisa-sisa cinta dalam diriku, akan tetapi rasa iba itulah yang menyebabkan aku ingin kembali.
mencintainya, karena tak bisa menahan rasa sakit hati, akhirnya kuputuskan untuk berpisah dengannya.
Angga mengaku telah menghabiskan waktu di perantauan untuk melupakan dan membandingkan apa yang telah terjadi di masa lalu, masa-masa saat hidup bersamaku, juga masa-masa dimana ia menghabiskan waktunya dengan banyak perempuan. Itu sebabnya sampai sekarang ia belum memikirkan untuk menikah lagi.
Rasa iba menyeruak di hatiku mendengar pengakuan lelaki yang baru tiga bulan menjadi suamiku itu. Garis wajahnya masih menyiratkan kelembutan dan keterbukaan. Tapi sayang, semua itu tak mampu merubah kenyataan bahwa kami sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Rasa sakit yang kuderita karena pengkhianatannya jauh lebih besar ketimbang semua itu.
Angga ingin agar aku menerimnya dan mau menghiburnya sebelum kembali ke perantauan. Permintaannya aku turuti, karena aku memang mengharapkan hal itu, bahkan kami janjian untuk makan malam sebagai tanda keakuran kami. seminggu kemudian ia bertandang ke rumah menemuiku Angga kelihatan sangat rindu, walau ia bukan lagi sebagai pasangan hidupku
Begitu seterusnya, Angga yang tinggal selama 2 bulan di kota ini, setiap sabtu malam menyempatkan diri berkunjung ke rumahku. Lama-kelamaan kedekatan kami semakin sulit untuk dipisahkan. Bahkan kali ini aku benar-benar dibuat lupa ketika tanpa sadar aku dan ia mulai terlibat pembicaraan yang mengarah ke hal yang sensitif. Sampai semuanya berakhir di ranjang.
Sekian tahun berpisah, malam itulah aku dijamah lelaki, kami sempat menyesalinya tapi, malam – malam berikutnya kembali terjadi.Kehangatan yang ia hadirkan malah lebih dahsyat dari yang kurasakan sebelumnya. Aku dibuatnya menggeliat bak se-ekor ular yang terjemur di panasnya matahari, persis seperti saat malam pertama kami melakukannya. [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews]