Pasti ada keprihatinan yang dalam sehingga kita begitu sinis kepada bangsa sendiri.
Ya, barangkali.
Lalu lintas jalan raya adalah wajah keprihatinan itu. Rangkaian sepeda motor bagai tak putus, mempersulit mobil yang akan membelok – bahkan ketika lampu sein telah lama berkedip memberi isyarat. Para pengendara itu seolah bilang, "Beloknya nanti saja, setelah saya lewat." "Biar orang lain yang memberi jalan, bukan saya."
Herannya, itu tak cuma terjadi di Jakarta. Iringan sepeda dan becak di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, tak juga memberi kesempatan ketika ada sesama pengguna jalan ingin memotong. Mereka tetap santai menggenjot, pelan, tapi juga tidak mengerem untuk memberi jalan. "Biar orang lain yang mengalah, bukan saya."
Kita tak mau mengalah. Itu bagus kalau konteksnya tepat. Tapi saat harus memberi kesempatan bagi orang yang (mungkin lebih) membutuhkan, semangat ogah mengalah itu jelas salah.
Kalau konteksnya adalah pemenuhan naluri egosentris, lagi-lagi jalan raya juga tak kurang menyajikan bukti. Misalnya kecelakaan karena pelanggaran rambu, atau bus penuh penumpang yang dihajar kereta api setelah menerobos palang pembatas.
Mental "Asal Bukan Saya" juga menjadi pertanda lepas tanggung jawab. Atau pemalu. Bahkan pengecut. Kalau ada apa-apa, biar orang lain saja. Maka di setiap seminar atau rapat besar, kursi terdepan selalu kosong karena orang enggan menanggung risiko kalau ada apa-apa. Asal bukan saya.
Padahal di saat lain, orang saling sodok di depan loket karcis, saling injak berebut kupon sedekah atau BLT. Di sini yang berlaku adalah, "Biar saya duluan", tak peduli orang lain kebagian atau tidak. Ironis ya? [Yenny Jie / Palangkaraya / Tionghoanews]