Jangan pernah patah semangat dalam hal apapun. Setidaknya kita bisa lebih menghargi hidup yang dianugerahkan pada kita, apapun bentuknya. Salah seorang pembaca story mengirimkan kisah hidupnya ini kepada redaksi. Semoga ini bisa menjadi pembelajaran untuk kita semua.
Di tahun 70-an pengangguran di desa tempat kelahiranku sudah marak, terutama mereka yang lulusan sekolah umum. Sementara teman yang memilih sekolah kejuruan seperti sekolah keguruan, bisa langsung bekerja sebagai guru di Sekolah Dasar walaupun berstatus guru honorer. Predikat penganggur, selalu jadi momok di benakku. Terbayang setelah lulus sekolah, aku jadi penganggur. Untuk meneruskan ke bangku kuliah, hal yang tidak mungkin. Orang tuaku bukan orang mampu, ayahku hanya seorang pamong desa yang hidupnya banyak mengandalkan dari hasil bercocok tanam di sawah yang dimilikinya serta sawah bengkok yang diperoleh sebagai pamong desa, itupun harus dikembalikan ke desa manakala pensiun dari jabatannya.
Aku bertekad tidak ingin menganggur dan menyerah begitu saja. Berbekal ijazah SMA dengan nilai yang pas-pasan, aku menyurati sepupuku yang berada di Sumatera. Sepupuku bekerja di sebuah perusaahaan BUMN yang cukup besar, kuutarakan maksudku menyuratinya, meminta pertolongan jika ada kemungkinan aku bisa ikut bekerja di Sumatera bersamanya. Sebagai apapun aku mau asalkan bisa bekerja, begitu kutulis dalam surat yang kukirim kepadanya. Selang dua minggu kemudian aku mendapat telegram dari sepupuku yang mengabarkan bahwa aku harus segera datang, ada kemungkinan bisa diterima bekerja karena kebetulan perusahaan tempatnya bekerja sedang mengembangkan usaha, sehingga diperlukan tambahan tenaga kerja baru.
Gembira bercampur sedih aku menerima kabar tersebut, gembira karena aku tidak akan menjadi pengangguran, sedihnya aku harus pergi meninggalkan kedua orang tuaku. Mereka tak membiarkanku bimbang, bahkan mereka memintaku segera berangkat demi masa depan yang lebih baik. Biarlah kakak-kakakmu yang akan mengurus kami disini, doakan saja ayah dan ibumu selalu sehat, ucap mereka. Kupeluk mereka seraya membisikkan agar merestui keberangkatanku. Untuk biaya transport dan bekalku selama di perjalanan orang tuaku menjual seekor sapi, semuanya uang hasil penjualan sapi diserahkan kepadaku, sisanya bisa kamu simpan untuk bekal hidup. Diiringi tangis sanak keluarga, serta doa kedua orang tuaku, aku diantar ke ujung jalan desa, untuk selanjutnya pergi ke Jakarta.
Dengan pesawat dari bandara Kemayoran Jakarta (waktu itu Bandara Kemayoran masih aktif untuk angkutan domestik) aku terbang menuju Sumatera. Mendarat di Bandara Sutan Syarif Khasim, aku menuju pangkalan taksi jurusan kota yang menjadi tujuan akhir perjalananku. Aku berhasil menemui sepupuku di kantornya. Untuk sementara aku tinggal bersama sepupuku, menempati sebuah kamar di mess perusahaan. Esok harinya aku diperkenalkan kepada staff Personalia. Mengetik, Bahasa Inggris dan sedikit Pengetahuan Umum adalah tes yang harus aku jalani dan aku melewatinya dengan baik.
Dua hari kemudian Bagian Personalia menyuratiku dan menyatakan bahwa mulai besok aku sudah bisa bekerja dan diminta datang ke kantor Personalia untuk menandatangani Surat Perjanjiaan Kerja (SPK). Sebelum kutanda tangani, sempat kubaca surat tersebut. Intinya aku diterima sebagai Tenaga Kerja Lepas dengan gaji Rp.11.000,- serta fasilitas pengobatan. Sampai di sini aku baru menyadari bahwa aku tidak lagi menyandang predikat pengangguran.
10 bulan kemudian aku diangkat menjadi pekerja tetap dengan golongan gaji setara golongan IIA PNS dengan gaji Rp.28.000,-. Perusahaan tempatku bekerja terbilang besar dan merupakan pemasok devisa terbesar untuk negara kala itu, akan tetapi gaji pekerja pada waktu itu terbilang minim dibandingkan perusahaan serupa yang sama-sama beroperasi di daerah tersebut.
Lima tahun saja aku hidup membujang, aku menikahi gadis dari desa kelahiranku. Mulailah aku menjalani hidup berumah tangga dengan modal keberanian dan gaji pas-pasan. Kami menyewa rumah petak berdinding kayu, beratapkan seng, terdiri dari ruangan tamu, satu kamar tidur dan dapur, sementara kamar mandi terpisah beberapa meter dari dapur. Selain mengandalkan gaji, aku berusaha mencari tambahan dengan menjadi calo jual beli tanah, barang elektronik dan sebagainya. Istriku mencoba berjualan kue apem (di Sumatera disebut kue mangkok) yang dititipkan di warung Cina. Hari pertama dari 40 kue yang dititipkan hanya terjual 6 kue saja, tapi istriku tidak patah semangat, ia tetap mencoba menjual kue apem tersebut.
Empat tahun telah kujalani hidup susah bersama istri dan kedua anakku, tanpa diduga perusahaan memberi kesempatan mengikuti pendidikan kejuruan di sebuah kota di Jawa Tengah dan aku dinyatakan sebagai mahasiswa yang lulus dengan angka terbaik. Sebagaimana peraturan yang berlaku, setiap pekerja yang telah mengikuti pendidikan sampai tingkat III dengan baik, begitu kembali ke tempat kerja maka golongan gajinya langsung disesuaikan. Aku mendapat surat pemberitahuan perubahan status dan golongan gaji yang semula pekerja Golongan Biasa berubah menjadi pekerja Golongan Madya. Aku bersyukur, inilah rezeki untuk anak dan istriku.
Dengan perubahan status tersebut berbagai fasilitas perusahaan dapat kunikmati dan akhirnya aku bisa merasakan ekonomiku semakin membaik. Kini aku telah 32 tahun mengabdikan diri di perusahaan ini. Aku sudah menjadi pekerja Golongan Utama setara dengan golongan IV PNS. Syukurku pada Tuhan atas keberhasilan ini, karena prestasi ini tidak mudah dicapai untuk pekerja yang berbasiskan pendidikan SLTA. Karierku tidak lama lagi akan berahir, Insya Allah 4 tahun lagi aku akan menjalani masa Persiapan Pensiun.
Dengan posisiku sekarang, aku bisa menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi. Anakku pertama sudah lulus perguruan tinggi negeri dengan berijazah SE Ak, bekerja di sebuah perusahaan konsultan. Syukurlah tahun depan dia akan kukirim ke Australia untuk mengambil S2. Anak keduaku saat ini sedang menyelesaikan tugas akhir di universitas yang sama dengan kakaknya untuk meraih gelar Sarjana Satra Inggris, Syukurlah, tahun ini meneruskan study S2 Komunikasi di UKM Kuala Lumpur. Sedangkan anak ketigaku masih duduk di kelas 2 SD.
Kalau sedang sendiri di rumah sering aku menerawang dan mengingat kembali ke masa tempo dulu, rasanya mustahil bisa menikmati kehidupan yang lebih dari cukup seperti sekarang. Namun inilah karunia Tuhan yang selalu aku syukuri. Setiap sembahyang aku selalu memohon agar kehidupan sebagaimana di atas tidak pernah dialami anak cucuku. Amien.
Di tahun 70-an pengangguran di desa tempat kelahiranku sudah marak, terutama mereka yang lulusan sekolah umum. Sementara teman yang memilih sekolah kejuruan seperti sekolah keguruan, bisa langsung bekerja sebagai guru di Sekolah Dasar walaupun berstatus guru honorer. Predikat penganggur, selalu jadi momok di benakku. Terbayang setelah lulus sekolah, aku jadi penganggur. Untuk meneruskan ke bangku kuliah, hal yang tidak mungkin. Orang tuaku bukan orang mampu, ayahku hanya seorang pamong desa yang hidupnya banyak mengandalkan dari hasil bercocok tanam di sawah yang dimilikinya serta sawah bengkok yang diperoleh sebagai pamong desa, itupun harus dikembalikan ke desa manakala pensiun dari jabatannya.
Aku bertekad tidak ingin menganggur dan menyerah begitu saja. Berbekal ijazah SMA dengan nilai yang pas-pasan, aku menyurati sepupuku yang berada di Sumatera. Sepupuku bekerja di sebuah perusaahaan BUMN yang cukup besar, kuutarakan maksudku menyuratinya, meminta pertolongan jika ada kemungkinan aku bisa ikut bekerja di Sumatera bersamanya. Sebagai apapun aku mau asalkan bisa bekerja, begitu kutulis dalam surat yang kukirim kepadanya. Selang dua minggu kemudian aku mendapat telegram dari sepupuku yang mengabarkan bahwa aku harus segera datang, ada kemungkinan bisa diterima bekerja karena kebetulan perusahaan tempatnya bekerja sedang mengembangkan usaha, sehingga diperlukan tambahan tenaga kerja baru.
Gembira bercampur sedih aku menerima kabar tersebut, gembira karena aku tidak akan menjadi pengangguran, sedihnya aku harus pergi meninggalkan kedua orang tuaku. Mereka tak membiarkanku bimbang, bahkan mereka memintaku segera berangkat demi masa depan yang lebih baik. Biarlah kakak-kakakmu yang akan mengurus kami disini, doakan saja ayah dan ibumu selalu sehat, ucap mereka. Kupeluk mereka seraya membisikkan agar merestui keberangkatanku. Untuk biaya transport dan bekalku selama di perjalanan orang tuaku menjual seekor sapi, semuanya uang hasil penjualan sapi diserahkan kepadaku, sisanya bisa kamu simpan untuk bekal hidup. Diiringi tangis sanak keluarga, serta doa kedua orang tuaku, aku diantar ke ujung jalan desa, untuk selanjutnya pergi ke Jakarta.
Dengan pesawat dari bandara Kemayoran Jakarta (waktu itu Bandara Kemayoran masih aktif untuk angkutan domestik) aku terbang menuju Sumatera. Mendarat di Bandara Sutan Syarif Khasim, aku menuju pangkalan taksi jurusan kota yang menjadi tujuan akhir perjalananku. Aku berhasil menemui sepupuku di kantornya. Untuk sementara aku tinggal bersama sepupuku, menempati sebuah kamar di mess perusahaan. Esok harinya aku diperkenalkan kepada staff Personalia. Mengetik, Bahasa Inggris dan sedikit Pengetahuan Umum adalah tes yang harus aku jalani dan aku melewatinya dengan baik.
Dua hari kemudian Bagian Personalia menyuratiku dan menyatakan bahwa mulai besok aku sudah bisa bekerja dan diminta datang ke kantor Personalia untuk menandatangani Surat Perjanjiaan Kerja (SPK). Sebelum kutanda tangani, sempat kubaca surat tersebut. Intinya aku diterima sebagai Tenaga Kerja Lepas dengan gaji Rp.11.000,- serta fasilitas pengobatan. Sampai di sini aku baru menyadari bahwa aku tidak lagi menyandang predikat pengangguran.
10 bulan kemudian aku diangkat menjadi pekerja tetap dengan golongan gaji setara golongan IIA PNS dengan gaji Rp.28.000,-. Perusahaan tempatku bekerja terbilang besar dan merupakan pemasok devisa terbesar untuk negara kala itu, akan tetapi gaji pekerja pada waktu itu terbilang minim dibandingkan perusahaan serupa yang sama-sama beroperasi di daerah tersebut.
Lima tahun saja aku hidup membujang, aku menikahi gadis dari desa kelahiranku. Mulailah aku menjalani hidup berumah tangga dengan modal keberanian dan gaji pas-pasan. Kami menyewa rumah petak berdinding kayu, beratapkan seng, terdiri dari ruangan tamu, satu kamar tidur dan dapur, sementara kamar mandi terpisah beberapa meter dari dapur. Selain mengandalkan gaji, aku berusaha mencari tambahan dengan menjadi calo jual beli tanah, barang elektronik dan sebagainya. Istriku mencoba berjualan kue apem (di Sumatera disebut kue mangkok) yang dititipkan di warung Cina. Hari pertama dari 40 kue yang dititipkan hanya terjual 6 kue saja, tapi istriku tidak patah semangat, ia tetap mencoba menjual kue apem tersebut.
Empat tahun telah kujalani hidup susah bersama istri dan kedua anakku, tanpa diduga perusahaan memberi kesempatan mengikuti pendidikan kejuruan di sebuah kota di Jawa Tengah dan aku dinyatakan sebagai mahasiswa yang lulus dengan angka terbaik. Sebagaimana peraturan yang berlaku, setiap pekerja yang telah mengikuti pendidikan sampai tingkat III dengan baik, begitu kembali ke tempat kerja maka golongan gajinya langsung disesuaikan. Aku mendapat surat pemberitahuan perubahan status dan golongan gaji yang semula pekerja Golongan Biasa berubah menjadi pekerja Golongan Madya. Aku bersyukur, inilah rezeki untuk anak dan istriku.
Dengan perubahan status tersebut berbagai fasilitas perusahaan dapat kunikmati dan akhirnya aku bisa merasakan ekonomiku semakin membaik. Kini aku telah 32 tahun mengabdikan diri di perusahaan ini. Aku sudah menjadi pekerja Golongan Utama setara dengan golongan IV PNS. Syukurku pada Tuhan atas keberhasilan ini, karena prestasi ini tidak mudah dicapai untuk pekerja yang berbasiskan pendidikan SLTA. Karierku tidak lama lagi akan berahir, Insya Allah 4 tahun lagi aku akan menjalani masa Persiapan Pensiun.
Dengan posisiku sekarang, aku bisa menyekolahkan anak-anakku sampai perguruan tinggi. Anakku pertama sudah lulus perguruan tinggi negeri dengan berijazah SE Ak, bekerja di sebuah perusahaan konsultan. Syukurlah tahun depan dia akan kukirim ke Australia untuk mengambil S2. Anak keduaku saat ini sedang menyelesaikan tugas akhir di universitas yang sama dengan kakaknya untuk meraih gelar Sarjana Satra Inggris, Syukurlah, tahun ini meneruskan study S2 Komunikasi di UKM Kuala Lumpur. Sedangkan anak ketigaku masih duduk di kelas 2 SD.
Kalau sedang sendiri di rumah sering aku menerawang dan mengingat kembali ke masa tempo dulu, rasanya mustahil bisa menikmati kehidupan yang lebih dari cukup seperti sekarang. Namun inilah karunia Tuhan yang selalu aku syukuri. Setiap sembahyang aku selalu memohon agar kehidupan sebagaimana di atas tidak pernah dialami anak cucuku. Amien.
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah
PESAN KHUSUS
Ingat ! Anda juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa tempat tinggal anda atau artikel-artikel bermanfaat ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
PESAN KHUSUS
Ingat ! Anda juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa tempat tinggal anda atau artikel-artikel bermanfaat ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id