"Itu cuma akal-akalan orang tua untuk menakuti anak-anaknya. Di kota banyak yang pindah agama, hidup seenaknya, dan mereka tidak dikutuk. Mei, kalau kamu mencintai Yogi, ikutlah kata hatimu. Jangan seperti Papa atau Paman Amung, juga jangan menjadi Kinarti."
"Kenapa dengan mereka ?" tanya Imei dengan perasaan ingin tahu.
"Suatu saat kamu akan tahu sendiri. Aku mau pergi. Jaga dirimu baik-baik, Mei. Kalau Papa memukul lagi, lawanlah ! Jangan diam saja saat dipukuli. Sudah bukan jamannya anak sebesar kita dipukuli." Nasehat Lukman sambil memegang bahu adiknya.
"Koko Luk, bukan maksudku ingin membela Papa, tapi… Sun Ni kan tidak jelek…?" Imei mengemukakan pendapat.
"Aku tahu dia tidak jelek, aku cuma tak mau dijodohkan. "
"Kalau benar kata orang, menentang orang tua akan dikutuk Dewa, kualat, dan Koko Luk tidak menemukan apa yang koko cari, apakah Koko akan kembali ?" tanya Imei dengan perasaan bersimpati terhadap Abangnya, juga terhadap Sun Ni. Sejenak Lukman terdiam.
"Entahlah, aku tak tahu. Saat ini keinginanku cuma satu, tak ingin dikawin paksa." Ucap Lukman. " Mei, jaga dirimu baik-baik. Sejak kecil kita selalu bersama, suka dan duka kita lewati bersama. Setelah aku pergi, tinggal kamu sendiri, semoga kamu tabah…" tambah Lukman menatap sedih adiknya.
Keduanya berpelukan sambil bertangis-tangisan. Dari kecil keduanya sangat dekat. Kini perpisahan ini terasa berat.
Akhirnya Lukman melangkahkan kaki. Imei melambaikan tangan dengan berat hati. Ia menatap kepergian Abangnya dengan perasaan tak menentu.
Saat kembali ke rumah, Imei mendapati dapur sudah kosong, ruang tamu juga kosong. Mamanya pasti sudah masuk ke kamar. Papanya juga tak ada, mungkin berada di kamarnya yang penuh botol arak itu. Saat Imei sedang berjalan masuk ke kamarnya, terdengar suara botol pecah yang memekakkan telinga. Ia tak berani berbuat apa-apa kecuali masuk ke kamar dan merenungkan kejadian itu sendirian.
………
Akung tak menyangka Lukman nekad angkat kaki dari rumah. Bermalam-malam ia menghabiskan waktu di halaman menatap langit. Semua berharap Lukman hanya ngambek dan menginap di rumah konconya. Tapi, setelah lewat seminggu dan Akung meminta Asun mencari ke seluruh desa, bayangan Lukman tak berhasil ditemukan. Akung pun yakin Lukman lari ke kota.
Akung menjadi pemurung dan sering melampiaskan kemarahannya tanpa alasan. Kadang-kadang ia berdiri di depan meja sembahyang, memandang arca Dewa yang berwajah garang hingga berjam-jam, lalu matanya beralih menatap monumentalis arwah leluhur, mungkin untuk mencari jawaban kenapa anak lelaki satu-satunya tega kabur dari rumah. Siapa yang akan menjadi penerus tradisi dan generasi ?
Sejak kepergian Lukman kebebasan Imei, Ikling, dan Ifen kian berkurang. Jika Akung pulang dari penggilingan dan mendapati salah satu anak gadisnya tak berada di rumah, ia segera mencarinya. Dengan alasan yang dicari cari ia memberi hukuman 20 sabetan, atau berlutut di depan meja sembahyang semalaman. Tak ada yang berani protes kecuali pasrah. Semua gara-gara kepergian Lukman.
Emosi Akung semakin tak terkendali. Setiap malam setelah menghabiskan sebotol arak, botol kosong itu dibanting ke dinding. Imei sudah biasa terbangun mendengar bunyi botol-botol pecah. Kamarnya terletak paling dekat dengan kamar Papanya. Pagi-pagi sekali ia dengan hati-hati membersihkan pecahan botol itu sebelum berangkat ke sekolah. Lan Nio semakin sering membuat arak yang disuling dari kukusan peragian beras ketan. Hari-hari pun semakin suram.
Seminggu menjelang imlek, Lan Nio dan Imei membersihkan rumah untuk menyambut perayaan pergantian musim alias Sincia. Imei kebahagian tugas membersihkan loteng dan kamar Akung. Loteng itu tidak terlalu besar, hanya sebuah ruang kosong dan sebuah kamar. Kamarnya terkunci. Imei mencoba mengintip melalui celah dinding. Kamar itu gelap. Ia tak berhasil melihat apa-apa. Mamanya mengatakan hanya Akung yang mempunyai kunci. Imei tak berani meminta kunci pada Papanya. Kamar itu dibiarkan tanpa dibersihkan.
Malam-malam terasa makin panjang. Pekerjaan menumpuk karena semua tetek-bengek harus dibersihkan sebersih mungkin. Hanya setahun sekali acara pembersihan seperti ini boleh dilakukan. Ketika Imei membersihkan gudang, 200 kotak Kueh Pertunangan tertumpuk di gudang, kian hari kian menyusut karena dimakan semut. Imei tak berani membersihkan kueh-kueh itu meskipun kotaknya penuh debu. Berkali-kali Ong Sui datang menanyakan pertunangan Lukman dan Sun Ni yang tertunda. Akung berusaha menyabarkan Ong Sui. Semua berharap di hari Imlek yang berbahagia ini Lukman kembali.
Sehari menjelang tahun baru Imlek, Imei membantu Lan Nio memasak untuk acara Penutupan Tahun. Begitu banyaknya dewa-dewa yang harus disembahyangi sehingga makanan membludak. Akung tidak berkomentar saat Lan Nio membungkus makanan dan meminta Imei mengantarkan untuk Amung.
Imei memanggul dua bungkus besar menuju ujung kampung. Saat melewati rumah Yogi, didapati rumah itu agak gelap. Yogi sedang duduk di depan rumah, tapi tidak menyapanya –hanya tersenyum. Imei berjalan dengan tersaruk-saruk karena kedua tangannya penuh bawaan. Berkali-kali ia berhenti untuk melemaskan otot-ototnya. Hari kian gelap, sementara ia lupa membawa suluh.
Ketika ia berhenti untuk ke sekian kalinya, sebuah obor tampak mendatangi. Orang yang memegang obor itu berlari dengan napas terengah-engah.
"Kamu pegang obor, biar barangnya aku yang angkat." Kata Yogi begitu tiba di sampingnya. Imei membiarkan Yogi mengangkat bawaannya. Keduanya berjalan beriringan. Bulan sedang tua, sinarnya yang setitik tak bergairah menerangi bumi.
"Cepat juga kamu menyusul. Ngibuli Bapakmu dulu?" tanya Imei bercanda. Yogi tersenyum malu-malu.
"Banyak sekali bawaanmu, apa ini ?"
"Makanan, buat Paman Amung."
"Tak ada yang buat aku ?"
"Banyak yang tak halal, Yo. Besok kukirimi yang halal." Kata Imei berterus terang.
"Akh, cuma becanda kok. Besok kamu paicia ke mana ?"
"Yach, ke rumah famili dan teman-teman. Besok akan kutaruh makanan halal di bawah jembatan kolam itik. Jangan lupa mengambilnya!" pesan Imei. Yogi menganggukkan kepala. Setelah itu keduanya berjalan dalam suasana sepi hingga tiba di perbatasan.
"Kalau kamu masih takut bertemu dengan Pamanku, ngantarnya sampai di sini saja." kata Imei ketika tiba di belokan. Yogi menganggukkan kepala.
"Oh ya, Aku ingin memberitahumu, sepasang itik putih yang kuberikan padamu dulu, kini sudah besar…" kata Yogi dengan wajah berseri-seri.
"Makasih karena memelihara untukku. Besok Papaku pasti sibuk menerima tamu. Aku agak bebas. Bagaimana kalau besok kamu membawa itik putih kita ke danau? Kutunggu kamu di sana jam 4 sore, kita larungkan itik kita di sana. " usul Imei. Yogi segera menganggukkan kepala dengan wajah gembira,
"Tentu Mei, sebelum jam 4 aku pasti sudah berada di sana menunggumu," jawab Yogi antusias.
"Baiklah, sampai di sini saja ngantarnya. Pulanglah, Yo, sebelum dicari bapakmu…" nasehat Imei. Yogi mengangguk dan menyerahkan bawaan pada Imei.
"Kamu tidak membawa suluh, kutancapkan obor di sini. Nanti kalau pulang kamu bisa membawanya…" kata Yogi. Imei mengangguk dan meneruskan langkah menuju gubuk Amung.
Amung sedang duduk menerawang di depan sawah. Bulan yang gelap segelap hatinya. Amung membakar beberapa ranting pohon untuk mengusir nyamuk.
"Paman Amung !" sebuah suara bergema di dekat pondok. Amung menoleh ke gubuk dan melihat bayangan seorang gadis berdiri di depan gubuknya.
"Aku di sini, Mei !" teriak Amung memecah keheningan. Imei berjalan menuju sawah. Samar-samar ia melihat kantong-kantong plastik yang berkibar ditiup angin, hatinya bergidik. Lima pohon rambutan dengan puluhan kantong plastik warna-warni, tapi yang paling dominan warnanya hitam, agak mengerikan kalau dilihat di malam hari.
"Apakah kantong-kantong ini untuk mengusir burung, Paman ?" tanya Imei setibanya di samping Amung.
"Bukan. Itu kantong megatruh !" jawab Amung dengan suara datar. Imei merasa aneh mendengar jawaban Amung,
"Dengan siapa Paman Amung pernah megatruh ?"
"Akh, itu tak penting. Kamu masih anak-anak, sebaiknya tak usah tahu." elaknya.
"Dengan pacar, ya ?" tebak Imei. Amung tidak menjawab," Aku terpaksa harus banyak tahu, Paman. Koko Luk pergi dari rumah karena tak ingin dijodohkan dengan Sun Ni. Kini aku yang menggantikan tugasnya. Papa banyak mengajariku."
"Apa saja yang diajarkan Akung padamu?"
"Tentang penggilingan, tetang bersikap baik pada pelanggan, sikap menagih utang, beramah-tamah dengan pelanggan, pembukuan, dan banyak lagi…" celoteh Imei.
"Akh, Papamu semakin gila. Orang Tionghoa tak suka perempuan terlalu pintar. Nanti mendominasi dan tak mau mengurus dapur. Mamamu bagaimana? Sehat-sehat saja ?"
"Sehat. Mama selalu sehat. Mama titip sebotol arak untuk Paman. Hanya karena sukar dibawa, isinya dipindahkan ke dalam plastik." Imei mengeluarkan sebuah bungkusan plastik dengan hati-hati. Amung menerima bungkusan itu dengan wajah berseri-seri.
"Hahaha… Aku rela meneguk arak ini dan mati malam ini. Mati dengan mata merem !" Amung ketawa terbahak bahak sambil menjilati plastik itu.
"Kenapa Paman berkata begitu ?" tanya Imei heran dan agak jijik melihat tingkah Pamannya.
"Oh, tidak. Sudah lama aku tak mencicipi arak. Malam ini Tuhan berbaik hati padaku." katanya girang.
"Paman, kenapa Paman tak pernah bergabung dengan kami saat merayakan malam pergantian tahun ?"
"Paman sudah melupakan semua itu, semua tetek bengek yang membosankan. Hari sudah malam, Mei. Pulanglah, jangan sampai kamu dimarahi Papamu yang temberang itu." ucap Amung seakan-akan ingin Imei cepat-cepat pergi.
Imei tidak membantah. Amung mengantar hingga ke jembatan. Imei mencabut obor yang ditinggalkan Yogi dan berlalu.
Amung berlari ke gubuk untuk mencari sebuah botol. Ia memasukkan kembali arak itu ke dalam botol. Meneguk arak dari botol merupakan kenikmatan tersendiri. Kenikmatkan yang tiada taranya. Hanya peminum yang tahu hal itu. Dari dulu Kaum Keturunan di Kertosari tahu arak buatan keluarga Lim paling enak.
Malam itu ia menghabiskan malam tahun barunya di pematang. Malam yang gelap, tapi bintang bersinar cerah, bulan entah ke mana. Amung menatap langit dan tertawa terbahak-bahak. "Yang Siau Kung ! Kamu tidak mendapatkan apa-apa ! Kamu tidak mendapatkan siapa siapa!" Suara Amung bergema di tengah sawah, bertalu-talu, akhirnya hilang ditelan sepi. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B