Amung membuat gubuk di atas tanah Salamun di pinggir desa tanpa permisi. Aku merasa tak enak. Aku memohon agar tanah itu dijual padaku. Demi persahabatan Salamun bersedia. Setelah jual beli itu selesai, surat tanah itu kuantar pada Amung. Amung bukannya berterima kasih atas jerih payahku, tapi malah mengusirku. Setiap kali aku datang, ia diam membisu. Sikapnya sangat bermusuhan.
Lan Nio sangat pendiam. Kadang-kadang Aku salut padanya. Aku melihat sinar matanya masih mencintai Amung. Hanya saja aku tak bisa menjelaskan rencanaku padanya. Dua tahun rencanaku berjalan lancar. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh berita kehamilan Lan Nio. Aku kaget sekali. Aku tak pernah menidurinya, kenapa bisa hamil? Aku pun bertanya-tanya, siapa ayah bayi yang dikandung Lan Nio? Pada mulanya aku terpancing emosi ingin melabraknya, atau menceraikannya. Tapi aku yakin ayahku takkan menyetujui tindakanku. Selain karena Lim Kin An keluarga terhormat, juga karena orang Tionghoa lebih suka menutup-nutupi boroknya sendiri.
Kehamilan Lan Nio disambut gembira oleh keluargaku. Dan kegembiraan semakin lengkap ketika Lan Nio melahirkan seorang putra. Aku mendapat ucapan selamat di mana mana, tapi hatiku sama sekali tidak menikmati kegembiraan itu. Aku tahu anak itu bukan darah dagingku. Setelah kelahiran Lukman, aku memilih tidur sendirian. Kelahiran Lukman mengacaukan rencanaku dan membuyarkan keinginanku untuk pergi dari rumah.
Malam-malam di saat purnama aku sering teringat pada Kinarti. Aku suka berlama-lama menatap langit untuk mengenang masa kecil kami. Bola mata Kinarti begitu bundar, sebundar rembulan yang menyejukkan hati. Setiap memandang rembulan aku selalu terkenang sinar matanya. Aku menganggap sinar rembulan adalah pengganti sinar kasih Kinarti.
Suatu malam aku melihat sesosok bayangan menyelinap keluar dari dapur. Aku mengikuti bayangan itu. Ternyata bayangan itu berjalan menuju ujung desa, tepatnya menuju gubuk Amung.
Bayangan itu masuk ke gubuk. Aku penasaran dan mengintip melalui celah-celah dinding. Di bawah sinar purnama yang remang-remang dadaku seraya bergejolak. Darahku serasa mendidih ketika mendapati Lan Nio sedang berpelukan dengan Amung. Mataku nanar. Pikiranku kalap. Aku ingin menangkap basah mereka dan menyeretnya ke hadapan ayah. Tapi entah kenapa tidak kulakukan hal itu. Pandanganku bertumpu pada bara api tungku di samping gubuk. Sebuah jeregen tampak penuh berisi minyak tanah. Pikiranku dipenuhi suara suara-setan. Aku mengangkat jeregen itu, Aku siap membakar mereka hidup-hidup!
Sebelum aku menuangkan isi jeregen itu ke tungku, bayangan Kinarti membersit di benakku. Untuk apa kulakukan ini ? Untuk apa ? Amung menolak ketika kumintai menggantikanku sebagai putra tertua, Amung menolak ketika kutawari menikahi Lan Nio, bukankah seandainya ia menerima tawaranku, kami berempat hidup bahagia, dan Kinarti tak perlu bunuh diri? Aku meletakkan kembali jeregen ke tempat semula dan berlalu dari gubuk itu. Setibanya di pematang yang sepi, aku berteriak sekerasnya,
" Kenapa dunia tidak berpihak padaku !!! Apakah manusia tak bisa lari dari nasib? Aku tak ingin menjadi orang Cina. Aku tak ingin menjadi penerus tradisi dan generasi. Aku ingin pergi dari Kertosari, tapi kenapa semua rencanaku berantakan ? Kenapa? "
Aku kini tahu Lukman anak siapa. Ayahku menghendaki seorang penerus tradisi dan generasi. Kini calon penerus itu sudah ada. Aku tak perlu terikat lagi. Aku bebas !
Sejak itu aku meminta Lan Nio membuatkan arak sebanyak mungkin. Aku ingin cepat mati. Aku ingin cepat bertemu Kinarti. Malam-malam aku minum seorang diri, sementara di sebuah gubuk di pinggir desa sinar purnama menjadi saksi berlangsungnya sebuah drama yang entah cinta sejati atau kemaksiatan. Setelah Lukman, lahirlah Imei, kemudian Ikling, lalu Ifen. Aku memelihara mereka dengan baik karena mereka anak-anak polos yang tak berdosa. Walau tahu mereka bukan anakku, Lukman tetaplah pewaris keluarga Yang, sekaligus penanggung jawab beban yang akan kuturunkan padanya, penerus tradisi dan generasi. Aku mengajarinya seperti dulu Ayah mengajariku.
Setiap purnama Lan Nio menyelinap pergi. Aku tak peduli pada tingkah mereka. Sebelumnya mereka saling mencinta. Apa salahnya aku memberi kesempatan pada mereka untuk memuaskan hasrat yang terkandung di hati mereka? Kalau perbuatan mereka dianggap dosa, biarlah karma yang menghukum mereka.
Imei menghapus airmatanya yang tak terbendung.
" Oh, betapa pahitnya kehidupan ini? Papa, Mama, Kinarti, Paman Amung, kenapa semua harus terjebak dalam situasi begini?" katanya tak berdaya. " Seandainya Papa membongkar rahasia Mama, alangkah memalukan skandal ini. Aku akan dikatai anak haram seumur hidupku. Betapa memalukan! Terima kasih Papa… terima kasih karena Papa telah menyimpan rahasia ini untuk kami begitu lama. Aku janji, Papa… hanya aku yang tahu rahasia ini. Aku akan tutup mulut rapat-rapat. Koko Luk, Ikling dan Ifen takkan tahu. Betapa hancurnya hati mereka jika tahu hal ini. Oh, Papa… kebesaran jiwamu sungguh mengagumkanku."
Setelah menenangkan diri, Imei meneruskan,
Banyak perubahan setelah itu. Sekolah Tionghoa dilarang, Ayahku kehilangan pekerjaan. Ia sakit-sakitan setelah itu. Ayah pernah meminta Amung kembali, tapi Amung tak bersedia. Tak lama setelah itu Ayah meninggal dunia. Sebelum meninggal ia mengatakan padaku, " Tidak seharusnya aku memaksa kalian hingga begini…"
Sampai sekarang aku belum paham arti perkataan Ayah. Aku tahu Ayah meninggal dengan penyesalan yang mendalam. Mungkinkah ia mengetahui Lukman bukan anakku? Mungkinkah ia tahu aku meneguk arak untuk mengobati rinduku pada Kinarti? Atau mungkin karena Amung dipanggil orang utan?
Aku mengembalikan modal yang kupinjam dari Persekutuan Marga sebelum perkumpulan itu dibubarkan. Pemerintah mempersulit segala urusan kaum Keturunan. Banyak yang stres dan memencarkan diri. Sebahagian pindah ke pinggir laut menjadi penangkap ikan, sebagian lagi pindah ke kota-kota besar –termasuk Lim Kim An. Kaum keturunan di Kertosari semakin lama semakin sedikit . Ada yang resah, tapi banyak yang tak peduli.
Aku mengenang Kinarti dengan caraku sendiri. Aku memasang lukisannya, aku mengajaknya bersulang setiap purnama, dan ia hadir dalam mimpi-mimpiku. Sinar purnama selalu menjadi saksi pertemuan kami. Tak ada yang bisa memisahkan kami, tidak hidup, tidak juga mati…
Semakin lama Pemerintah Orde Baru semakin mempersulit kehidupan kaum keturunan. Banyak peraturan yang diskriminatif. Kaum Keturunan resah karena masalah kebudayaan ikut di larang. Mereka mengira suatu saat kami akan kembali ke China. Padahal kami takut sekali kalau dikembalikan ke China. China sudah menjadi negara komunis. bahkan yang di luar China pun lebih China daripada penduduk China. Di akhir dekade 60-an ada yang kembali. Sesampainya di sana mereka menjadi bulan-bulanan aparat China, didiskriminasikan dan dianggap pecundang.
Berbagai keresahan akibat peraturan pemerintah yang diskriminatif membuat Kaum Keturunan berkumpul secara diam-diam. Di awal tahun 80-an Persekutuan Marga kembali dihidupkan di bawah tanah. Kaum Keturunan dari ibukota kabupaten memilih Kertosari sebagai tempat pertemuan karena sepi dan tak banyak aparat. Dibuatlah ruang bawah tanah di kelenteng Kertosari. Aku diangkat sebagai Kepala Persekutuan Marga. Kami tidak bergerak dibidang politik, hanya berusaha melestarikan kebudayaan kami dan menjadikannya bagian dari kebudayaan Indonesia.
Imei termangu-mangu setelah membaca catatan peninggalan Akung. Kini ia mengerti kenapa Akung memintanya membakar lukisan bibik Kinarti berkali kali, bahkan berpesan agar membakarnya di malam hari. Pasti yang dimaksud Akung agar semua rahasia ini ikut terbakar. Sayang, rahasia hidupnya sudah terbongkar tanpa perlu menemukan kertas-kertas ini.
Sehari menjelang Imlek, saat semua orang sibuk, Imei membawa kertas-kertas itu menuju pemakamanan. Ia bersimpuh di depan pusara Akung,
" Pa, maafkan Imei karena membaca catatan Papa. Ini tak mengubah apa-apa. Papaku tetap Akung ! Selamanya aku hanya mengakui Papa sebagai satu-satunya Papa! Aku janji, Pa, takkan ada orang lain yang tahu rahasia ini. Semua tetap anak Papa, semua tetap hanya punya satu Papa, Papa Akung !" Imei menghidupkan korek api dan membakar kertas-kertas itu.
Saat dalam perjalanan kembali ke rumah, Imei terkenang makian Akung terhadap Lan Nio ketika sakit, " Kamu sundal sialan ! Aku jijik melihatmu. Kalau aku mati, aku akan jadi hantu dan memakan jantungmu !" bergidik Imei membayangkan ancaman Papanya. Apa betul arwah Akung akan mencabik-cabik jantung Lan Nio ? Apa pertemuan Amung Lan Nio harus dibiarkan?
Imei melewati tahun baru tanpa gairah. Yang ada dipikirannya hanya keruwetan hidup. Pernah ia berjalan ke kelenteng sendirian. Ia sama sekali tak melihat adanya kegiatan semacam perkumpulan.
" Akhir-akhir ini kamu suka termenung. Ada apa, Mei ?" tanya Lan Nio padanya.
" Tidak ada apa-apa, Ma… " jawabnya lesu.
" Kamu tidak mengunjungi Paman Amung ?" tanya Lan Nio lagi.
" Aku sedang malas keluar, Ma. Aku sibuk dengan pembukuan penggilingan. Lagipula, kita sedang berkabung. Papa meninggal belum setahun. Orang-orang akan mentertawakan kalau kita terlalu bergembira, " Imei memberi alasan. Sejak ia mendengar pembicaraan antara Lan Nio dan Amung, serta membaca catatan Akung, rasa simpatik terhadap penderitaan Mamanya semakin hari semakin berkurang. Ia bahkan muak terhadap Amung. Terpikir olehnya pergi seperti Lukman, hanya perasaan cintanya terhadap Yogi yang menahan langkahnya.
" Bibik Kiu juga mengeluh. Katanya kamu sudah lama tidak mengunjunginya." Tambah Lan Nio.
" Nantilah kalau sempat aku akan ke sana." Imei enggan bertatapan dengan Lan Nio. Ia tak ingin Mamanya membaca kebohongan lewat matanya. Akhirnya Lan Nio keluar dari kamarnya.
………
Imei kembali duduk di jembatan kolam itik. Ia tak sanggup menahan beban hatinya seorang diri, diceritakan apa yang diketahuinya pada Yogi.
" Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa, Yo ?" tanya Imei. Yogi diam mematung tak tahu harus menjawab apa. " Papa sudah memberi mereka kesempatan, tapi Paman menolaknya. Papa sudah merancang jalan, tapi Mama memberantakkannya. Aku tak bisa mengerti jalan pikiran mereka. Bisakah kamu mengerti?" tanya Imei lagi. Yogi cuma bisa menggelengkan kepala.
" Aku kini tak punya siapa-siapa, Yo. Aku sendiran, kesepian. Aku merasa tak bisa tinggal di sini lagi. Kalau aku tinggal, setiap saat aku akan melihat sebuah gubuk tempat aku dibenihkan hasil dari sebuah dendam. Aku akan melihat seorang Ibu yang menjijikkan, tapi aku tetap harus mengakuinya sebagai Ibuku. Melihat seorang yang merupakan Bapakku, tapi tak mungkin kuakui. Karena kalau kuakui berarti aku membenarkan perselingkuhan mereka. Semua serba menyakitkan, Yo. Aku harus pergi dari sini !" Imei berkata dengan sedih sambil menundukkan kepala. Wajahnya yang muram membuat hati Yogi tercabik-cabik dan remuk-redam.
" Ada aku Mei, kamu masih punya aku!" Yogi meraihnya ke dalam dekapan. Imei menangis tersedu-sedu dalam pelukan Yogi,
" Kamu sangat menyayangi itik putih. Aku kini bukan itik putih lagi, Yo. Aku kini itik abu-abu yang kotor dan menjijikkan. Jauhilah aku…" ratap Imei gelisah.
Yogi tercenung menatap awan jingga di langit.
" Aku mengenalmu sejak kecil, Mei. Aku mencintaimu sejak kecil. Aku merasakan penderitaanmu selama ini. Tak peduli kamu itik putih atau abu-abu, hitam atau kelabu, aku tetap mencintaimu. Nasib telah bersikap tidak adil padamu. Terlalu banyak beban yang menindihmu. Tapi masih ada aku yang akan membuatmu selalu tersenyum," hibur Yogi dengan setulus hati.
" Kalau Bapakmu tahu riwayat hidupku, Bapakmu pasti semakin tak setuju." kata Imei putus asa. Ketika ia mengangkat kepala untuk menatap Yogi, yang didapat adalah sebuah tatapan keharuan.
" Masyarakat akan mencibir dan memandang jijik padaku. Aku harus pergi, Yo. Aku tak ingin noda yang menimpaku memerciki dan ikut menodai cintamu," wajah Imei semakin kelam.
" Kita bisa pergi bersama," kata Yogi pelan sekali, membuat Imei agak terlonjak mendengarnya.
" Jangan, Yo. Nanti kamu dikejar Bapakmu!" cegahnya.
Yogi menatap Imei, memegang bahunya, dan berkata dengan bersungguh-sunggguh, " Kita pergi bersama, suka-duka kita hadapi bersama. Bibik Kinar bersedia mati demi cinta. Kenapa aku tak berani pergi bersamamu ?" kata-kata Yogi sangat membesarkan hati.
Imei mengangguk dengan ragu-ragu.
" Saat bulan purnama penuh kutunggu kamu di sini, kita pergi bersama, mengarungi bahtera kehidupan ini berdua, jauh dari Kertosari, jauh dari himpitan derita yang membelenggumu…" bisik Yogi.
Imei menatap Yogi sangat lama, kemudian menganggukkan kepala dengan pasti. Yogi membalas dengan tatapan mesra.
" Bolehkan aku mengajukan satu permintaan ?" tanya Imei. Yogi menganggukkan kepala. " Kalau kita menikah… bolehkah aku tidak pindah agama…?" kata Imei dengan harap-harap cemas.
" Tentu saja boleh, " jawab Yogi.
" Makasih, Yo, kamu sangat pengertian. Aku hanya ingin tetap mendupai arwah Papa Akung," Imei menjelaskan maksudnya.
" Ya, itu janjimu pada Papamu, dan harus kamu tepati," Yogi menatap Imei. Imei membalas dengan tatapan berterima kasih. Ia memeluk Yogi erat-erat.
Bersambung :
Besok tamat. Bagian manakah dari cerita ini yang paling kalian sukai?
1 sampai 9,9; berapa nilai yang kudapat? [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B