" Jangan lupa membawa cincinnya." Pesan Siegit saat akan berangkat. Imei menganggukkan kepala. Ia telah mempersiapkan segalanya. Ia harus menuntaskan pekerjaan yang tersisa.
Duk, duk, cheng ! duk, duk, cheng !
Suasana kelenteng sangat ramai karena malam itu ada perayaan hari kelahiran Dewa. Perayaannya hanya sebatas memukul genderang dan menyalakan dupa untuk berdoa. Tidak ada kemeriahan lain. Dulu ada arakan Tatung keliling desa. Sekarang tak ada yang berani melakukannya.
Siegit membawa Imei menerobos keramaian memasuki kelenteng menuju bagian belakang. Mereka berseliweran dengan orang-orang yang sedang memegang dupa. Di bagian belakang merupakan tempat menaruh peralatan atau semacam gudang. Siegit berbisik pada seorang penjaga. Tak lama kemudian penjaga itu membuka sebuah lemari dan membongkar isinya termasuk papan rak. Terlihat sebuah pintu. Imei sudah ratusan kali memasuki ruangan itu, namun tak pernah menyangka di balik lemari itu terdapat jalan rahasia. Siegit membuka pintu itu dan menyilahkan Imei masuk duluan. Pintu itu ditutup dan kedap suara. Kebisingan di luar kelenteng tak terdengar lagi, tapi Imei mendengar suara duk duk cheng versi lain.
" Kebisingan di luar sengaja dibuat untuk menyamarkan aktivitas bawah tanah." Siegit menjelaskan.
Di balik pintu itu mereka menuruni anak tangga yang menurun dan berbelok 90 derjat. Tibalah mereka di sebuah ruangan yang lapang. Beberapa remaja sedang berlatih Barongsai dan tarian naga. Beberapa lagi sedang melukis. Ketika Imei memeriksa dengan teliti, ternyata mereka bukan sedang melukis, melainkan menulis kaligrafi China.
Mereka memasuki sebuah ruangan yang penuh buku. Semua buku dalam tulisan mandarin. Imei mengambil sebuah dan membuka beberapa halaman. Ternyata buku-buku itu terbitan luar negeri.
" Setelah pelarangan besar-besaran terhadap penggunaan bahasa Mandarin, Kaum Keturunan mengungsikan buku-buku mereka ke mari. " Siegit memberitahu tanpa diminta. Imei tersenyum mendengarnya. Beberapa orang berdiri dan tertegun ketika melihat kehadiran Imei. Imei mengenali Kang Su Kie, Paman Sie, dan Juru Adat yang mengurus pemakaman sebagai orang Kertosari. Selebihnya 4 orang berpakaian rapi seperti Siegit, tak dikenali Imei, mungkin mereka dari kota.
" Ini Yang Yi Mei, anak almarhum Yang Siau Kung, yang sekarang memegang cincin tanda ketua. Inilah pengurus Persekutuan Marga…" Siegit mengenalkan mereka satu per satu. Ada rasa bangga di hati Imei bisa berada dalam situasi formal seperti ini. Ternyata salah satu dari mereka merupakan penyandang dana dari sebuah perusahaan besar di Jakarta. Hebat, pikir Imei. Ong Sui juga termasuk pengurus, tapi ia sedang sibuk berjualan dupa di atas sana.
" Maaf kalau aku yang muda ini tidak mengenal kalian sama sekali. Aku datang untuk mengembalikan cincin ini. Saat menderita sakit -hingga meninggal, Papaku tak bisa menghadiri rapat Persekutuan. Beliau titip cincin ini agar dikembalikan pada Persekutuan dan memilih ketua baru. Maaf… aku memegangnya terlalu lama." kata Imei dengan kepala ditegakkan -ajaran Akung yang masih diingatnya. Imei sempat berpikir, apakah Akung mempersiapkannya untuk menggantikan posisi ketua ? Kalau benar, ini pasti terobosan karena wanita keturunan jarang dilibatkan dalam hal seperti ini. Imei menyerahkan cincin itu pada Siegit. Siegit menerima cincin itu dan diserahkan pada Paman Sie.
" Yang Yi Mei sebagai anak Akung, dan kini sebagai pemilik sebuah penggilingan di Kertosari, pergulatan hidupmu sungguh mengagumkan. Kami menilai kamu bisa menggantikan posisi Akung sebagai ketua," kata Kang Su Kie, salah satu tokoh yang dihormati di Kertosari. Yang lain ikut menganggukkan kepala.
" Kenapa memilih aku? Kenapa memilih perempuan ? Bukankah selama ini perempuan selalu dianggap penjaga dapur?" tanya Imei ke Sigit.
" Masih ingat, Mei. Aku pernah mengatakan soal teori Darwin tentang Seleksi Alam? Lagipula, bukankah kamu ingin bicara soal hak azasi dan emansipasi? Inilah saatnya! Di sinilah tempatnya! Inilah saatnya kita membiarkan Seleksi Alam berproses secara natural. " Siegit memberinya semangat.
Imei cepat-cepat menggelengkan kepala. " Tidak, tidak bisa. Aku cuma seorang perempuan muda, tak pantas menerima jabatan ini." katanya berusaha menolak.
" Justru karena perempuanlah kami memilihmu. Pemerintah tidak mencurigai aktivis perempuan. Lagipula, aparat tidak berani bertindak kasar terhadap perempuan." kata salah seorang pengurus.
" Benar. Kepada kaum mudalah nasib kebudayan kita digantungkan. " ucap yang lain.
" Aku… aku masih mentah, aku tak tahu apa-apa…" Imei memberi alasan.
" Ada aku yang membimbingmu." Ucap Siegit cepat. Imei menatap Siegit lekat-lekat. Terbayang di benaknya saat Akung kalap ketika mengetahui perjodohannya dengan Sieget dibatalkan. Inikah rencana Akung yang dikacaukannya sehingga ia dimaki Anak Sundal Sialan ! Ataukah ia dimaki karena ia anak Lan Nio dan Amung? Bagaimana kalau semua orang ini tahu rahasia keluargaku? Catatan Akung memang sudah dibakar. Tapi, bagaimana kalau Amung buka mulut ?
Terbayang di benak Imei kisah cinta Papanya yang kandas, rumah tangga yang tanpa cinta, kesepian Akung selama seperempat abad. Aku tak ingin menjadi korban seperti Papa ! Melestarikan kebudayaan memang harus, tapi tak harus mengorbankan cinta. Imei mengambil keputusan dalam hati.
" Aku masih berkabung. Ayahku meninggal belum genap setahun. Aku ingin memikirkannya dulu." Kata Imei tanpa gairah. Semua tampak mengerti alasan yang dikemukakannya. Siegit dengan tangkas membawa Imei berkeliling melihat kegiatan remaja-remaja Keturunan dan menjelaskan rencana rencana mereka. Benar, semuanya hanya untuk melestarikan kebudayaan.
Jam 11 malam, setelah suasana kelenteng agak sepi, barulah Siegit mengantar Imei pulang.
" Kamu yang pantas menjabat Ketua Persekutuan, Siegit. Kamu berpendidikan tinggi, bersemangat, dan sangat menjunjung tinggi kebudayaan dan tradisi kita," kata Imei pada Siegit saat ia turun dari mobil. Siegit cuma tertawa.
………
Kelenteng kembali ramai oleh acara Capgome. Sejak sore Imei duduk di pertigaan menuju gubuk Amung. Menjelang magrib barulah ia menyelinap ke gubuk itu. Amung tidak kelihatan. Mungkin sedang mandi. Imei menemukan jeregen minyak tanah terletak di salah satu sudut rumah. Ia mengambil jeregen itu dan menumpahkan seluruh isinya pada keempat kaki gubuk. Ia merasa jijik pada gubuk ini dan tak ingin berlama-lama. Gubuk maksiat ! Ia mengambil sebatang kayu yang masih ada baranya. Tungku di samping gubuk itu selalu menyisakan bara, mungkin untuk menghangatkan air, atau untuk mengusir nyamuk. Imei mengembus bara itu hingga berapi dan mendekatkan ke tiang gubuk. Api kecil mulai menjilati tiang itu. Imei segera berlalu.
Ketika tiba di pertigaan, api mulai menjilati dinding gubuk itu. Terdengar teriakan Amung meminta tolong, tapi tak ada yang mendengar teriakannya. Amung berusaha memadamkan api dengan ember, menyiprati rumahnya dengan lumpur. Tangannya kalah cepat dengan kemarahan api. Imei melangkahkan kaki. Tak ada yang tahu kejadian itu karena gubuk itu terpencil di pinggir desa. Gubuk itu terbakar habis hingga rata dengan tanah.
" Semoga tak ada kemaksiatan lagi," doa Imei dalam hati.
Imei kembali ke rumah untuk menunggu tengah malam. Ia menghidupkan dupa dan berdoa di depan monumentalis Akung.
" Papa pasti sudah menduga semua ini akan terjadi, " Imei menghapus airmatanya." Aku berterima kasih atas jasa-jasamu selama membesarkanku. Walau apa yang terjadi, kamu tetap Papaku. Kekagumanku pada ketabahan Papa, pada cinta Papa, akan menjadi pelita dalam hidupku…" Imei menancapkan dupa itu dan menatap photo Akung yang hitam putih agak buram. Dengan tangan gemetar ia mencopot monumentalis arwah Akung dan membungkusnya dengan sehelai kain bersih. Setelah itu ia masuk ke kamar Papanya. Ia mengeluarkan semua sisa botol arak yang masih berisi ke bawah pohon durian.
" Papa selalu menyukai sinar bulan purnama, begitu juga aku. Kutemani Papa di sini untuk terakhir kalinya sebelum aku pergi. Aku menyuguhi Papa sisa-sisa arak ini, Papa minumlah sepuasnya. Setelah aku pergi, aku tak tahu apakah masih ada arak untuk Papa. Aku tak pandai membuat arak… tapi akan tetap mendupai Papa." Imei menuang sebotol demi sebotol arak-arak itu ke tanah. Setelah habis, ia masuk ke kamarnya.
Tengah malam ia keluar sambil menenteng sebuah tas. Ia berjalan menuju jembatan kolam itik. Langkahya terasa tak bermaya.
" Apakah aku harus merasa berat meninggalkan semua kepedihan ini ?" tanya Imei pada dirinya. Samar-samar ia teringat pertengkaran Lukman dan Akung. Seberapa jauh Lukman tahu aib keluarga ini ? Itukah juga penyebab kaburnya Lukman? Sesampainya di jembatan kolam itik, kakinya lemas, hatinya mencelos. Yogi ternyata tidak sendirian. Siapakah bayangan yang berdiri di samping Yogi?
" Paman Sobirin …!" tercetus seruan kaget dari mulut Imei. Tasnya terjatuh dari pegangan. Ia menutup mulutnya dengan tangan sangking kagetnya. Di bawah penerangan cahaya rembulan tubuh Sobirin tampak menakutkan. Hilanglah semua harapannya untuk pergi bersama Yogi. Hilangkah semua kebahagian yang didambakan selama ini.
" Aku sudah menduga suatu saat akan terjadi hal seperti ini. " ucap Sobirin kaku. Imei menundukkan kepala. Yogi tampak tak berkutik. Sobirin menekuk-nekuk jemarinya dan menatap Imei. Lutut Imei gemetaran. Bunyi angin berkesiuran membuat nyali Imei semakin menciut, tapi diberanikan diri berkata,
" Aku yang mengajak Yogi, Paman. Salahkan aku, jangan menyalahkan Yogi. Aku perempuan hina yang tak tahu diri. Papaku sudah menghancurkan kebahagian keluarga Paman. Tak sepantasnya aku menyeret dan mengikutsertakan Yogi dalam kemelut keluargaku. Cukuplah aku yang menderita." Kata Imei dengan hati pedih. Ia beralih menatap Yogi " Pulanglah, Yo. Aku bisa pergi sendiri. Dunia kita memang berbeda. Aku akan mengingat cintamu sebagai kenangan terindah dalam hidupku. Hanya kamu yang kumiliki di Kertosari, hanya kamu yang akan mengingatkanku pada Kertosari. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B