" Jangan kembali ke China. Di sana rakyatnya hidup susah. Setiap hari dipaksa bekerja hanya dengan jatah makan bubur bercampur ubi-jalar. Semuanya dijatah !"
" Kita bersyukur masih bisa makan nasi sampai kenyang. Saudara-saudara kita di tanah leluhur hanya makan bubur. Kita harus bersyukur karena di sini kita bisa memiliki tanah sendiri. Di sana saudara-saudara kita dipaksa bekerja di perkebunan pemerintah. Sebulan hanya boleh mengerjakan tanah sendiri selama 5 hari!"
" Sejak Komunis berkuasa, banyak kitab-kitab dibakar, acara keagamaan dilarang. Pemerintahan Komunis menekan rakyatnya agar hidup prihatian. Kebudayaan China akan punah kalau kita yang berada di luar China tidak berusaha mempertahankannya. Oleh sebab itu, kita harus berusaha mencegah komunis bercokol di Indonesia !"
Aku mendengar dengan seksama pidato-pidato menggebu-gebu di Persekutuan Marga. Sejak kecil aku selalu mendapat penegasan kalau aku ini putra tertua, penerus generasi dan tradisi. Ayahku sudah memasukkanku sebagai anggota Persekutuan Marga, suatu wadah bagi kaum Keturunan bertukar pikiran.
Masa itu PKI sudah ada di Indonesia. Hal itu sangat mengkhuatirkan Kaum Keturunan. Mereka berpendapat, kalau Cina dan Uni Soviet yang begitu besar saja bisa menganut paham komunis, apalagi negara-negara kecil. Kalau PKI bercokol semakin kuat, lama-kelamaan kaum Keturunan akan mengalami nasib serupa seperti saudara-saudara mereka di Cina Daratan. Tapi, mereka hanyalah segelintir kaum kecil yang bisanya hanya berteriak-teriak. Benar atau tidaknya Persekutuan Marga menentang PKI, aku tak tahu, karena saat itu aku sedang menghadapi masalah hidupku yang berat.
Ayahku seorang guru sekolah dasar berbahasa Cina. Beliau sangat keras mendidik kami. Aku dan Amung sejak kecil berteman dengan beberapa anak desa. Kami bermain bersama, makan bersama, sesekali berkelahi. Kadang-kadang Aku dan Amung ikut mereka tiduran di Surau, sedangkan mereka tak segan-segan ikut kami masuk ke kelenteng.
Aku agak pendiam, sedangkan Amung sedikit binal. Amung sering menggoda adik Sobirin yang bernama Kinarti. Namun, dari sinar matanya aku tahu Kinarti lebih menyukaiku. Hal itu membuat Amung kesal. Suatu hari aku mendengar pembicaraan mereka,
" Kamu takkan berhasil menggoda abangku,"ucap Amung.
" Kenapa ?" tanya Kinarti.
" Abangku akan jadi Bhiksu…"
" Bohong ! Mana ada Bhiksu di Kertosari. Penjaga kelenteng yang ada." bantah Kinarti.
" Lebih baik kamu pilih aku saja. Abangku calon kepala keluarga Yang, juga calon ketua perkumpulan Kaum Keturunan, orangnya alim tak ada bedanya dengan bhiksu. Tak mungkin kawin kecuali dengan wanita keturunan."
" Kenapa harus dengan sesama keturunan ?"
" Papaku ingin mempertahankan adat dan kebudayaan China supaya kebudayaan kami tetap eksis. Hanya wanita terdidik yang mengenal adat China secara baik yang bisa menjadi istri Akung." jelas Amung.
Kinarti tidak meladeni omongan Amung. Ia tetap bergaul rapat denganku. Amung yang cintanya tidak mendapat balasan akhirnya mengalihkan perhatian pada anak Lim Kim An yang bernama Lim Lan Nio. Gayung pun bersambut. Lan Nio membalas cinta Amung. Tapi, jaman itu yang namanya pacaran tentu saja secara sembunyi-sembunyi.
Lim Kim An pedagang yang sukses. Pergaulannya sangat luas hingga ke beberapa desa tetangga, bahkan sampai ke ibukota kabupaten. Lan Nio anak ketiga. Ketika menginjak usia 17 tahun Lan Nio mulai dicarikan jodoh. Banyak pemuda gagah dan tampan di Kertosari, tapi Lim Kim An pasti mengincar pemuda yang berkelakuan baik dan sopan untuk menjadi menantunya.
Seluruh Desa Kertosari merupakan daerah persawahan. Kebanyakan hasil panennya jatuh ke tangan tengkulak. Aku melihat peluang itu dan berembug dengan Sobirin. Rencananya kami akan mendirikan penggilingan padi, namun terbentur pada masalah modal. Persekutuan Marga ternyata mempunyai dana simpanan anggota dalam jumlah besar. Dana itu rencananya untuk membantu kaum Keturunan yang mengalami kesulitan. Aku mengemukakan ideku saat pertemuan. Persekutuan Marga memuji ideku. Aku dipinjami modal.
Dalam mengurus ijin penggilingan aku bekerja sama dengan Sobirin. Lebih mudah mendapatkan izin dari pemerintah jika suatu usaha merupakan patungan antara pengusaha keturunan dan pribumi. Apalagi Sobirin anak Kepala Desa. Setelah didirikan, kami bersama-sama mengurus penggilingan. Kesibukan di penggilingan membuat kami sering lupa waktu. Kinartilah yang setiap hari mengantar makanan buat kami. Hubungan kami semakin erat. Perhatiannya dan kelembutannya membuat hatiku semakin terpikat padanya. Setiap sore kami pulang bersama, jalan kaki bertiga, melewati sawah, tambak, sungai, dan kolam sambil menikmati keindahan panorama matahari yang akan tenggelam.
Kedekatan kami meresahkan ayah dan persatuan Marga. Ayah melarangku bergaul terlalu dekat dengan putri Kepala Desa. Persekutuan Marga juga menyentilku. Mereka menganggapku sebagai aset Persekutuan karena berhasil menjalankan sebuah penggilingan.
Aku sadar hubungan kami akan mendapat rintangan. Cinta Kinarti tumbuh subur di hatiku. Tapi posisiku sebagai anak tertua tak memungkinkanku menikah dengannya. Di rapat persekutuan aku semakin sering mendapat sentilan. Aku masih belum sanggup mengembalikan modal yang kupinjam, jadi kuputuskan bersikap seperti bunglon, di depan umum berusaha menjaga jarak dengan Kinarti sebagai jawaban atas sentilan Persekutuan, tapi di penggilingan kami tetap berhubungan erat. Selain itu, Aku takut izin kongsi di penggilingan dicabut Sobirin jika terlalu terang-terangan menolak adiknya. Sobirin sangat sayang pada adiknya karena Kepala Desa hanya mempunyai seorang putri. Kepala Desa tak pernah berkomentar tentang hubungan anaknya denganku. Setiap kali berkunjung, aku selalu disambut dengan ramah. Aku terjepit di antara dua kepentingan dan berubah menjadi sedikit plin-plan.
Ayah semakin keras menentang hubungan kami. Aku didesak hanya bergaul dengan gadis Keturunan. Aku diingatkan soal tanggung jawabku sebagai anak tertua, penerus tradisi dan generasi. Persekutuan Marga bertindak tak tanggung-tanggung. Aku mulai mendengar kasak-kasuk beberapa bapak yang ingin menjodohkan anaknya denganku. Ayah juga didesak Persekutuan Marga agar segera menjodohkanku sebelum hubunganku dengan Kinarti kebablasan. Aku kian terpojok
Akhirnya aku diberitahu bahwa aku akan ditunangkan dengan anak Lim Kim An yang bernama Lim Lan Nio. Aku kaget sekali karena aku tahu Amung dan Lan Nio saling menyukai.
" Kami sudah memikirkannya, bahkan sudah membicarakan dengan Lim Kim An. Bulan depan kamu akan bertunangan dengan Lan Nio bertepatan dengan perayaan Kueh Bulan." Ayahku memutuskan tanpa memberi kesempatan padaku untuk bersuara.
Berita itu langsung merebak di Kertosari. Akhirnya sampai ke telinga Sobirin.
" Masalah perjodohan masalah pribadimu. Kalau kamu bersedia dijodohkan, aku berharap kamu bicara baik-baik dengan adikku. Adikku sangat mencintaimu…" Sobirin menepuk pundakku.
" Kamu tahu isi hatiku, Sobatku. Aku akan berusaha sedapat mungkin supaya tidak menyakiti hatinya," kataku memberi jaminan.
Kabar bahwa pertengahan bulan delapan aku dan Lan Nio akan ditunangkan membuat Amung kalap. Ia mencegatku sepulangnya dari penggilingan.
" Dulu kamu merebut Kinar dariku. Kenapa masih merebut Lan Nio !" teriak Amung kesal.
"Dengarkan, Mung. Bukan aku yang merebut Lan Nio darimu. Aku sama sekali tak tahu-menahu soal perjodohan ini," kataku membela diri. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B