"Kenapa tanganmu dibalut, Imei ?" tanya Guru Sejarah ketika memeriksa murid-murid yang sedang mencatat pelajaran.
"Anu, pak. Saya kurang hati-hati sehingga tersiram air panas." Jawab Imei ketir. Pak Guru tak bertanya lebih lanjut. Imei bernapas lega.
Ketika waktu istirahat tiba, Imei tak bergairah bermain bersama teman-temannya. Ia hanya duduk diam di dalam kelas. Dari masuk hingga istirahat Yogi memerhatikan tingkah Imei. Ia tak percaya tangan Imei terkena air panas. Mana mungkin terkena air panas hingga kedua belah tangan.
Ia menghampiri dan duduk di samping Imei, "Dari tadi aku memerhatikanmu. Tak bisa mencatat ya? " tanyanya.
"Ya, tanganku sakit…" jawab Imei sambil meringis.
"Maafkan aku, Mei. Semua gara-gara aku." Kata Yogi dengan perasaan bersalah.
"Bukan salahmu, Yo. Ini memang takdirku,"
"Si Gila melaporkanmu ?" tanya Yogi lagi. Imei tak menjawab. " Tiap hari kamu mengantari dia makanan, dia masih juga melaporkanmu? Sungguh tak kenal budi !" maki Yogi sebal. Imei diam saja. Yogi melihat kesedihan di mata Imei. Ia tak berkata lagi. Kesakitan Imei kesakitannya juga. Ia mengeluarkan buku catatan Imei dan melihat beberapa coretan lintang-pukang. Tanpa berkata-kata ia mengambil catatannya dan menyalinkan untuk Imei. Imei menatap Yogi dengan tatapan berterima kasih. Setelah selesai menyalin, ia memegang tangan Imei dan membuka balutan.
"Aduh, melepuh kayak gini? Biasanya tak separah ini," komentar Yogi sambil meringis seakan-akan ikut merasakan kesakitan yang diderita Imei. Imei tak berani menjawab. Biasanya ia dihukum karena kesalahan kecil. Tampaknya bergaul dengan Yogi bukan masalah kecil.
………
Penggilingan di musim panen sangat sibuk. Setiap jam selalu ada petani yang menggilingkan padi. Sebuah motor butut membawa sekarung gabah. Seorang anak muda turun dari motor. Akung menyuruh pekerjanya membantu anak muda itu menurunkan muatan. Ketika anak muda itu mendekat, Akung terperangah saat melihat wajah anak muda itu.
"Kau, anak Sobirin ?" tanyanya agak heran.
"Benar, saya anak Sobirin." Jawab Yogi lantang.
"Bapakmu tak pernah menggilingkan padi ke mari," kata Akung ketus.
"Apakah penggilingan ini memilih-milih orang yang padinya ingin digilingkan ?"
"Tidak. Tapi ini pasti bukan suruhan Bapakmu."
"Benar, ini kemauan saya. Saya sengaja menggilingkan padi ke sini."
"Kenapa ? ingin jadi pembelot ?"
"Bukan. "
"Sok gagah-gagahan ?"
"Juga bukan. Semalam Imei dihukum karena ketahuan ngobrol bersama saya. Saya juga berharapkan hukuman yang sama !" ucap Yogi lantang.
Akung mendelik mendengar ucapan Yogi. "Saya menghukum anak saya karena melanggar perintah, tetapi saya tak berhak menghukum anak orang lain."
"Benar, Pak Akung. Pak Akung takkan menghukum saya. Hanya bapak saya yang berhak menghukum saya. Untuk itulah saya sengaja menggilingkan padi ke mari. Supaya mendapat hukuman." ucap Yogi enteng.
Akung menatap Yogi lekat lekat, "Sun ! giling padi anak ini duluan biar dia cepat berambus ! Aku tak mau Bapaknya menyusul ke mari!" kata Akung pada Iparnya.
Yogi merasa kemenangan berada di pihaknya. Malam itu ia mendapat 4 gamparan di wajah yang membuat pipinya tampak lebih tembem dari biasanya. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B