KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 28 November 2011

CHINESE CRY (3B): HANTU GENTAYANGAN BULAN KE TUJUH

Tanpa disadari ia meraba kedua tangannya yang kasar berbilur-bilur bekas sabetan penggaris, sementara beberapa itik putih kecil mulai belajar berenang di pinggiran kolam.

"Yogi !" panggilnya ketika tersadar sesuatu. Yogi menoleh. Imei menyambar bungkusan bakpao yang ditinggalkan Amung dan berlari ke samping Yogi. Diangsurkan bungkusan itu,

"Aku dan Mama yang buat, dijamin halal!" Imei memberitahu. Yogi mengangguk dan menjejalkan separo bakpao ke mulutnya, separonya lagi ke mulut Imei.

"Enak !" pujinya." Besok sore di bawah jembatan kolam itik bukan saja ada seikat kangkung, tapi juga sebungkus getok singkong," Kata Yogi.

"Aku suka getok singkong, sama seperti kamu menyukai bak pao." Imei mengucapkan terima kasih dan berlalu dari hadapan Yogi.

………

Kertosari terpisah cukup jauh dari ibukota kecamatan sehingga miskin hiburan. Sebuah acara perkawinan selalu merupakan hiburan yang berarti. Apalagi jika yang berhajat menanggap wayang, orkes melayu, atau acara band.  Musim hujan yang disertai panen merupakan musim hajatan. Mungkin orang mengadakan hajatan karena mumpung ada uang, atau karena musim hujan cuacanya dingin.

Lukman mendesak Imei meminta ijin untuk menonton acara band di desa tetangga. Kalau Lukman yang ngomong, Akung pasti tak  memberi izin.

"Boleh kan, Pa ?" tanya Imei dengan lutut gemetar.

"Sebentar !" sahut Akung. Ia berjalan keluar menuju rumah Asun.

"Bagaimana ?" tanya Lukman tak sabar.

"Tauk, Papa suruh nunggu." lapor Imei. Tak lama kemudian Akung kembali.

"Boleh, tapi ditemani Paman Asun." kata Akung. Imei segera masuk ke kamar  berganti pakaian. Setelah itu ia dan Lukman duduk di depan rumah menunggu kedatangan Asun. Hari mulai gelap.

"Kalau dikawal Paman Asun, mana ada enaknya. Sama saja dengan nonton TV di rumah. Nggak ada serunya lagi. Mei, berani  kamu mencuri sebotol arak Papa ?"

"Arak Papa ?" tanya Imei heran.

"Ya, di bawah tempat tidur Papa terdapat banyak botol berisi arak." Lukman memberitahu.

"Emangnya Papa minum arak?" tanya Imei tak percaya.

"Oh, jadi kamu belum tahu kalau setiap malam Papa menenggak arak?" tanya Lukman.

Imei menggelengkan kepala. " Kan dilarang pemerintah, bisa ditangkap polisi."

"Kalau dijual memang bisa ditangkap polisi. Papa kan meminumnya sendiri. Lagipula, arak itu bikinan Mama, tak ada yang tahu." Jelas Lukman, "Stt, ambil sebotol arak itu, pindahkan isinya ke dalam kantong plastik!" Lukman membisiki.

"Untuk apa ?"

"Nanti kamu bakal tahu."

Imei dengan patuh memenuhi permintaan Abangnya.

Asun membonceng Imei dan Lukman dengan motor ke acara hajatan. Tampak sekali ia tak senang menjadi pengawal kedua keponakannya. Ia bersungut-sungut dan mengomel sepanjang jalan. Sepanjang jalan mereka bersua dengan orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama.  Bunyi kodok bersahutan  berbaur dengan bunyi ular, menambah meriah suasana malam.

Setibanya di tempat hajatan, Asun  mengekori ke mana Lukman dan Imei pergi. Imei tahu Asun menjaganya dari bertemu dengan Yogi. Lukman berpikiran lain. Kawalan Asun merupakan kalung yang mengikat lehernya. Lukman mengedipi Imei. Imei  paham dan meraih bungkusan dari dalam tasnya.

"Paman, Paman sudah bersusah-payah mengantar kami. Ini ada sedikit oleh-oleh buat Paman," Imei menyodorkan bungkusan yang dipegangnya.

"Apa ini ? Air minum ?" tanya Asun sambil mencium ujung kantong plastik yang diikat dengan karet gelang. Ketika mencium bau arak, wajah Asun tampak bercahaya seperti bulan purnama. Ia mengendus kantong itu berkali- kali.

"Buat aku ?" tanya Asun tal percaya.

Imei mengangguk. "Mama sangat menghargai kebaikan Paman  yang telah menjaga kami sejak kecil. Aku diminta memberikannya pada Paman, katanya untuk menghangatkan badan. Tolong jangan bilang Papa kalau ini pemberian Mama." Kata Imei dengan wajah dibuat memelas. Asun segera menganggukkan kepala. Ia membuka ikatan dan meneguk dua teguk, lalu mengikatnya kembali. Wajahnya memerah seketika seperti kepiting rebus.

"Baiklah, aku tunggu kalian di tempat parkir motor. Eh… sebentar… aku tunggu kalian di pondok dekat tanggul depan sana jam 12 malam. Luk,  ini kunci motor. Nanti kamu ambil motor dan cari aku di pondok. Aku mau ngobrol bersama teman-teman." pesan Asun sebelum ngeloyor pergi. Lukman mengangguk dengan segera.

"Hus ! berapa botol kamu isikan ke dalam plastik itu ?" tanya Lukman dengan mata melotot.

"Tiga !" Imei mengacungkan jari.

"Gila, itu arak keras, itu bisa membuatnya tidak bangun semalaman!" desis Lukman.

"Biaran aja. Kamu kan sudah pernah melakukannya sebelum ini," tebak Imei. Lukman tersenyum tak berani menjawab.

"Oke, kamu boleh nonton  sepuasmu. Aku mau pergi menikmati kebebasanku. Nanti jam 12 kujemput!" kata Lukman.

"Kamu mau ke mana, Koko Luk?"

"Papa tak pernah memberiku kebebasan. Aku cuma disuruh menjaga penggilingan melulu. Membosankan! Malam ini aku ingin menikmati kebebasanku."

"Pantesan kamu ngotot. Oh ya, punya uang buat beli bensin ?" tanya Imei. Ia tahu Abangnya suka kebut-kebutan dengan motor bersama teman temannya. Lukman tersenyum malu-malu. Uang sakunya tak pernah cukup karena ia suka mentraktir teman-temannya. Imei paham arti senyum Abangnya. Ia mengeluarkan dompet dan menyerahkan semua uangnya pada Lukman. Lukman mengembalikan separo.

"Nanti kamu butuh buat jajan."

"Kalau ketemu Yogi, dia takkan mengijinkan aku membayar…" kata Imei malu-malu. Lukman mengacak-acak rambut Adiknya, tersenyum senang, dan berlari pergi sambil melambaikan tangan.

Imei berjalan ke tempat pesta. Ia bertemu banyak teman sekelasnya. Teman-teman memberitahunya kalau Yogi juga datang dan sedang nongkrong di sebuah warung. Imei segera mencari Yogi. Malam itu keduanya ngobrol hingga puas. Mereka duduk di pinggiran tanggul tanpa memedulikan gigitan nyamuk, juga tidak mempedulikan keributan di acara pesta. Jam 12 malam Lukman menjemput Imei, dan mereka melupakan Asun yang tertinggal di pondok tanggul kampung tetangga. Ketika tiba di rumah, mereka dihadang oleh tatapan tajam,

"Mana Asun ?" tanya Akung. Wajah mereka langsung berubah pucat-pasi. Imei dan Lukman langsung tahu apa hukuman yang akan mereka terima.

Sejak itu Akung tidak mengijinkan mereka keluar malam.

………

Di suatu malam yang gerah di pertengahan bulan ketujuh,  Imei tak bisa melelapkan mata. Tubuhnya terasa panas.  Hari itu mereka mengadakan acara persembahan buat Hantu Gentayangan. Dinamakan acara persembahan buat Hantu Gentayangan karena orang Tionghoa percayai kalau hantu-hantu gentayangan dilepaskan pada bulan ketujuh. Kalau ingin selamat dari gangguan hantu-hantu itu, mereka harus memberi persembahan dan membakar kertas akherat sebanyak mungkin.

Imei berbaring gelisah di kamarnya. Akhirnya ia tak tahan dan membuka jendela. Bulan bersinar terang, begitu pun bintang-bintang di langit berkedipan. Mata Imei menerobos lewat jendela dan mentok pada suatu titik api di bawah pohon.

"Siapa yang membakar sampah malam-malam?" tanyanya.

Matanya difokuskan dan  ia melihat seseorang bertubuh tinggi tegap berdiri di bawah pohon. Imei mengenali orang itu adalah Papanya.

"Kenapa Papa membakar sampah malam-malam begini ? " Rasa penasaran membuat Imei terus menatap tingkah Akung. Setelah berdiri cukup lama, terlihat Akung menuangkan sesuatu ke dalam kobaran api. Api pun membumbung tinggi. Setelah itu Akung duduk mendeprok di bawah pohon.

Imei terus menatap tingkah Papanya. Akung meraih sebuah botol dan meneguk isinya. Imei mengenali botol yang dipegang Akung sama dengan botol  yang ada di bawah tempat tidur papanya.

"Benar kata Koko Luk, Papa menenggak minuman keras. Umurku sudah hampir 18 tahun dan aku baru tahu kalau Papaku seorang peminum. Sungguh Papa sebuah pribadi yang mistrius. Kenapa Papa membakar sampah di tengah malam buta begini ? " Imei menutup jendela dan kembali ke pembaringan.

Esoknya saat akan berangkat sekolah, ia mengamati bekas-bekas bakaran di tempat semalam Akung berdiri. Dua  botol kosong tampak tergeletak di bawah pohon.

"Kertas  ! Bukan sampah. Berarti semalam itu Papa membakar kertas . Kertas apa ?" Imei kembali ke rumah dan mendapati Akung sedang mendengkur di atas pembaringan. Wajah Akung ternyata lebih penuh mistri daripada wajah  Amung. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]


Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA